NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Satu jam berlalu. Hampir setengah dua belas siang, kami tetap mengerjakan tanpa bisa mendapatkan ketenangan. Berlari semangat, sibuk mencari harta karun. Siapa lagi kalau bukan anak-anak selain Gita, dan Salma. Kumpulan para biadab yang berusaha mendapatkan jawaban musuh dengan berbuat curang.

Papan tulis telah penuh dengan soal-soal baru—Bian yang menuliskan sepuluh soal yang bisa dimuat seluruhnya. Soal seni kebudayaan adalah pelajaran yang dipakai tanpa guru hari ini.

Teman-teman sekelas turut mengerjakan bersama-sama. Berbekal buku paket, sibuk membuka satu per satu halaman kertas. Sesuai soal yang ditunjukkan, mencari bab yang sesuai.

Sejak tadi, Gita selalu menggaruk rambut, menjadikan tidak fokus pikirannya. Telah terputus karena masalah rambut gatal.

Tetapi dia tetap harus menamatkan sepuluh soal yang selalu menunggunya.

Satu kipas berputar di atas kepala kami memberikan dampak dinginnya kepala. Setidaknya meringankan tingkat beban sakitnya pikiran selama mengerjakan soal ini.

Selama itulah, Anak-anak yang selesai langsung meneruskan mengumpul kertas. Bertumpuk-tumpuk seperti menara. Tersisa sedikit orang yang bertahan lama menjawab benar tanpa secuil hasil contekan miris.

"Sudah belum, Git?" Salma telah berdiri, menunggu teman baiknya.

"Sedikit lagi. Sebentar. Jangan pergi!" Gita mengancam, telah selesai memandang Salma.

"Iya, tapi cepatlah, ya?"

"Aku tau. Jangan bicara lagi." Gita menunduk. Gerakan tangan, dan gerakan bola mata selalu sibuk.

Tidak sampai suara bel akan kembali berbunyi, Gita menyerahkan selembar kertas kepada Salma. "Cepat! Kumpulkan, Sal."

Salma mengangguk. Berjalan menuju meja guru, mengumpulkan. Kembali kepada kursi kosong di sebelah kanan Gita.

Kesibukan mereka berdua telah dialihkan setelah bel istirahat kedua dibunyikan.

"Pas ternyata," kata Gita menyengir, "kau mau keluar sekarang?"

"Tidak kalau sekarang, Git. Udara panas disana. Lagipula kamu mau cari apa di luar? Mau jajan lagi?"

"Tidak juga. Makanan yang kita beli tadi juga masih terasa kenyang di perut. Terlalu banyak makan sampai susah bergerak."

"Benar, kan? Kamu terlalu banyak membeli makanan yang tidak diperlukan."

"Hei, setidaknya semua makanan tadi tidak dibuang sengaja. Makanan-makanan itu juga tidak hanya kita saja yang menghabiskan. Kau lihat tampang konyol dari si anak tengil dengan dua penjaganya itu?"

"Iya, tadi melihatnya. Mereka bahagia mendapatkan."

"Sudah jelas karena makanan gratis. Kalau bayar, mereka tidak mau. Tidak perlu mengeluarkan uang, tidak susah payah meminta orang lain. Kalau memikirkan makanan saja langsung berbeda raut wajahnya."

Setelah mendengarkan bagaimana Gita menceritakan ulang kejadian yang menimpa mereka baru-baru ini, Salma tertawa sendiri. Terhibur cerita dari Gita.

"Hei, kalian membicarakan siapa?" Bian datang sendiri karena menyadari suara bahan tertawa dari bangku di dekat jendela.

"Hush, pergi sana. Selalu mengganggu kami, kau ini." Gita mendorong sedikit sentuhan baju Bian.

"Tugas kalian sudah selesai? Sudah dikumpulkan?" Bian memastikan pekerjaan dua temannya.

"Sudah," Gita menjawab pendek.

"Baiklah, turut senang." Bian mengangguk kecil. "Tapi jangan mengganggu yang belum selesai dengan suara tawa kalian ini."

"Yang lainnya, kau tidak menegur mereka? Lihat saja di belakangmu. Sama-sama tertawa. Seharusnya kau turut adil dengan kami."

