Gendhis Az-Zahra Bimantoro harus menerima takdir kematian ayahnya, Haris Bimantoro dalam sebuah kecelakaan tragis namun ternyata itu adalah awal penderitaan dalam hidupnya karena neraka yang diciptakan oleh Khalisa Azilia dan Marina Markova. Sampai satu hari ada pria Brazil yang datang untuk melamarnya menjadi istri namun tentu jalan terjal harus Gendhis lalui untuk meraih bahagianya kembali. Bagaimana akhir kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan Dari Seorang Pemuda
Dengan isak tangis yang tertahan, Gendhis memeluk erat tubuh Bismo yang terbaring lemah di ranjang. Air matanya tumpah membasahi pipi, bercampur dengan keringat dan debu yang menempel di tubuhnya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana. Rumah ini, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kebahagiaan, kini terasa seperti neraka yang setiap hari menyiksanya.
"Mas Bismo," bisik Gendhis, dengan suara yang bergetar. "Aku ingin kita pergi dari sini. Aku tidak tahan lagi."
Bismo, yang juga merasakan kepedihan yang sama, hanya bisa membalas pelukan Gendhis dengan erat. Ia tahu, adiknya sangat menderita di rumah ini. Ia ingin melindunginya, namun ia sendiri tak berdaya.
"Maafkan aku, Gendhis," kata Bismo, dengan suara yang lemah. "Aku tidak bisa melindungimu."
Gendhis menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin menyalahkan Bismo. Ia tahu, kakaknya juga menjadi korban kekejaman Khalisa dan Marina.
"Tidak, Mas. Ini bukan salahmu," kata Gendhis, sambil mengusap air matanya. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini."
Namun, Gendhis sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Khalisa dan Marina terlalu kejam dan cerdik. Mereka selalu selangkah lebih maju dari mereka. Mereka memiliki uang dan kekuasaan yang bisa mereka gunakan untuk mempertahankan posisi mereka.
"Aku takut, Mas," kata Gendhis, dengan nada yang putus asa. "Aku takut mereka akan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi kepada kita."
Bismo mengangguk. Ia juga merasakan ketakutan yang sama. Ia tahu, Khalisa dan Marina tidak akan pernah berhenti untuk menyakiti mereka. Mereka akan terus melakukan apa pun untuk mempertahankan kekuasaan dan harta mereka.
"Kita harus bertahan, Gendhis," kata Bismo, dengan nada yang penuh semangat. "Kita harus kuat. Kita harus bisa melawan mereka."
Gendhis mengangguk. Ia tahu, ia harus kuat demi Bismo. Ia harus bisa bertahan sampai ada kesempatan untuk melarikan diri dari rumah ini.
"Aku akan berusaha, Mas," kata Gendhis. "Aku akan melakukan apa pun untuk kita bisa keluar dari sini."
Gendhis kemudian melepaskan pelukannya dari Bismo dan mengusap air matanya. Ia tidak ingin Bismo melihatnya lemah dan putus asa. Ia ingin Bismo tahu bahwa ia akan selalu ada di sisinya, apa pun yang terjadi.
"Aku akan mencari cara untuk menyelamatkan kita, Mas," kata Gendhis, dengan nada yang penuh tekad. "Aku janji."
Gendhis kemudian meninggalkan kamar Bismo dengan hati yang penuh dengan harapan. Ia akan terus mencari cara untuk melarikan diri dari rumah itu. Ia tidak akan pernah menyerah sampai ia berhasil membawa Bismo keluar dari neraka yang diciptakan oleh Khalisa dan Marina.
****
Dengan langkah pasti dan semangat membara, Muhammad Malizi, seorang wartawan muda yang dikenal berani dan idealis, menyusuri jalanan kota Surabaya. Tujuannya adalah untuk mencari tahu kebenaran di balik penggusuran lahan yang dilakukan oleh keluarga tamak tersebut. Ia ingin mendengar langsung dari suara rakyat yang menjadi korban keserakahan mereka.
Malizi mendatangi satu per satu warga yang tinggal di sekitar lahan yang akan digusur. Ia berbicara dengan mereka, mendengarkan keluh kesah dan cerita pilu mereka. Warga dengan senang hati berbagi pengalaman pahit mereka dengan Malizi. Mereka menceritakan bagaimana Prasojo dan keluarganya menggunakan cara-cara yang kejam dan tidak manusiawi untuk memaksa mereka meninggalkan tanah yang sudah menjadi tempat tinggal mereka selama puluhan tahun.
"Mereka datang dengan buldoser dan aparat kepolisian," kata seorang ibu dengan suara yang bergetar. "Mereka tidak memberikan kami waktu untuk mengemasi barang-barang kami. Mereka langsung menggusur rumah kami, tanpa belas kasihan."
"Kami sudah tinggal di sini selama tiga generasi," timpal seorang kakek dengan mata yang berkaca-kaca. "Tanah ini adalah warisan dari leluhur kami. Tapi mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin mendapatkan keuntungan dari tanah ini."
