Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Di gang sempit dekat sekolah, Kevin berjalan sendirian sambil merokok dengan langkah waspada. Dia merasa ada yang tidak beres karena teman satu gengnya tidak mengikutinya.
Benar saja, Sagara dan gengnya muncul. Sagara berdiri di tengah mereka, wajahnya datar namun sorot matanya tajam.
"Kevin," panggil Sagara dengan suara rendah tapi penuh ancaman.
Kevin langsung berbalik, bersiap kabur, tapi dua orang dari geng Sagara sudah lebih dulu menghalangi jalannya.
"Lo mau ke mana?" tanya Raka.
"Lo nggak bisa lari, Kev," tambah Damar, yang langsung mencengkeram bahu Kevin dengan keras.
Kevin meronta, tapi geng Sagara sudah mengapitnya dari semua sisi.
"Jangan bikin gue marah," kata Sagara dengan nada tenang tapi mengerikan. "Kita cuma mau ngobrol sebentar. Gak akan lama kalau lo mau jujur."
Mereka menarik Kevin masuk ke dalam mobil dan membawanya ke basecamp—sebuah bangunan tua yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul. Begitu tiba, Kevin dilempar ke kursi kayu yang ada di tengah ruangan. Lampu redup menggantung di atas kepalanya, menciptakan bayangan menyeramkan di wajah-wajah orang di sekelilingnya.
Sagara berdiri di depan Kevin, melipat tangan di dada. "Gue nggak akan bertele-tele. Siapa yang nyuruh lo menjebak Dwiki?"
Kevin tetap diam, menatap Sagara dengan tatapan menantang.
"Gue tanya lo baik-baik, tapi lo malah milih buat keras kepala."
Dengan isyarat tangannya, Raka dan Damar langsung bergerak. Pukulan pertama mendarat di perut Kevin, membuatnya terbungkuk kesakitan.
"Jangan main-main sama kami," ujar Damar dingin sebelum meninju wajah Kevin.
Kevin terbatuk, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tapi dia tetap tak membuka mulut.
Sagara menghela napas panjang, lalu menunduk hingga sejajar dengan wajah Kevin. "Gue nggak akan ikut campur kalau ini cuma urusan Dwiki. Tapi ini juga menyangkut soal Rhea." Sagara mencengkeram kerah kemeja Kevin dan menariknya mendekat. "Di situ ada hasil USG atas nama Rhea. Gue sedang mencari pelaku yang sebenarnya. Gue gak mau orang yang sudah menghancurkan hidup Rhea masih bebas berkeliaran."
Kevin tak juga menjawab.
"Siapa yang nyuruh lo?" desak Sagara sekali lagi.
Kevin masih mencoba bertahan, tapi Sagara memberikan isyarat. Pukulan berikutnya mendarat di rahang Kevin, membuat kepalanya terhuyung.
"Gue gak tahu apa-apa! Lo gak punya bukti, kenapa nuduh gue!"
"Lo bohong! Lo tahu, kalau berurusan sama gue, lo gak akan lepas begitu saja."
Kevin menggigit bibirnya yang berdarah, tubuhnya bergetar. "Gue cuma disuruh naruh barang itu di tas Dwiki..."
"Siapa yang nyuruh?" tanya Sagara dingin.
Kevin menggeleng. "Gue nggak tahu! Sumpah, gue cuma nerima perintah!"
Sagara mengisyaratkan sesuatu pada Raka. Tanpa ragu, Raka menarik rambut Kevin ke belakang, membuatnya mendongak menatap Sagara.
"Jangan bohong," bisik Sagara, suara dinginnya membuat bulu kuduk Kevin meremang. "Gue bisa buat lo menyesal."
Kevin gemetar, tahu bahwa melawan akan sia-sia. Akhirnya, dengan suara lemah, dia mengaku, "Gue dikasih uang buat naruh barang itu sama Pak Novan karena gue juga dendam sama Dwiki, akhirnya gue melakukannya."
Sagara menatap Kevin mencari kejujurannya, lalu dia berbalik ke arah teman-temannya. "Lepaskan dia."
Raka dan Damar saling pandang, tapi tetap menuruti perintah Sagara. Mereka melepas cengkeraman mereka pada Kevin, yang langsung jatuh berlutut di lantai.
Sagara berjongkok, menatap Kevin dengan tajam. "Lo jangan kasih tahu Novan. Kalau lo kasih tahu, lo yang akan dipenjara!" Sagara menepuk bahu Kevin pelan, tapi tatapannya penuh ancaman.
