Pernikahan adalah sebuah impian bagi semua orang, termasuk Zahra. Namun, pernikahan yang bahagia kini rusak akibat kehadiran orang ketiga. Evan selaku suami, mulai membandingkan Zahra dengan gadis lain.
Suatu hari dia memutuskan untuk menjalin hubungan hingga tidak memperdulikan hati Zahra. Akankah pernikahan mereka mampu diselamatkan? Ataukah Zahra harus merelakan suaminya bersama dengan wanita lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10 Sadar
Anna pun terbatuk dan mengalihkan atensi mata semua orang yang ada di dalam kamar. Jessica sontak tersenyum lega, dia menghapus air matanya dan mengelus rambut Anna.
"Anna, kau sudah bangun, Nak?"
"Uhuk. Ma, apa Anna masih hidup?"
"Sst, kenapa kau bertanya seperti itu? Tentu saja kau selamat, Nak. Untung disana ada Evan, jika tidak, entah apa yang akan terjadi padamu." Jessica mengecup dahi Anna.
"Terima kasih, Mas. Kau sudah menyelamatkan nyawaku." Anna tersenyum tipis.
Evan tidak menjawab, dia hanya mengangguk sejenak.
"Bagaimana keadaanmu, Anna? Apa yang kau rasakan saat ini?" Zahra pun angkat suara.
"Suhu tubuhku sepertinya tinggi, kepalaku juga sedikit pusing."
"Berarti kau demam, An. Istirahatlah, jika butuh apa-apa, panggil saja bibi, atau tidak aku." ucap Zahra berbesar hati meskipun pikirannya tidak tenang jika melihat Anna.
Anna mengangguk.
"Ayo, Mas. Kita keluar, biarkan Anna istirahat dengan tenang." Zahra menggandeng lengan Evan dan mereka pergi keluar dari kamar gadis itu. Tinggallah Jessica disana yang masih setia mengelus rambut Anna.
"Apa kau menginginkan sesuatu, Nak? Katakan pada Mama."
"Aku tidak menginginkan apa pun, Ma. Aku hanya ingin Mama tetap berada di dekatku dan menyayangi aku." Anna memeluk tangan Jessica.
"Mama pasti akan selalu menyayangimu, Anna. Mama juga janji tidak akan meninggalkanmu, sudah cukup beberapa tahun ini kita berpisah. Mama harap, tidak akan ada perpisahan lagi."
'Mama benar, tidak akan ada perpisahan lagi kecuali kematian.' batinnya tersenyum jahat.
"Sayang, lusa Mama akan pergi melakukan pertemuan dengan keluarga Almarhum papa tirimu. Mama harap, kau bisa menjaga dirimu, jangan merepotkan kakakmu karena dia juga harus mengurus suaminya."
"Kak Zahra tidak jadi pergi berbulan madu?"
Jessica menggeleng. ''Dia memutuskan untuk mengalah dan menunda bulan madunya. Zahra itu adalah gadis yang memiliki pikiran dewasa, baik, dan selalu mengalah. Kau ingat dulu sewaktu kecil 'kan? Kau merebut mainan kakakmu dan dia memberikannya padamu tanpa rasa berat hati."
Anna mengangguk, tentu dia mengingat kejadian itu. 'Dulu aku merebut mainannya, dan sebentar lagi aku akan kembali melakukan hal itu.'
"Ini semua pasti karena Anna 'kan, Ma? Anna bisa menjaga diri, Ma. Anna sudah besar dan tidak perlu penjagaan. Biarkan kakak pergi, dan Mama juga pergilah. Lagipula, dirumah ini ada Bibi dan pekerja lainnya. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Anna."
"Nak, kakakmu tidak akan membiarkan adiknya dirumah sendirian. Apalagi, kau dalam keadaan sakit."
"Ya sudah, terserah Mama dan kakak saja." Anna pun akhirnya pasrah karena memang inilah yang dia inginkan.
Malam hari pun tiba.
Anna masih betah di dalam kamar karena dia harus bersandiwara.
"Sejujurnya aku sangat bosan berada di dalam kamar terus seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku harus tetap bersandiwara."
Suara ketukan pintu membuat Anna secepat kilat merebahkan diri dan menyelimuti tubuhnya.
"Masuk!" teriaknya dan tak lama kemudian, pintu pun terbuka.
Zahra melangkah masuk sambil membawa nampan berisi bubur dan susu. Gadis cantik itu tersenyum manis, dia menghampiri Anna yang sedang bergelung di dalam selimut.
"Kakak, kenapa harus repot-repot? Jika lapar, aku bisa turun sendiri ke bawah." ucap Anna berpura-pura merasa tidak enak.
"Kau ini sedang sakit, Anna. Beristirahatlah, aku sengaja membawakan ini ke dalam kamar karena aku yakin jika kau tidak selera makan." Zahra membantu Anna duduk, gadis itu meletakkan punggung tangannya di dahi Anna.
"Tidak terlalu panas, mungkin lusa kau sudah sembuh. Makan yang teratur dan minum obatnya."
