Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemampuan Inara
Selesai menjual hasil rongsokan, Bu Farida segera menghampiri Inara dan berencana untuk berbelanja keperluan sehari-hari dan juga kebutuhan untuk Daffa, namun langkahnya terhenti sejenak saat Bu Farida menyaksikan Inara sedang duduk serius sambil memperhatikan mesin jahit miliknya yang sudah hampir tiga tahun lamanya tidak pernah digunakan lagi.
"Nduk, kamu sedang apa di sana?"
Inara menoleh, ia tersenyum lembut menatap Bu Farida.
"Mesin jahit ini punya ibu, ya?"
Bu Farida menghela napasnya sejenak, kemudian ia melangkah pelan menghampiri Inara.
"iya Nduk, ini punya ibu, tapi...sudah tiga tahun tidak ibu Pakai lagi!"
Inara mengernyitkan kening. "loh, kenapa tidak di pakai lagi Bu, padahal kondisi mesinnya masih bagus, kelihatannya masih terawat dan hanya berdebu sedikit."
Bu Farida menghela napas kembali, menatap mesin itu dengan pandangan sendu.
"Ah, mesin itu, Nduk. Sudah lama sekali ia pensiun. Sudah tidak ada minat lagi seperti dulu."
" Lho Kenapa, Bu?"
Lalu Bu Farida duduk di kursi dekat mesin, ia menepuk-nepuk permukaannya.
"Iya, memang. Dulu Ibu senang sekali. Rasanya bangga kalau hasil jahitan Ibu dipakai orang. Tapi... ada satu kasus yang membuat Ibu benar-benar trauma dan memutuskan berhenti."
"Kalau boleh aku tahu kasus apa, Bu?"
"Waktu itu, Ibu mendapat pesanan menjahit dari Bu RW... Pakaian yang sangat rumit, Ibu sampai lembur berhari-hari mengerjakannya, benar-benar hati-hati. Tapi, ketika selesai dan diserahkan, Bu RW malah... menuduh Ibu merusak kainnya. Katanya jahitan Ibu bengkok, kainnya malah jadi sobek di beberapa tempat. Padahal, Ibu yakin sekali Ibu sudah menjahitnya dengan sempurna, sesuai permintaannya."
Wajahnya Inara menunjukkan rasa tidak percayanya.
"Astaga, Bu RW menuduh Ibu terus memfitnah?"
"Bukan sekadar menuduh, Nduk. Ia bercerita ke mana-mana, bilang Ibu sudah tidak becus lagi menjahit. Akhirnya, orang-orang jadi ragu. Satu per satu pelanggan Ibu hilang. Sejak saat itu, Ibu merasa sakit hati sekali. Ibu sudah berjuang keras, tapi malah mendapat fitnah yang merusak nama baik dan rezeki Ibu. Akhirnya, Ibu putuskan untuk menutup usaha jahitan ini selamanya."
"Ya ampun, kasihan sekali Ibu. Itu pasti berat sekali rasanya."
"Sangat berat, Nduk. Tadinya mesin ini mau Ibu jual saja, agar tidak lagi mengingatkanku pada kejadian itu. Tapi, setiap kali melihatnya, Ibu jadi teringat akan kenangan manisnya, tawa Ibu saat menjahit baju untuk anak Ibu, atau seragam sekolahnya dulu. Mesin ini punya banyak cerita. Jadi, Ibu urungkan niat menjualnya."
Inara mengangguk pelan, memahami perasaan Bu Farida.
"Aku mengerti sekarang, Bu. Mesin ini bukan hanya alat, tapi juga saksi bisu perjalanan hidup Ibu. Tapi... bolehkah aku mencobanya sebentar, Bu?"
Bu Farida terlihat bingung.
"Mencoba? Kamu... bisa menjahit, Nduk?"
Inara tersenyum kecil.
"Sedikit, Bu. Dulu aku pernah kursus menjahit dan ikut usaha konveksi milik Pamanku sewaktu aku remaja, dan aku sering membantunya sepulang sekolah. Menjahit adalah salah satu keahlianku, Bu."
"Ya ampun, kenapa Ibu tidak tahu! Tentu saja boleh, Nduk, Silakan dicoba. Siapa tahu suaranya bisa kembali berbunyi."
kemudian Inara membersihkan sedikit debu, memeriksa benang, dan dengan lihai mulai menjalankan mesin jahit tua itu.
Bunyi 'trak-trak-trak' yang sudah lama menghilang, kini kembali mengisi ruangan.
Kedua bola matanya Bu Farida berbinar, ia terkejut melihat keluwesan Inara.
"Masya Allah, Nduk! Kamu benar-benar mahir! Gerakanmu sangat tenang, seperti penjahit profesional!"
Inara malah tertawa kecil mendengar Bu Farida telah memujinya.
"Terima kasih, Bu. Ini sudah mendarah daging, hanya saja aku sudah cukup lama tidak melakukan hal seperti ini, semenjak hamil Daffa, Mas Hamdan melarangku melakukan hal ini lagi, katanya demi menjaga kondisiku dan juga bayi di dalam perutku!"