"Mereka bahkan tidak memberikan kami ganti rugi yang layak," ujar seorang pemuda dengan nada yang marah. "Mereka hanya memberikan kami uang yang tidak cukup untuk membeli rumah baru."
Malizi mendengarkan dengan seksama setiap cerita yang disampaikan oleh warga. Ia mencatat semua informasi yang ia dapatkan. Ia sangat terkejut dan marah mendengar betapa kejamnya Prasojo dan keluarganya terhadap rakyat kecil.
"Ini tidak bisa dibiarkan," kata Malizi, dalam hatinya. "Mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka."
Malizi kemudian berjanji kepada warga bahwa ia akan membantu mereka untuk mendapatkan keadilan. Ia akan memberitakan semua yang ia dengar dan lihat kepada masyarakat luas. Ia ingin semua orang tahu betapa kejamnya keluarga Prasojo terhadap rakyat kecil.
"Saya akan berjuang untuk kalian," kata Malizi, dengan nada yang penuh semangat. "Saya akan membuat mereka membayar atas semua yang telah mereka lakukan."
Warga sangat berterima kasih kepada Malizi atas perhatian dan kepeduliannya. Mereka berharap, dengan bantuan Malizi, mereka bisa mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh keluarga tamak tersebut.
"Kami percaya pada kamu, Malizi," kata seorang ibu. "Kami yakin kamu bisa membantu kami."
"Kami akan selalu mendukungmu," timpal seorang kakek.
Malizi tersenyum dan mengangguk. Ia tahu, perjuangannya tidak akan mudah. Tapi ia tidak akan menyerah. Ia akan terus berjuang sampai keadilan ditegakkan.
****
Kabar mengenai kekejaman keluarga Khalisa akhirnya sampai ke telinga masyarakat luas. Muhammad Malizi, sang wartawan muda yang berani, menjadi garda terdepan dalam menyebarluaskan berita ini melalui media online. Berita yang ia tulis dengan lugas dan berdasarkan fakta yang ia kumpulkan dari para korban, langsung viral dan menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial.
Masyarakat yang selama ini tidak tahu menahu tentang kejahatan keluarga tersebut, terkejut dan marah. Mereka tidak menyangka bahwa orang-orang yang selama ini mereka lihat sebagai sosok yang dermawan dan sukses, ternyata menyimpan kejahatan yang begitu besar. Dukungan untuk Malizi pun mengalir deras. Banyak orang yang bersimpati dan memberikan semangat kepadanya untuk terus berjuang mengungkap kebenaran.
Namun, berita yang viral ini tentu saja tidak luput dari perhatian Stefanny. Sebagai seseorang yang ahli dalam memanipulasi media, ia merasa gerah dan terancam dengan kehadiran Malizi. Ia tahu, jika berita ini terus menyebar, reputasi keluarga mereka akan hancur dan bisnis mereka akan terancam.
Tanpa ragu, Stefanny langsung turun tangan. Ia mencari Malizi dan melabraknya di depan umum. Dengan nada tinggi dan tatapan mata yang tajam, Stefanny mencoba mengintimidasi Malizi agar ia berhenti memberitakan tentang keluarganya.
"Kamu ini wartawan kurang ajar! Berani-beraninya kamu mencampuri urusan keluarga saya!" bentak Stefanny, dengan suara yang lantang.
"Saya hanya melakukan tugas saya sebagai wartawan," jawab Malizi, dengan tenang namun tegas. "Saya ingin masyarakat tahu yang sebenarnya."
"Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu hanya mencari sensasi!" balas Stefanny, dengan nada yang merendahkan.
"Saya punya bukti yang kuat tentang kejahatan keluarga Anda," kata Malizi, sambil menunjukkan beberapa dokumen dan foto.
Stefanny terkejut melihat bukti-bukti yang dimiliki oleh Malizi. Ia tidak menyangka bahwa wartawan muda itu memiliki informasi yang begitu banyak tentang kejahatan keluarganya. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus mencoba untuk mengintimidasi Malizi.
"Kamu pikir kamu bisa melawan kami? Kami adalah keluarga yang berkuasa. Kamu tidak akan pernah menang melawan kami!" ancam Stefanny dengan nada yang penuh amarah.
Malizi tersenyum sinis. Ia tidak takut dengan ancaman Stefanny. Ia sudah siap dengan segala risiko yang akan ia hadapi.
"Kebenaran akan selalu menang," kata Malizi, dengan nada yang penuh keyakinan. "Saya tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan."
Stefanny semakin marah mendengar perkataan Malizi. Ia tidak menyangka bahwa wartawan muda itu begitu berani dan keras kepala. Ia kemudian mencoba untuk menyerang Malizi secara fisik, namun beberapa orang yang ada di sekitar mereka langsung melerai.
"Jangan kasar!" teriak salah satu warga yang menyaksikan kejadian tersebut. "Kebenaran tidak bisa dilawan dengan kekerasan!"
Stefanny yang sudah terpojok, akhirnya pergi meninggalkan Malizi dengan perasaan yang marah dan kesal. Ia tahu, ia tidak bisa mengalahkan Malizi dengan cara yang kasar. Ia harus mencari cara lain untuk menghentikan wartawan muda itu.