Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Rencana Arjuna
Nara melirik sekilas ke arah pintu ketika benda itu terbuka tanpa diketuk lebih dulu. Nara tentu tahu siapa pelakunya. Suaminya muncul dari sana dengan wajah yang tertekuk lesu. Setelah pintu kembali ditutup, Nara baru mengalihkan seluruh perhatian kepada suaminya.
"Mas kenapa?" tanya Nara yang ingin beranjak dari sofa tetapi segera dicegah oleh Arjuna.
"Tetap duduk disitu, Sayang. Mas sedang butuh menenangkan diri," lirih Arjuna lalu merebahkan kepala di pangkuan Nara.
Nara hanya pasrah ketika kepala Arjuna telah merebah pada pahanya. Di tatapnya wajah Arjuna yang matanya kini sedang terpejam. Raut wajahnya tidak bisa berbohong tentang beratnya hidup yang kini sedang dilaluinya.
"Tidur, Mas?" tanya Nara memastikan ketika Arjuna masih bertahan memejamkan mata. Gelengan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Nara.
"Mas lelah, Ra," jawab Arjuna lalu merubah posisi telentang menjadi miring menghadap perut Nara.
Pada akhirnya, jemari Nara tidak tahan untuk membelai rambut sang Suami. Nara mengelus dan menyisirnya dengan penuh kelembutan hingga membuat Arjuna merasa nyaman.
"Apa yang sedang Mas rasakan? Bagilah padaku," ucap Nara lembut.
Arjuna tersenyum. Matanya terbuka lalu mendongak demi bertemu tatap dengan istri tercintanya. "Mas hanya lelah harus menuruti semua keinginan Mama. Setelah melihat kesakitan di matamu, Mas sadar jika Mas sudah terlalu menurut hingga mengabaikan perasaan kamu. Maafkan Mas, Ra," sesal Arjuna yang membuat hati Nara terenyuh mendengarnya.
"Mas sudah memikirkan untuk ke depannya. Mas tidak mungkin membiarkan kamu dan Nadya tinggal lebih lama lagi di sini," sambung Arjuna lagi hingga membuat Nara paham kemana arah pembicaraan sang Suami.
"Maksud Mas?" tanya Nara hanya memastikan.
"Mas berencana membeli rumah baru. Tidak apa-apa kan jika kamu harus satu rumah dengan Nadya? Mas harap, kamu bisa menjadi temannya juga," pinta Arjuna memohon dengan sangat.
Nara terdiam untuk mencerna ucapan sang Suami. Dia mulai membayangkan seandainya benar Arjuna akan membeli rumah baru. Sudah pasti Nara tidak akan makan hati setiap hari karena ibu mertuanya yang selalu mengunggulkan Nadya. Tetapi, kedatangan ibu mertua ke rumahnya nanti tidak mungkin bisa dicegah.
Nara menghela napas kasar. Mau memiliki rumah sendiri atau bersama mertua, rasanya akan tetap sama dan bagai di neraka. "Aku ikut saja, Mas. Terserah Mas saja," jawab Nara dengan berat hati.
Setelah mengucapkan hal tersebut, Nara bisa merasakan tatapan mata Arjuna yang dalam. Seperti sedang mencari kesungguhan dalam ucapan Nara barusan.
"Kamu tidak setuju," ucap Arjuna menebak.
Nara membuang pandangan asal. "Rasanya akan tetap sama, Mas. Seandainya Mas mengatakan hal tersebut sejak dulu, mungkin aku akan bahagia. Tetapi, sekarang keadaannya sudah berbeda."
Arjuna pun memeluk pinggang Nara untuk menenangkannya. "Maafkan Mas karena sudah membuatmu ada di posisi ini. Sungguh, Mas tidak berniat melakukannya," sesal Arjuna lagi yang sayangnya sudah terlambat.
"Tidak apa-apa, Mas. Semua hanya tinggal menunggu waktu. Waktu dimana kamu mulai jatuh cinta pada Nadya, memiliki anak bersamanya, lalu aku akan menua sendirian karena tidak bisa memiliki anak," ucap Nara tragis.
"Mana bisa seperti itu. Kita akan menua bersama. Jangan katakan hal yang buruk lagi karena itu hanya akan membuat Mas semakin takut," peringat Arjuna terdengar frustasi.
Tawa Nara meledak begitu saja. Seakan ucapan suaminya terdengar bagai sebuah lelucon. "Itu kenyataannya, Mas. Tidak lama lagi, aku pasti akan tersingkir dari hidup—"
Belum sempat Nara menyelesaikan kalimatnya, Arjuna sudah menegakkan tubuh lalu mengikis jarak hingga membuat Nara gugup dibuatnya.
Wajah keduanya kini bagai tak berjarak. Sangat dekat hingga hidung keduanya saling menempel. Nara menelan saliva ketika melihat mata Arjuna menatap bibirnya.
