Disarankan baca "Dear, my first love" dulu ya🙃
"Kalo jalan yang bener, pake mata dedek."
Tangan Shawn setia berada di pinggang Zuya agar gadis itu tidak terjatuh dari tangga. Dan lagi-lagi gadis itu menatapnya penuh permusuhan seperti dulu.
Pertemuan secara kebetulan di tangga hari itu menjadi awal hubungan permusuhan yang manis dan lucu antara Shawn dan Zuya, juga awal dari kisah cinta mereka yang gemas namun penuh lika-liku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 - Pindah ke apartemen
Hanya dalam waktu dua hari, papa Jewis mendapatkan apartemen kosong depan kampus untuk ditinggali Zuya. Sebenarnya apartemen yang akan Zuya tempati tersebut sudah di sewa oleh orang lain, namun karena papa Jewis adalah teman baik dan selalu mensupport bisnisnya dengan dana yang terbilang fantastis, ia pun tidak enak menolak permintaan papa Jewis. Kamar apartemen yang tersisa tersebut diberikan kepada Zuya.
Untungnya orang yang menyewa itu belum kasih depe, jadi gampang dibatalkan.
Zuya senang sekali. Akhirnya dia bisa merasakan hidup sendiri juga. Hari ini dia pindahan. Barang-barang yang lain akan dibawa oleh abangnya hari pas weekend nanti. Orangtuanya akan datang bareng abangnya karena hari-hari biasa mereka sibuk masing-masing.
Papa Jewis dan bunda Amalia juga tengah sibuk mau berangkat ke luar negeri minggu depan. Suami dari adiknya bunda Amalia mengalami masalah bisnis yang serius jadi bunda Amalia harus ke sana menemani sang adik. Papa Jewis tentu menemani sang istri, sambil melihat keadaan kalau-kalau ada yang bisa laki-laki itu bantu.
Sekarang ini Keno dan Bowen yang menemani Zuya, membantu gadis itu membawa sebagian barangnya dan menata apartemen sesuai dengan yang Zuya mau. Igo tidak bisa turut membantu karena jadwalnya hari ini padat sekali.
Ketiga orang itu tiba di depan gedung apartemen. Bangunannya besar mungkin ada sekitar dua puluh lantai Setiap lantainya memiliki dua apartemen yang berhadapan.
Entah orang seperti apa yang tinggal di seberang apartemen yang akan ditempati Zuya. Gadis itu mengedikan bahu, tidak peduli juga.
"Sudah benarkan ini apartemennya?" Keno bertanya ketika lift berhenti di lantai enam belas dan Zuya berjalan di apartemen 24.
"Iya. Kata papa lantai enam belas apartemen nomor 24. Nih lihat chat papa aku." gadis itu menunjukan chattingan dia sama papanya pada kedua sahabat laki-lakinya.
"Ya udah, ayo masuk." Bowen menimpali. Mereka pun masuk dengan key card yang Zuya dapat dari salah satu penjaga apartemen di bawah. Dia akan memakaikan password nanti agar lebih terjamin keamanannya.
Ketika pintu terbuka, isi apartemen tersebut langsung nampak. Ruangannya sangat luas. Fasilitasnya memadai. Ruang tengah besar dan sofanya tidak norak, dapur yang enak dipandang, ada juga ruang duduk khusus yang mengarah ke balkon sempit yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian. Satu bilik khusus untuk kloset di sebelah kamar tidur, satu kamar mandi kecil yang dilengkapi dengan mesin pemanas air, dan kamar tidurnya ada dua dengan ukuran ruangan yang cukup besar. Zuya puas. Papanya terbaik deh, bisa cari apartemen sebagus ini buat dia tinggali.
"Kamu yakin nggak takut tinggal sendirian di sini?" Keno bertanya. Ia sendiri yang kurang yakin.
Selain penakut dan manja, Zuya ini kan belum ada pengalaman tinggal sendiri. Yang lucu kalau tiba-tiba gadis itu minta pulang besok.
"Yakin dong Ken-ken. Kalo nggak yakin nggak mungkin aku ada di sini sekarang."