"Baik, Kak." Anna tersenyum tipis.
"Apa kau mau makan sendiri, atau aku suapin?"
"Aku akan makan sendiri, kakak jangan khawatir. Aku juga ingin cepat sembuh."
''Baguslah, habiskan bubur dan susunya. Aku keluar dulu."
"Terima kasih, Kak."
Zahra beranjak dan dia pergi keluar dari kamar Anna. Setelah kepergian Zahra, Anna melihat apa yang ada di hadapannya.
"Ck, makanan apa ini? Jika tidak karena sandiwara, aku tidak akan memakan makanan seperti ini." Anna terpaksa menyendok bubur dan melahapnya, jika tidak, maka perutnya akan sangat lapar.
*****
Dua hari kemudian, keadaan Anna sudah mulai pulih, di rumah hanya ada Evan dan Zahra, sementara Jessica belum pulang dari rumah sang kakak ipar.
Pagi hari yang cerah ini, Anna menghirup udara dalam-dalam. Dia merasakan tubuhnya yang segar dan akhirnya bisa terbebas dari sandiwara menyebalkan itu.
Anna melihat jam weker. "Masih pukul setengah tujuh, aku yakin Mas Evan belum pergi ke kantor." gadis itu bergegas keluar dari kamar.
Setelah berada di lantai bawah, Anna melihat keadaan ruangan yang sangat sunyi. Dia mengerutkan dahinya.
"Apa Zahra belum bangun?"
Saat Anna masih sibuk membersihkan meja makan, tiba-tiba terdengar suara seseorang berjalan menuruni anak tangga.
"Mas Evan!" seru Anna pelan dan bergegas ke dapur.
Evan sudah berada di meja makan, dia hendak pergi ke kantor tetapi sang istri baru saja bangun.
"Ini adalah kesempatanku mencari muka." Anna dengan senang hati membuatkan kopi untuk Evan.
Setelah selesai, gadis itu berjalan menghampiri Evan, dia membawa satu gelas kopi.
"Mas?"
"Eh, Anna! Kau sudah bangun?" Evan terkejut melihat Anna yang sudah berada di dapur.
"Aku sudah terbiasa bangun pagi, Mas. Oh, ya, ini kopi untuk Mas Evan." Anna berpura-pura mencari sesuatu. "Dimana kak Zahra? Apa dia belum bangun? Keterlaluan sekali, suaminya ingin pergi ke kantor, dia malah sibuk di alam mimpi."
"Zahra sudah bangun, An. Dia sedang mandi. Terima kasih untuk kopinya." Evan tersenyum tipis, biar bagaimanapun Zahra tetaplah istrinya, dan dia tidak suka jika ada orang yang menjelekkan sang istri.
"Mas Evan ingin sarapan apa? Aku akan membuatkannya."
"Tidak perlu, An. Jika sempat, Zahra akan membuatkannya untukku, dan jika tidak, maka aku akan sarapan di kantor saja."
Anna mengangguk, dia cukup kesal akan jawaban dari Evan. Sepertinya Anna harus bekerja keras untuk mendapatkan hati Evan.
Tak lama kemudian, Zahra keluar dari kamar. Gadis itu melihat Evan yang sedang mengobrol dengan Anna.
"Anna? Sedang apa mereka?" Zahra berjalan cepat menuruni anak tangga.
"Mas?" panggilnya pelan sambil tersenyum.
"Hei, Sayang. Kau sudah selesai mandi? Kemarilah, aku menunggumu."
Anna muak dengan tutur kata manis yang Evan lontarkan, dia memutar bola matanya kesal.
Zahra duduk di sebelah Evan, dia melirik gelas kopi yang ada di meja. Dirinya kemudian melirik Anna yang berdiri tak jauh dari tempat duduk mereka.
"An, apa kau tidak ada kegiatan lain? Maksudku, apa kau tidak ingin pergi jalan-jalan hari ini? Keadaanmu sudah membaik bukan? Maka dari itu, pergilah berkeliling Mall, salon, atau spa untuk refreshing."
"Ya, tentu aku akan melakukannya." Anna pergi berlalu begitu saja dari hadapan Zahra dan Evan.
"Mas, apa Anna yang membuatkan kopi ini?"
"Hm," Evan pun menjawabnya dengan anggukan.
"Maafkan aku, Mas. Harusnya aku bisa bangun lebih awal."
"Sayang, kenapa kau merasa bersalah? Aku yang sudah membuatmu bangun kesiangan dan aku juga tidak meminta kopi dari Anna."
Zahra merasa beruntung memiliki suami pengertian seperti Evan. Dia masuk ke dalam dekapan pria tampan itu.
Di satu sisi, Anna mendengarkan percakapan mereka. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat.
"Baiklah, mungkin percobaan awal gagal. Aku akan mencobanya di lain waktu." Anna berjalan menaiki anak tangga. Dia begitu kesal dengan kemesraan sepasang suami - istri itu.
Bersambung