"Mas ...." Nara mencoba menyadarkan suaminya agar tidak melewati batas. Hari ini masih jatah Nadya dan Nara tidak ingin mencurinya.
Nara tersentak ketika tangan Arjuna menarik pinggangnya hingga tubuh keduanya saling berdekatan. "Coba katakan sekali lagi," pinta Arjuna dengan mata yang tak lepas menatap Nara.
"Y-yang m-m-mana?" tanya Nara gugup.
Arjuna tersenyum. "Yang tadi."
Nara menelan saliva. Apalagi kini Arjuna sedang berusaha membuka kerudung yang dikenakannya. Ketika mulut Nara akan terbuka untuk memprotes aksi sang Suami, suara ketukan di pintu pada akhirnya menyelematkan hidup Nara.
Tok tok tok.
Nara menghela napas lega sedangkan Arjuna menggeram kesal. "Siapa sih?" tanyanya kesal.
Nara tertawa dan segera melepaskan diri dari rengkuhan sang Suami. Dia bagai seorang tahanan yang sudah bertahun-tahun mendekam kemudian dibebaskan. Lega rasanya.
"Sebentar!" teriak Nara sambil mengenakan kerudungnya kembali.
Ketika pintu sudah terbuka, ternyata sang Pelaku adalah Nadya. "Ya? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Nara bingung sendiri ketika melihat Nadya hanya diam.
"Mas Arjuna di sini kan, Mbak?" tanya Nadya yang langsung mendapat anggukan dari Nara.
"Mas!" pekik Nara memanggil suaminya agar segera keluar.
Namun, ketika Nara menoleh pada sofa, suaminya itu sudah tidak ada di tempat. "Loh! Kemana Mas Arjuna? Apa di toilet?" tanya Nara bingung sendiri.
"Sebentar, akan aku panggilkan," sambung Nara yang langsung dicegah oleh Nadya dengan mencekal pergelangan tangannya.
"Mbak tidak perlu berpura-pura baik padaku. Harusnya, Mbak tidak boleh menghabiskan waktu bersama Mas Arjuna di saat jatah waktuku tiba. Itu sama saja mencuri jatah orang lain. Aku pikir, Mbak Nara paham agama dan tahu cara bersikap. Ternyata, apa yang dikatakan Mama benar jika Mbak tidak sebaik kelihatannya," ucap Nadya panjang lebar hingga membuat bibir Nara menganga lebar dengan mata yang membelalak.
"Kamu bicara apa sih? Tidak ada niatku untuk mencuri waktu kebersamaan kamu dengan Mas Arjuna. Tidak ada. Justru, Mas Arjuna yang datang sendiri tetapi aku selalu mencoba mengusirnya," jelas Nara tidak ingin Nadya salah paham.
"Mbak pikir aku percaya setelah apa yang baru saja aku dengar?" jawab Nadya menatap Nara nyalang.
"Kamu menguping? Lagi pula, tidak ada yang aku lakukan dengan Mas Arjuna selain duduk bersama. Kalau kamu merasa jadi manusia paling cemburu, itu salah. Di sini harusnya aku yang cemburu karena harus berbagi suami dengan kamu." Nara mencoba menyadarkan Nadya yang datang sebagai istri kedua tetapi merasa menjadi pihak yang tersakiti.
Namun, rasanya percuma menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang sudah terlanjur tidak suka kepada kita. Mereka tidak akan pernah percaya.
Hingga ucapan Nadya setelahnya membuat jantung Nara bagai dihujam ribuan belati. Dia ingin menjawab tetapi tidak memiliki kalimat yang pas. Keadaan dirinya memang seburuk itu.
Sambil melipat tangan di depan dada, Nadya pun berkata. "Salah sendiri jadi wanita tidak sempurna dan belum memiliki anak. Wajar lah kalau Mas Arjuna memilih untuk menikah lagi."
Dada Nara bagai ditekan dengan erat hingga terasa sangat sesak. Dia sampai kesulitan untuk bernapas. Bersamaan dengan itu, suara Arjuna terdengar hingga Nara tidak memiliki kesempatan untuk melawan.
"Kenapa menyusulku? Apa marahnya sudah selesai?" tanya Arjuna dan membuat Nadya tersenyum manis. Nara ingin menangis saat itu juga.
Dia tidak rela membagi Arjuna-nya dengan Nadya. Rasanya sakit sekali melihat Arjuna berlalu bersama Nadya meninggalkan dirinya yang masih termangu di tempat.
Apalagi ketika Nadya menoleh dan tersenyum penuh kemenangan. Wanita itu bergelanyut manja di lengan kekar Arjuna. Nara menyentuh letak jantungnya lalu memukul-mukulnya pelan agar sesak yang dirasa cukup mereda.
Nyatanya, hal itu tidak ada gunanya. "Kenapa sakit sekali," racau Nara yang suaranya sudah terdengar parau.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga kesini yuk 👇👇...