Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Api di Langit
Suasana kapal selam terasa sunyi mencekam setelah pelarian mereka dari Nexus. Hanya suara deru mesin dan detakan jantung yang menemani. Elara duduk diam di sudut, tangannya gemetar meskipun dia mencoba menyembunyikannya. Mata Ardan memandang ke arah pintu kapal selam, berharap keajaiban bahwa Mira akan muncul, tetapi harapan itu sirna bersama ledakan yang dia saksikan beberapa menit lalu.
"Kita kehilangan terlalu banyak," gumam Ardan akhirnya, memecah keheningan.
Elara menatapnya tajam. "Tapi kita berhasil. Dunia sekarang tahu siapa Eden sebenarnya."
Namun, kata-kata itu terdengar kosong bahkan di telinganya sendiri. Kemenangan mereka datang dengan harga yang sangat mahal. Nexus hancur, tetapi mereka telah kehilangan sebagian besar tim mereka, termasuk Mira—salah satu sekutu terkuat yang pernah mereka miliki.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di markas bawah tanah Black Veil, tempat sisa-sisa jaringan perlawanan sedang menunggu. Wajah-wajah yang penuh harapan segera berubah menjadi ketakutan saat mereka melihat betapa sedikitnya tim yang kembali.
"Di mana yang lain?" tanya salah satu anggota, suaranya gemetar.
Elara hanya menggelengkan kepala. "Mereka berkorban untuk memastikan misi ini berhasil."
Sebuah layar besar di tengah ruangan mulai menampilkan siaran berita dari berbagai negara. Data yang mereka unggah dari Nexus kini telah menyebar luas. Dunia akhirnya melihat kengerian di balik organisasi Eden: eksperimen manusia, pencucian otak massal, dan rencana mereka untuk menguasai sistem pemerintahan global.
"Kita mengguncang dunia," kata Ardan sambil memandang layar. "Tapi Eden tidak akan diam."
Elara mengangguk. "Mereka akan menyerang balik, dan kali ini, mereka tidak akan menunjukkan belas kasihan."
Di pusat komando Eden yang tersisa, suasana dipenuhi dengan kemarahan dan dendam. Seorang wanita dengan rambut pirang panjang, mengenakan jas putih elegan, berdiri di depan meja konferensi. Dia adalah Cassandra, salah satu pemimpin tertinggi Eden yang dikenal karena kecerdasan strategis dan kekejamannya.
"Bagaimana bisa sebuah fasilitas sebesar Nexus hancur tanpa peringatan?" suaranya dingin, seperti pisau yang menusuk setiap orang di ruangan itu.
"Black Veil bekerja sama dengan pemberontak," jawab salah satu petinggi dengan gugup. "Mereka menyusup melalui jalur bawah laut."
"Mira." Cassandra menyebut nama itu dengan kebencian yang jelas. "Aku sudah tahu dia akan menjadi duri di pihak kita. Tapi sekarang, dia sudah tidak ada. Bagus. Namun, kerusakan yang dia tinggalkan... tak bisa dimaafkan."
Dia berjalan ke tengah ruangan, menatap hologram yang menampilkan wajah Elara dan Ardan. "Mereka pikir sudah menang? Mereka pikir sudah menghancurkan Eden? Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya mereka hadapi."
Cassandra menekan tombol di meja, memunculkan peta yang menampilkan markas Black Veil. "Temukan mereka. Habisi semua yang berani menentang kita."
Kembali di markas Black Veil, Elara dan Ardan menyusun rencana untuk langkah berikutnya. Namun, ketegangan di antara anggota mulai meningkat.
"Berapa banyak lagi yang harus mati demi perang ini?" tanya salah satu anggota, matanya penuh amarah.
"Kita semua tahu risikonya," balas Elara dengan tegas. "Kalau kita tidak melawan, Eden akan menguasai dunia. Kita tidak punya pilihan."
"Tidak punya pilihan?" pria itu melangkah maju. "Kau tidak kehilangan apa-apa di sini, Elara. Tapi kami kehilangan keluarga, teman..."
"Kau pikir aku tidak kehilangan siapa pun?!" Elara membentak, emosinya akhirnya meledak. "Aku kehilangan Mira. Aku kehilangan timku. Tapi aku tidak akan berhenti hanya karena rasa sakit. Kalau kau ingin menyerah, lakukan saja. Tapi aku akan terus maju."
Keheningan menyelimuti ruangan. Tidak ada yang berani membalas kata-kata Elara.
Ardan mendekatinya, meletakkan tangan di pundaknya. "Kita butuh mereka. Jangan sampai mereka kehilangan kepercayaan padamu."
Elara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Kita akan bertahan. Tidak peduli apa yang terjadi."
Malam itu, markas Black Veil diserang. Tanpa peringatan, drone tempur dan pasukan Eden menyerbu dari segala arah. Ledakan mengguncang ruangan, membakar peralatan dan menghancurkan dinding-dinding logam.
Elara terbangun oleh suara alarm dan segera meraih senjatanya. "Mereka menemukan kita!"
Ardan sudah berada di dekat pintu, menembak musuh yang mencoba masuk. "Kita tidak punya banyak waktu! Kita harus keluar dari sini!"
Markas itu berubah menjadi medan perang. Elara memimpin sisa pasukan Black Veil melawan serangan Eden, tetapi jumlah musuh terlalu besar.
"Kita tidak bisa bertahan di sini!" teriak Ardan.
Elara mengangguk. "Semua orang, mundur ke jalur evakuasi!"
Namun, saat mereka mencoba melarikan diri, Cassandra muncul di layar besar di tengah ruangan.
"Kalian pikir bisa melarikan diri dariku?" katanya dengan senyum dingin. "Aku akan menghancurkan setiap tempat yang kalian sebut rumah. Aku akan membuat kalian menyaksikan kehancuran kalian sendiri."
Elara menembak layar itu dengan marah, menghancurkannya menjadi serpihan. "Dia tidak akan menang."
Elara dan Ardan berhasil keluar dari markas bersama beberapa orang yang selamat. Mereka melarikan diri melalui terowongan bawah tanah, tetapi pasukan Eden terus mengejar mereka.
Di tengah pelarian, mereka harus melewati perangkap dan menghadapi musuh yang tidak kenal lelah. Setiap langkah terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati.
Ketika mereka akhirnya mencapai permukaan, hanya sedikit yang tersisa dari kelompok itu. Mereka berdiri di atas bukit, menyaksikan markas Black Veil terbakar di kejauhan.
"Kita kehilangan segalanya," kata salah satu anggota, suaranya penuh keputusasaan.
"Tidak," kata Elara dengan tegas. "Selama kita masih hidup, kita masih punya kesempatan untuk melawan."
Dia memandang ke arah Ardan, matanya penuh tekad. "Ini belum berakhir. Cassandra akan membayar untuk semua ini."