Seketika Inara terdiam sejenak, ia menjadi teringat akan masa indahnya dulu bersama dengan mantan suaminya. Namun seketika bayangkan indah itu sirna dan tergantikan oleh perkataan dari Ibu mertuanya yang sangat menyakitkan.
ibu Farida sempat memperhatikan sejenak, kemudian ia mengalihkan rasa sedih Inara dengan menyampaikan ide cemerlangnya.
"Inara... kalau begitu, Ibu mau minta tolong, boleh? "
"Tentu saja Bu, apa yang bisa Inara bantu untuk Ibu?" jawabnya yang seketika tersadar dari lamunannya.
"kau bisa membuat pakaian untuk Daffa, putramu? Kebetulan Ibu masih menyimpan beberapa kain untuk kau jahit."
inara menjawab dengan wajahnya yang berseri-seri
"Tentu saja, Bu Farida! Dengan senang hati. Kebetulan sekali aku rindu bunyi mesin jahit. Akan aku buatkan baju tidur yang paling bagus untuk Daffa!"
Melihat Inara yang penuh semangat di depan mesin jahit peninggalannya, hati Bu Farida terasa hangat. Luka lama itu terasa sedikit terobati. Ia menyadari, meski dirinya sudah tak lagi menjahit, kisah dari mesin tua itu mungkin belum benar-benar berakhir, melainkan hanya berpindah tangan pada generasi yang baru.
Melihat kemampuan Inara beberapa hari ini, akhirnya Inara berinisiatif untuk membuka usaha menjahit di rumahnya Bu Farida, dan Bu Farida sempat merasa cemas, bukan karena meragukan kemampuan dari Inara, melainkan kondisi Inara yang masih dalam fase nifas, sementara itu Inara juga butuh biaya pengobatan untuk putranya, ia tidak mau menambah beban Bu Farida.
Inara menatap benda yang masih tersemat di dalam jari manisnya, yakni sebuah cincin pernikahan dirinya bersama dengan Hamdan, dimatanya, cincin itu sudah tak ada artinya samasekali. Dan Inara berniat untuk menjual cincin tersebut.
"Nduk, apakah kamu yakin dengan keputusanmu ini? Cincin itu kan adalah simbol pernikahan mu."
Mendengar perkataan dari Bu Farida, Inara tersenyum getir.
"Untuk apa Bu aku mempertahankan benda ini? Benda dari seseorang yang hatinya sudah mati rasa untukku dan juga putraku!"
Bu Farida tak berani meneruskan perkataannya, ia tahu betul perasaan Inara saat ini seperti apa.
.
.
Dua minggu berlalu begitu cepatnya, Inara sudah berhasil membuat beberapa pakaian mungil untuk bayi kecilnya, Bu Farida tampak takjub atas hasil jahitan dari seorang Inara.
"Benar-benar luar biasa hasil jahitannya Ra, Ibu tidak menyangka kamu mahir di bidang ini!" Bu Farida terus saja memandangi hasil jahitan rapih Inara, ia begitu detail mengerjakan semua pakaian untuk Daffa.
Menjelang malam Inara duduk di tepi kasur kapuk tipis, wajahnya pucat pasi. Dalam pelukannya, Daffa, putranya yang baru berusia dua minggu, merintih pelan. Sentuhan Inara merasakan panas yang membakar kulit bayi itu. Malam kian larut, dingin menusuk, namun Daffa justru telah demam tinggi. Air mata Inara menetes, bercampur keringat cemas. Ia tahu, Daffa berbeda. Diagnosis Down Syndrome yang ia terima saat melahirkan Daffa membuatnya menjaga putranya dengan ketakutan ekstra. Komplikasi medis adalah momok yang nyata.
Tiba-tiba, pintu gubuk terbuka. Muncul Bu Farida yang baru saja pulang dari pengajian di mushola Al-Muhajirin. Bu Farida terkejut saat mendengar rintihan Daffa.
"Nduk... Daffa kenapa? Aduh, ya Allah, kok badannya panas, sejak kapan Daffa begini, Inara?" Tanyanya cemas, Bu Farida masih menyentuh keningnya Daffa.
Suara Inara bergetar. "Daffa demam pas maghrib Bu, Aku sudah kompres, tapi malah semakin panas. Aku takut, Bu... dia kan punya riwayat..." Inara tak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
Bu Farida kembali menyentuh kening Daffa.
"Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Nduk. Sekarang kita harus cepat membawanya ke Rumah Sakit. Daffa sudah tidak bisa hanya cuma dikompres air biasa. Daffa masih sangat kecil, ayo cepat, kita harus segera membawanya ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Kamu punya uang seadanya untuk ongkos? Atau biar Ibu yang carikan pinjaman dulu."
"Ada, Bu, sedikit. Aku masih menyimpan sisa hasil penjualan cincin kawin punyaku Bu, semoga cukup untuk biaya Daffa berobat, jadi ibu tidak usah pinjam ke siapapun, aku tidak mau merepotkan ibu lagi."
"Ya sudah, jangan banyak bicara, cepat gendong Daffa yang erat, Ibu akan ambil sarung dan cari ojek atau angkot di depan gang sana. Kita berangkat sekarang juga!"
Bersambung...