Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Makanan
Bab 10. Makanan
POV Author
Lastri membuang napas berat melihat anaknya menangis sesunggukan yang sudah hampir satu satu jam menangis. Masih tentang boneka yang di ambil oleh neneknya.
Memang bagi kita yang melihat sekilas tentang hal ini itu hanyalah sekedar boneka yang bisa kita ganti dengan boneka yang lain jika hanya untuk bermain. Tapi mungkin tidak bagi Diah yang baru pertama kali menerima hadiah boneka itu dari sang Ayah.
"Mala jahat! Nenek jahat! Huuuwuu...."
Lastri mendekati putrinya yang menangis sambil tertunduk dan menarik-narik ujung bajunya.
"Sayang... Jangan sedih ya. Siapa tahu nanti Ayah belikan lagi boneka buat Diah. Atau kalau Diah mau, Ibu belikan boneka dua buah untuk Diah, mau?"
Diah menggeleng.
"Mau boneka itu... Huuuwuu...."
Sekali lagi Lastri membuang napas berat karena bujukannya tidak berhasil. Lastri pun menatap sendu anaknya.
Kasihan kamu Nak, semoga saja Mas Hendra mau mengambil kembali boneka itu dari Ibu. Aku akan mencoba berbicara dengan Mas Hendra nanti . Sabar sayang..., batin Lastri.
Lastri membelai lembut kepala Diah yang masih terisak tangis walau tidak lagi bersuara. Lalu melihat jam dinding yang menujukan waktu sudah pukul 17.12 sore.
"Diah mandi yuk, sudah sore. Sebentar lagi Ayah pulang." Ajak Lastri.
Mendadak Diah berhenti menangis. Gadis kecil itu mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Kemudian melihat ke luar jendela untuk memastikan warna langit yang menunjukan keadaan sore hari.
Diah pun mengangguk.
Lastri menghela napas lega. Diah tidak lagi menangis meski hatinya pasti masih merasa sedih. Setidaknya anaknya itu bukanlah anak yang terkadang ingin permintaannya selalu di turuti. Diah berbeda, anak itu penurut dan terkadang peka dengan keadaan yang ada. Padahal usianya masih kecil.
Lastri pun menuntun anaknya ke kamar mandi. Selagi Diah mandi sendiri, Lastri menyiapkan pakaian tidur untuk Diah.
Hari mulai menjelang malam. Diah sudah duduk rapi dan bersiap untuk makan malam, Hendra pulang sambil membawa boneka yang tentu saja sangat Diah kenali. Seketika senyumnya pun terbit.
"Mas sudah pulang?"
Sapa Lastri melihat Hendra pulang sambil membawa boneka. Lastri yang tadinya ingin berbicara, alih-alih membatalkan karena melihat Diah sudah kembali tersenyum senang.
"Berikan pada Diah. Jangan marah sama mbak Tatik maupun Ibu. Mereka hanya salah paham padamu. Dan Jangan di permasalahkan lagi. Yang penting boneka ini sudah kembali pada Diah." Ujar Hendra menyodorkan boneka itu pada Lastri.
Lastri menerimanya.
"Tapi Mas, ada hal lain yang ingin aku tanyakan."
"Apa lagi Lastri?!"
"Apa Mas meminjamkan motor sama mbak Tatik? Terus Mas ke kantor naik apa?"
"Tatik lagi ada perlu saja hari ini. Jadi Mas kekantor naik ojol. Besok-besok Mas sudah ke kantor naik motor lagi." Kilah Hendra dengan santainya.
Kecurigaan di hati Lastri memudar sedikit. Tetapi Lastri tidak ingin sepenuhnya percaya ucapan Hendra, karena bisa saja Hendra hanya ingin melindungi keluarganya seperti yang suaminya itu lakukan selama ini.
"Sudah, aku lapar! Aku mau keluar nanti malam di ajak teman ngopi. Siapkan makan untukku!" Perintah Hendra.
Lastri tidak membantah karena itu kewajibannya.
"Baik Mas."
Lastri pun menggoreng telur dan menghangatkan sayur asem yang tadi siang ia beli. Kemudian menyajikannya di meja makan.