Kevin mengangguk cepat.
Sagara berdiri dan berjalan keluar. "Kita punya urusan lain sekarang," katanya pada gengnya. "Saatnya kasih pelajaran buat orang yang sebenarnya."
...***...
Vera menghentikan motornya tepat di depan rumah Novan. Tangannya mencengkeram erat setang motor, sementara dadanya naik turun dalam irama yang tidak beraturan.
Dia menatap rumah besar berarsitektur minimalis itu. Novan belum pulang karena masih ada rapat di sekolah. Ini adalah waktu terbaik untuk menerobos masuk dan mencari bukti yang bisa mengungkapkan rahasia yang disembunyikan pria itu.
Vera melepas helmnya dan mengibaskan rambutnya yang sedikit berantakan. Dia harus santai, seperti seseorang yang memang datang berkunjung tanpa maksud mencurigakan. Setelah menarik napas panjang, dia berjalan menuju pintu, lalu menekan bel.
Tak butuh waktu lama, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah..
“Vera?” Wanita itu tampak sedikit terkejut melihatnya berdiri di depan rumah.
Vera tersenyum ramah. “Selamat sore, Tante. Mas Novan ada di rumah?”
“Dia masih di sekolah. Ada rapat katanya,” jawab ibunya, sambil mengancingkan blazer yang dipakainya. “Tante juga mau pergi sekarang. Ada arisan di rumah teman.”
Vera berpura-pura tampak kecewa. “Wah, padahal aku ada urusan penting sama Mas Novan. Kira-kira pulang jam berapa ya, Tante?”
“Sepertinya agak malam. Tapi kalau penting, kamu bisa tunggu di dalam.”
Vera menahan senyum kemenangan dalam hatinya. “Boleh, Tante?”
“Tentu saja. Tapi Tante nggak bisa nemenin, ya. Kamu tunggu aja di ruang tamu.”
Vera mengangguk cepat. “Nggak apa-apa, Tante.”
Tanpa banyak curiga, ibunya Novan membuka pagar dan membiarkan Vera masuk. Setelah beberapa kata perpisahan singkat, wanita itu masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Begitu mobil melaju menjauh, Vera segera menutup pagar dari dalam. Sekarang, dia punya waktu.
Dia melangkah masuk ke dalam rumah, melepas sepatunya, lalu berpura-pura duduk di sofa seperti tamu yang menunggu. Namun, setelah memastikan tak ada yang datang, dia segera bangkit dan bergerak menuju kamar.
Vera sudah tahu letak kamar Novan. Dia pernah datang beberapa kali ketika masih menganggap Novan pria yang baik. Tapi sekarang, semua itu hanya menjadi alasan untuk membalaskan dendamnya.
Dia membuka pintu kamar Novan dengan hati-hati.
Begitu masuk, dia langsung disambut aroma maskulin yang khas, bercampur dengan wangi buku-buku yang tersusun rapi di rak. Kamarnya terlihat bersih dan tertata. Tapi Vera tak ingin terlena. Dia segera beraksi.
Dia membuka laci meja kerja Novan dan mulai menggeledah. Kertas-kertas biasa, pulpen, catatan pelajaran—tidak ada yang mencurigakan.
Vera kemudian beralih ke lemari pakaian. Dia membuka satu per satu laci, menyibak beberapa tumpukan baju. Hingga di salah satu laci paling bawah, dia menemukan sebuah kotak kecil berwarna hitam.
Jantungnya berdetak lebih cepat saat membukanya.
Di dalamnya, satu ponsel. Vera menghidupkan ponsel itu. Dia menunggu ponsel itu aktif dengan was-was. Apakah di dalam ponsel itu memang asa bukti?
Setelah ponsel itu aktif, dia segera menelusurinya dan dia berhenti di beberapa rekaman video.
Kedua mata Vera membulat saat membuka rekaman itu.
"Kamu harus nurut! Kalau tidak, aku akan tunjukkan video ini sama kakak kamu."
Jantung Vera seperti berhenti berdetak saat melihat rekaman video itu. Susah payah dia menyamar menjadi anak SMA, ternyata pelakunya adalah orang terdekat dan yang dia kira sangat baik.
"Brengsek! Gue gak nyangka lo sebangsat ini!" Vera segera memasukkan ponsel itu ke dalam tasnya. Dia buru-buru keluar tapi langkahnya berhenti saat terdengar suara mobil Novan.
"Gue harus segera keluar dari sini."
ok lanjuuut...