"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Langkah Besar Hania
Hania, yang berdiri tak jauh dari mereka, menggenggam jemarinya sendiri di sisi tubuhnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Jumlah yang disebutkan Prastyo bukan angka kecil, tetapi ia tahu ia bisa mengusahakannya, jika ia berani mengambil langkah besar.
Ziyo menutup matanya sesaat sebelum bicara pada Prastyo lagi. “Kita tidak bisa mencari orang sembarangan.”
"Saya akan berusaha mencari investor besar yang bersedia berpihak pada kita," ucap Prastyo akhirnya, meskipun ia sadar betapa sulitnya hal ini, bahkan nyaris mustahil. Namun, ia tetap akan berusaha, berharap keajaiban benar-benar ada.
Hania menunduk, pikirannya mulai bekerja. Investor besar.
Ia tahu persis bagaimana caranya menjadi investor itu.
Dadanya terasa sesak. Semua ini tidak akan terjadi jika Ziyo tidak mengalami kecelakaan karena dirinya. Jika ia benar-benar ingin menebus kesalahannya, maka inilah jalannya.
Tanpa menyadari, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya.
Ia telah mengambil keputusan.
Ziyo menatap ke arah Prastyo dengan sorot mata yang penuh ketulusan meskipun ia tak bisa melihat. “Terima kasih, Pak Pras. Di saat seperti ini, aku benar-benar menghargai dukungan Bapak,” ucapnya dengan suara rendah, namun sarat dengan rasa syukur.
Prastyo tersenyum tipis, sedikit menggeleng. “Saya telah banyak mendapatkan manfaat dari keluarga Anda, Tuan. Mana mungkin saya meninggalkan Anda di saat seperti ini?” katanya dengan nada tegas.
Keheningan sejenak mengisi ruangan. Hania, yang sejak tadi diam, menyadari bahwa meskipun situasi ini sulit, Ziyo masih memiliki orang-orang yang setia di sisinya. Dan entah kenapa, hatinya terasa semakin berat.
***
Hania duduk diam di dalam kamarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar aset miliknya, sebuah apartemen di pinggiran kota, kafe di dekat kampus, saham di beberapa perusahaan, dan tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun.
Jari-jarinya gemetar saat ia mulai menghubungi agen properti.
“Aku ingin menjual apartemenku,” katanya singkat.
Suara di ujung telepon terdengar terkejut. “Kak Hania yakin? Bukankah apartemen itu tempat impian Kakak?”
Hania menutup matanya, menekan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. “Aku akan membuat lagi di tempat yang lebih indah. Tolong urus secepatnya.”
Setelah menutup telepon, ia membuka aplikasi perbankannya, mentransfer sebagian besar tabungannya ke akun anonim yang telah ia siapkan. Semua ini demi satu tujuan: memastikan Ziyo tetap bertahan.
Saat suara notifikasi transaksi berhasil terdengar, hatinya terasa sedikit lebih tenang, meskipun ia tahu ini baru permulaan.
Namun, di sudut pikirannya, ia juga menyadari satu hal, jika orang tuanya tahu, mereka pasti akan terkejut. Dan lebih dari itu, mereka mungkin akan mencoba menghentikannya.
***
Ponsel Rian bergetar di genggamannya, menampilkan nomor yang sudah ia nanti-nantikan. Dengan cepat, ia mengangkat panggilan itu.
“Bagaimana? Ada kabar?” tanyanya langsung, suaranya dipenuhi ketegangan.
Di seberang, suara pria itu terdengar jelas. “Tuan, kami menemukan sesuatu. Putri Anda... dia telah menjual hampir semua aset pribadinya.”
Rian terdiam, seolah kata-kata itu tak langsung masuk ke dalam pikirannya. “Apa maksudmu?”
“Rekening-rekeningnya kosong, beberapa properti atas namanya sudah berpindah tangan. Kami masih menelusuri ke mana semua uang itu mengalir, tapi... sepertinya dia melakukan ini dengan sengaja dan dalam waktu singkat.”
Darah Rian berdesir. Jemarinya menggenggam ponsel lebih erat.
“Ada yang tidak beres...” gumamnya.
Di sampingnya, Riri yang sedari tadi memperhatikan suaminya langsung meraih lengannya. “Rian? Ada apa?”
Rian menatap istrinya dengan mata yang kini dipenuhi kekhawatiran. Butuh beberapa detik baginya untuk mengumpulkan kata-kata sebelum menjelaskan.
“Hania… dia menjual semua asetnya,” ujarnya, suaranya terdengar berat.
Mata Riri membulat. “Apa?! Kenapa dia melakukan itu?”
“Aku juga tidak tahu... Tapi ini bukan tindakan impulsif. Dia menghilang, dan sekarang dia mengosongkan semua yang dia punya. Aku khawatir, Riri. Sangat khawatir.”
Riri menatap suaminya dengan ekspresi cemas. Ada sesuatu yang terjadi dengan putri mereka, sesuatu yang besar. Dan mereka harus menemukannya sebelum semuanya terlambat.