Hendra sudah tampak rapi kembali, lebih segar dan wangi setelah mandi. Ia langsung duduk di meja makan. Tanpa menanyakan Lastri sudah makan atau belum, Hendra makan dengan lahapnya.
Tidak banyak percakapan yang terjadi diantara pasangan suami istri itu. Memang seperti itu yang terjadi selama ini selama bertahun-tahun. Lastri sudah tidak heran lagi, meski tetap saja kadang kala hatinya sedih bila melihat keluarga orang lain yang hidup rukun dan saling menyayangi.
"Jangan tunggu aku pulang. Tidur saja duluan." Ujar Hendra setelah menghabiskan makanan.
Tanpa mempedulikan Lastri, Hendra pun pergi dengan sepeda motornya.
Lastri menghela napas, dan menutupi pintu rumahnya rapat-rapat. Namun belum jauh langkah kaki Lastri masuk ke dalam rumah, pintunya sudah kembali di gedor dari luar.
"LASTRI!! LAS..!! BUKA PINTUNYA?!"
Lastri mengenali suara teriakan itu. Suara ibu mertua yang minta di bukakan pintu.
"Ibu! Ada apa Bu?" Tanya Lastri.
"Ibu mau minta nasi. Nasi ibu kehabisan di rumah." Ujar Bu Ida.
Wanita paruh baya itu menyelonong masuk tanpa di minta. Ia segera menuju dapur di rumah itu dan mengambil nasi dan menaruhnya di wadah yang ia bawa.
"Wah ada sayur asem. Ibu suka ini!"
Lastri terdiam melihat ibu mertuanya mengambil semua nasi yang tersisa. Padahal dirinya dan Diah belum makan malam. Bahkan sampai sayur asem pun di bawa, serta tahu dan tempe yang biasanya di makan oleh Lastri dan anaknya.
Astagfirullah..., habis semua makanan kami ibu bawa. Padahal anakku dan aku belum juga makan, batin Lastri mengeluh.
"Bu.... Aku dan Diah belum makan." Ucap Lastri.
Bu Ida menatap sinis pada Lastri.
"Halah, kamu sama mertua sendiri pelit! Kamu kan bisa masak lagi. Sudah, ibu mau pulang dulu. Dino dan Marla sudah menunggu."
Tapi memikirkan perasaan Lastri, Bu Ida pun pulang membawa lauk pauk serta nasi dari rumah Lastri.
Lastri meremas ujung bajunya.
Lagi-lagi untuk cucu kesayangannya. Pasti mbak Tatik yang menyuruh dan ia sendiri tidak berani kesini karena malu kalau tadi ia sudah salah merebut boneka Diah, batin Lastri menggerutu.
Lastri menatap anaknya yang bingung memandang dirinya. Pastilah Diah bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan mereka makan sedangkan makanan mereka di bawa semua oleh neneknya.
"Bu...., kita makan apa?" Tanya Diah.
Lastri hanya memendam rasa marah dan kesalnya dalam hati. Baru saja keadaan sudah mulai damai, ada saja prilaku ibu mertuanya yang bikin ia harus banyak menahan sabar.
"Kita beli bakso mau?"
Mata Diah berbinar dan segera mengangguk.
Biar saja dapur rumah ini kosong, dari pada isinya lari ke perut mereka. Belum lagi aku yang selalu di salahkan dan tidak di pedulikan oleh mereka. Lebih baik aku dan Diah makan enak di luar sana, batin Lastri.
Kalau saja bukan karena anak dan memikirkan kehidupan orang tua yang sulit di kampung, sudah lama rasanya Lastri ingin berpisah dari Hendra. Apalagi Lastri sering merasa sakit hati oleh sikap keluarga suaminya.
Lastri bukanlah wanita yang penuh kesabaran, dan ketabahan saat ujian dan cobaan terus mendera. Ia juga wanita yang rapuh dan mudah marah meski hanya bisa di tahan dalam dadanya.
Satu hal yang mungkin membuat Lastri menyerah, yaitu jika Hendra sampai memiliki istri lain selain dirinya.
Lastri dan Diah pun menutup pintu rumahnya, dan berjalan kaki menuju ujung gang dimana banyak para pedagang menjajakan jualan mereka.
Bersambung...