"Aku sudah melakukan apa yang kamu suruh tadi. Mereka tetap tidak bisa diam. Ini hanya sebagai acuan agar kalian tidak melakukan hal bodoh seperti mereka disana."

"Iya, kami akan keluar saja." Gita berdiri, Salma mengikuti bersama.

Sekarang Gita, dan Salma menghadap tajam menuju Bian.

"Tunggu, aku tidak menyuruh untuk mengusir kalian."

"Yasudah jangan ganggu kami, dan segera urus kertas-kertas itu di meja guru."

Gita duduk. Salma ikut seperti tingkah temannya. Menyusul.

Gita mengamati lagi langkah Bian yang mulai menjauhi kami. Meneruskan tugas si anak tengil sebagai ketua kelas ini. Mengawasi anggotanya yang berjumlah dua puluh lima murid dengan berbagai sifat-sifat yang berbeda ragam. Unik, aneh, absurd.

...***...

Istirahat telah habis setelah kami berdua diam tidak melakukan apapun. Terlalu cepat rasanya, tetapi kehidupan sekolah selalu berjalan tanpa mengenal keadaan.

Kami meneruskan pelajaran. Terdapat dua pelajaran yang tersisa di jam-jam terakhir sebelum berakhirnya masa sekolah, dan sebelum bergantinya hari.

Dua guru yang berbeda mengajar antusias. Tidak seperti sifat guru matematika, inggris. Tampak ada kelembutan yang ditampakkan, dan itu dirasakan oleh Gita selaku pelajar yang berusaha mempelajari dengan giat.

Kami memperhatikan baik, bersungguh-sungguh. Menulis setiap materi yang dibawa, membaca di depan kelas sebagai nilai tambahan pelajaran, diselipi game menyenangkan bila berhasil menjawab maka akan diberikan hadiah. Dan itu tidak setiap hari dilakukan. Biasanya hadiah itu berupa makanan gratis yang dibeli dari kantin-kantin sekolah, atau membeli sendiri dari luar.

Karena ketajaman memperhatikan dengan sungguh-sungguh, menulis apa saja yang dibicarakan dari mulut-mulut dua guru hari ini menjadikan sisa-sisa waktu terbatas, dan terakhir menjadi habis.

Tidak disangka ketika terlalu tenggelam fokus dengan pelajaran, akan semakin cepat waktu yang dibutuhkan. Tanpa sadar sudah bel sekolah lagi yang berdering.

Kami berpamitan setelah sang guru mengucapkan terima kasih. Memasukkan beragam buku, merapatkan resleting tas. Menaikkan tas kepada punggung, berjalan meninggalkan bangku kelas. Berjalan lagi menyusuri lorong berkelok, kami berdua berdiri membicarakan hal-hal seru.

"Besok adalah hari libur nasional. Kamu mau kemana kira-kira?"

"Hari libur? Besok ini?"

"Iya. Kamu baru tau?"

"Ah, aku tidak membaca tanggal kalender. Biasanya ada di dalam ponsel. Dan tadi pagi aku tidak bisa mendapatkan dimana benda itu."

"Kamarmu sangat berantakan, ya? Kamu memang harus selalu membersihkan setiap hari."

"Ya, kalau suasana hatiku sedang baik-baik saja. Pasti sudah kulakukan. Tapi berapa hari liburnya? Dua hari? Tiga hari berutur-turut?"

"Tidak selama itu. Hanya sehari saja, dan itu dimulai besok ini. Apa yang akan kamu lakukan?"

"Diam di rumah. Jaga rumah lama."

"Pasti kakakmu yang menyuruhmu, kan?"

"Iya."

"Kamu pasti bisa. Memang berat kalau mengerjakan sendiri, tidak ada yang membantu. Tapi tidak apa-apa. Kamu tidak akan marah kalau ada orang di dalam satu rumah yang mengacak-acak hasil keringat kerja kerasmu itu. Apalagi jika Ibu harus selalu berteriak menyuruh membereskan rumah."

Gita selaku pendengar, hanya mendengarkan cuitan masalah dari Salma.