***
Di dalam kamar luas dengan pencahayaan lembut, Ziyo duduk di kursi roda dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya yang buta menatap lurus ke depan, seolah masih bisa melihat, meskipun yang ia hadapi sekarang hanyalah kehampaan. Ketika suara ketukan terdengar di pintu, ia tahu siapa yang datang sebelum wanita itu membuka pintu.
"Masuklah, Tante Diva," ucapnya dengan nada datar.
Diva melangkah masuk dengan langkah pelan, seolah menyamarkan ketegangan yang menggumpal di dadanya. Sejak kecelakaan yang menimpa Ziyo, ia tahu waktunya untuk bergerak semakin dekat. Namun, pria itu tidak bisa dianggap remeh.
"Ziyo," panggilnya dengan nada lembut, seolah seorang ibu yang penuh kasih. "Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang penting."
Ziyo mengangguk pelan. "Silakan. Aku mendengarkan."
Diva menarik napas sebelum akhirnya berbicara, "Aku baru saja menerima kabar bahwa direksi mempertimbangkan aku untuk menggantikan posisimu sebagai CEO. Tentu saja, aku tidak merasa pantas. Aku hanya mantan sekretaris ayahmu, dan ini adalah perusahaan keluarga. Aku tidak ingin orang-orang berpikir aku memanfaatkan situasi ini."
Ziyo tersenyum tipis. "Benarkah begitu, Tante? Jadi mereka yang mengusulkan? Bukan keinginanmu sendiri?"
Diva tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. "Tentu saja bukan, Ziyo. Aku hanya ingin memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik. Aku rasa aku juga tidak memiliki keahlian yang cukup untuk memimpin perusahaan sebesar ini. Aku lebih nyaman bekerja dari balik layar, mendukung dari posisi yang sekarang."
Ziyo terdiam beberapa saat, lalu berkata dengan nada santai, "Tante benar. Memimpin perusahaan bukan perkara mudah. Perlu pengalaman, pemahaman yang dalam tentang bisnis, dan tentu saja, loyalitas yang tidak tergoyahkan."
Diva mengangguk cepat. "Itulah yang aku maksud. Aku hanya ingin menjaga semuanya tetap stabil sampai kamu kembali pulih. Aku tidak ingin mengambil keputusan yang akan merugikanmu."
Ziyo menghela napas. "Sikapmu sungguh luar biasa, Tante. Memprioritaskan kesehatanku di atas segalanya. Menunggu kepulanganku tanpa tergesa-gesa merebut posisi yang memang seharusnya menjadi hakku."
Diva sedikit tergagap, tetapi segera mengendalikan ekspresinya. "Tentu saja, Ziyo. Aku hanya ingin yang terbaik untuk perusahaan dan untukmu."
"Dan untuk dirimu sendiri juga, bukan?" Ziyo menyisipkan kalimat itu dengan halus, hampir seperti gumaman, tetapi cukup jelas untuk membuat Diva sedikit menegang.
Diva tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Aku hanya melakukan apa yang terbaik. Aku juga berpikir, mungkin ada orang lain di perusahaan yang lebih cocok untuk kesempatan ini. Aku lebih baik tetap di posisiku sekarang."
"Benar," sahut Ziyo, kali ini nada suaranya lebih tajam. "Mungkin ada orang lain yang lebih cocok. Bukan seseorang yang sedang mengulur waktu untuk menguatkan posisinya dan mencari celah yang lebih besar."
Diva membeku sejenak. Mata buta Ziyo yang tampaknya kosong itu terasa menusuk. Seolah pria itu bisa melihat jauh ke dalam hatinya yang dipenuhi ambisi.
"Aku percaya, Tante tidak akan melakukan hal seperti itu," lanjut Ziyo dengan senyum samar. "Karena, bagaimanapun, kau adalah bagian dari keluarga. Aku yakin kesetiaanmu tidak akan pernah berubah."
Diva menggenggam jemarinya sendiri dengan erat. Seolah berada dalam tekanan yang tidak terlihat, tetapi ia tahu bahwa Ziyo bukan orang yang bisa dimanipulasi dengan mudah.
"Tentu saja, Ziyo. Aku akan selalu berada di pihak keluarga," jawabnya, masih mempertahankan kepura-puraannya.
Ziyo mengangguk pelan. "Baguslah. Aku senang mendengar itu."
Diva tahu percakapan ini harus segera diakhiri sebelum ia kehilangan kendali atas situasi. "Kalau begitu, aku akan kembali ke kantor. Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar."
"Terima kasih sudah datang, Tante," ucap Ziyo tenang. "Aku menantikan kabar baik dari perusahaan."
Diva tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah keluar, tetapi saat punggungnya menghilang di balik pintu, Ziyo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi roda, bibirnya menekan garis tipis.
"Ambisi yang diselimuti kepura-puraan," gumamnya pelan. "Kau memainkan permainan yang menarik, Tante. Tapi jangan lupa, aku juga tahu cara bermain."
Di luar kamar, Diva mengepalkan tangannya. Percakapan barusan menegaskan satu hal, Ziyo mungkin buta dan lumpuh, tetapi ia sama sekali tidak kehilangan instingnya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Tinggal bersama kakak ziyo dan hania...
Diva dilaporkan ke polisi...
Demi ambisimu ingin menguasai perusahaan Clara tega selingkuh dengan Clara...