Keno manggut-manggut, sesekali tertawa kecil. Mudah-mudahan saja perkataan Zuya benar.
"Mau bersih-bersih nggak?" Bowen buka suara. Apartemen ini sih sudah keliatan bersih sekali. Mungkin baru dibersihin sama pemiliknya. Tapi kebiasaan Bowen kalau pindahan begini, mau dia atau temannya mereka akan mikir sama-sama bagaimana menata semua barang-barang sesuai dengan yang mereka inginkan.
"Aku sih terserah, kan yang kerja kalian juga." sahut Zuya. Gadis itu menjatuhkan dirinya ke sofa.
"Dasar pemalas ulung." Bowen mengetuk pelan kepala gadis itu. Selalu saja begitu. Zuya yang manggil mereka bantuin dia kerja, tapi dia sendiri malas gerak. Maunya tidur-tiduran aja.
"Yang penting bukan penipu ulung." balas gadis itu menyengir lebar.
Keno dan Bowen ikut tertawa. Walaupun malas dan nakal begini, mereka selalu menyayangi Zuya dan sangat menjaganya. Kalau ada apa-apa sama gadis itu, mereka adalah pasukan dalam garda terdepan yang akan membelanya.
Kedua pria itu pun memulai pekerjaan bersih-bersih mereka. Menata barang-barang di tempat yang menurut mereka lebih cocok. Zuya bertugas memesan makanan. Kurang lebih dua jam dua laki-laki itu bekerja keras barulah pekerjaan mereka selesai. Makanan yang di pesan oleh Zuya juga sudah sampai. Setelah dipanaskan kembali, ketiganya makan dengan lahap.
"Bow-bow masih mau ke kampus?" Zuya menatap Bowen dengan mulut penuh makanan.
"Telan dulu makanannya baru ngomong Zuzu manis. Berapa kali mesti diingetin sih." Keno mencubit gemas pipi sahabatnya ini. Sahabat perempuan satu-satunya yang sudah mereka anggap keluarga sendiri. Zuya seperti adik mereka sendiri.
Saat Zuya menelan makanannya, Bowen memberikan segelas air putih untuk gadis itu minum.
"Kenapa masih ke kampus malam-malam begini? Bow-bow nggak takut gelap? Ih, pasti banyak hantunya. Tahu nggak, teman-teman sekelas aku bilang kalau jalan sendirian di koridor panjang malam-malam, di belakang tuh pasti banyak yang ikutin. Serem nggak? Serem kan?" Zuya berseru lebay. Mengundang tawa Bowen dan Keno.
"Kamu-nya yang penakut. Orang aku sering ke kampus malam-malam."
"Terus ada yang ikutin nggak?"
"Nggaklah. Yang ada hantunya yang takut sama aku."
"Bohong. Pasti ada tapi kamu takut bilang ke kita-kita."
Bowen hanya menggeleng-geleng. Dasar Zuya. Ada-ada saja. Selalu menbayangkan hal-hal yang tidak masuk akal.
"Ada latihan?" giliran Keno yang bertanya. Bowen mengangguk.
Perbincangan ketiga manusia itu terus berlanjut sampai jam menunjukkan pukul tujuh malam. Keno dan Bowen pun pamit pulang.
"Jangan keluar lagi. Kalau ada apa-apa langsung hubungi kita bertiga atau abang kamu."
"Iya tahu. Hati-hati di jalan, kalah udah sampe kabarin aku." Zuya melambaikan tangannya kepada kedua laki-laki tersebut.
Setelah keduanya menghilang ke dalam lift dan liftnya tertutup, Zuya berjalan kembali ke apartemennya. Gadis itu membuka pintu apartemennya, namun langkahnya terhenti saat mendengar apartemen di seberangnya terbuka. Ketika Zuya menolehkan wajahnya ke belakang, seorang laki-laki tinggi yang amat dia kenali berdiri lurus di depannya.
Mata Zuya melotot lebar. Laki-laki di depannya itu juga sama kagetnya. Tapi raut wajahnya tampak biasa saja. Ia masih bisa mengontrol mimik wajahnya.
"Om jelek, kok ada di sini?"