Semakin cepat cara mereka melangkah berjalan, pada bagian depan gerbang, telah dibuka oleh satu satpam yang bertugas.

Gita, dan Salma berhenti membicarakan tentang rencana kegiatan mereka sebelum hari libur tiba.

Saling memandang, mengetahui wajah-wajah para pengendara kendaraan yang menunggu setiap hari.

"Mobilmu sudah datang?"

"Belum. Tidak tahu kapan mereka sampai."

Kami terputus bicara. Sibuk melihat orang-orang yang berjalan cepat.

"Hei, Sal," Gita mendekati Salma yang mengamati para penjemput.

Panggilan nama berhasil meraih penglihatan Salma untuk melihat siapa yang memanggilnya. Benar, itu Gita. Selalu Gita. Tidak ada orang lain yang mau memanggil Salma dengan sebutan 'Sal" seperti itu.

"Kau merasa lapar lagi, tidak?"

"Iya. Mulai terasa lapar. Tadi kita tidak jajan. Ada apa kamu bertanya?"

"Ada cafe di dekat sekolah. Hari ini kau ikut aku. Aku akan mentraktirmu lagi apa saja di cafe itu. Bagaimana? Mau tidak?"

"Cafe? Kamu mau meneraktri lagi? Tadi kan sudah?"

"Iya. Mau tidak?"

"Sebenarnya mau sih. Tapi lama tidak disana? Aku tidak boleh pulang terlalu larut."

"Sebentar saja. Kau sudah hubungi orang tuamu?"

"Sudah, pakai ini." Salma mengeluarkan ponsel. Diam-diam ditunjukkan.

"Wah, kau bawa rupanya. Tidak tau kau sekarang punya benda itu."

"Hanya beberapa kali saja."

"Kapan kau akan dijemput? Lama tidak?"

"Kata mereka, sedang ada di bengkel dekat rumah. Mungkin akan sangat lama datang ke sekolah."

"Pas sekali. Kau, aku, selagi menunggu mereka lebih bagus duduk di warung bakso itu. Hanya di depan gang sana. Tidak jauh."

"Tapi bagaimana jika mereka telah sampai di sekolah, sedangkan kita masih duduk disana?"

"Hei, kita hanya membeli bakso saja. Kau bukan bekerja disana sebagai pekerja paruh waktu. Makan satu jam saja sudah selesai cepat."

"Kamu ada benarnya juga, Git. Baiklah, ayo. Makanan itu juga favoritku, hehe."

"Yasudah, ayo pergi."

Kami berlari setelah kesepakatan ini berakhir baik. Sengaja Gita membawa Salma untuk mengikutinya. Mereka terus berlari, dan berlari. Melewati belokan kecil, menyebrang jalan, jelas sudah bangunan yang dituju.

Bangunan lama dengan hiasan dedaunan menggantung menjadikan penyejuk ruangan. Kursi-kursi melingkar, di tengah dipenuhi sebuah payung besar sebagai penutup.

Kami berhenti depan teras. Spanduk warung bakso besar yang menggantung menjadi acuan tujuan kami di sore hari setelah rasa lapar menggerogoti perut kami. Memesan menu-menu yang kami butuhkan, segera berjalan menuju kursi yang dikosongkan.

Beruntung kami memilih yang tidak begitu masuk ke dalam warung bakso. Tetap berada dekat dengan pintu yang bisa dilipat. Jika warung itu berhenti beroperasi, maka pemilik warung akan menggeret paksa benda itu sampai dapat menutup rapat.

Beberapa menit berlangsung cepat. Mas-mas peracik bakso telah berjalan menemui kami. Kotak lebar pembawa dua mangkok panas, dan dua gelas minuman telah dibawa. Diturunkan, diletakkan di atas meja pelanggan seperti kami.

"Terima kasih, Mas," celetuk Gita setelah laki-laki muda kembali berdiri membawa kotak lebar tadi. 

Uap panas menguap di udara, setelah itu hilang entah kemana. 

Kami meracik sendiri apa yang menjadi kekurangan cita rasa kuah kaldu itu. Disediakan jenis persausan dalam botol kaca, mengaduknya, mencicip lagi.

Sepertinya sudah pas.

"Selamat makan."

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!