Dia hanya harus menjadi istri boneka.
Bagaimana jika Merilin, gadis yang sudah memendam cintanya pada seseorang selama bertahun-tahun mendapatkan tawaran pernikahan? Dari seseorang yang diam-diam ia cintai.
Hatinya yang awalnya berbunga menjadi porak-poranda saat tahu, siapa laki-laki yang akan menikahinya.
Dia adalah bos dari laki-laki yang ia sukai dalam kesunyian, yang menawarinya pernikahan itu.
Rionald, seorang CEO berhati dingin, yang telah dikhianati dan ditingal menikah oleh kekasihnya, mencari wanita untuk ia nikahi, namun bukan menjadi istri yang ia cintai, karena yang ia butuhkan hanya sebatas boneka yang bisa melakukan apa pun yang ia inginkan.
Akankah Merilin menerima tawaran itu, sebuah kontrak pernikahan yang bisa membantunya melunasi hutang warisan ayahnya, yang bisa membantu pengobatan jangka panjang ibunya, dan memastikan adik laki-lakinya mendapatkan pendidikan terbaik sampai ke universitas.
Bisakah gadis itu mengubur cintanya dan menjadi istri boneka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pertemuan Pertama
Hari ini adalah pertemuan yang sudah disepakati Merilin dan Serge. Pertemuan Merilin dan Tuan Rionald.
“Tuan Rion mau bertemu denganmu secara langsung Mei, apa kau sudah siap? Dia sepertinya menyukaimu dan mau melanjutkan tawaran yang aku berikan padamu. Aku akan menjemputmu setelah pulang kerja nanti ya.”
Begitu isi pesan panjang Serge pagi hari saat Merilin sudah ada di kantor.
Sepanjang hari ini Merilin bahkan tidak tenang menyelesaikan pekerjaannya. Ada banyak typo penulisan artikel terbarunya. Dia menjatuhkan kepala beberapa kali di depan komputernya. Membuat kopi hampir dua kali untuk menjernihkan pikirannya.
Ketakutan masih menghantuinya, Tuan Rionald, ah, dia bahkan masih takut untuk sekedar membayangkan. Dia sudah dua kali bertemu laki-laki itu dalam kesempatan formal melakukan wawancara dengannya. Untuk majalah perusahaan.
Hawa dingin langsung menguar di sekeliling mereka kala itu. Intinya laki-laki itu bukan pria yang bisa dia hadapi tanpa membuat tangannya tidak gemetar.
“Tenanglah Mei, aku akan menemanimu nanti.”
“Semangat.”
Hanya kata seperti itu saja yang diberikan Serge saat dia bilang dia sedikit takut, Merilin baca berulang kali. Membuatnya sedikit tenang. Dia baca ulang lagi pesan dari Serge di hpnya kalau rasa gelisah menghantui.
Dan akhirnya setelah seharian dihantui kegalauan dia berada di dalam mobil bersama Serge. Dadanya berdegub kencang. Dia meremas tangan di pangkuannya. Berdoa beberapa kali kepada Tuhan untuk membantunya menenangkan hatinya.
“Bagaimana kabarmu Mei?” Serge membuka pembicaraan sambil menyalip mobil yang berjalan lambat di depan mobilnya. Tidak menoleh melihat gadis di sampingnya. Karena perasaan bersalah tidak tidak mau bersitatap mata dengan Merilin.
“Baik Kak, terimakasih sudah menjemput.” Suara Merilin lembut terdengar.
Jangan berterimakasih padaku Mei, aku akan membawamu masuk ke dalam tempat yang, ah aku harus menyebutnya apa ya.
“Mei, Tuan Rion itu tipe orang yang tidak suka dibantah, jadi nanti tolong dengarkan saja apa yang dia katakan ya.”
Lagi-lagi hujan panah rasa bersalah menancap di dada Serge.
“Ia Kak.”
“Walaupun kata-katanya terkadang pedas jika didengar telinga, tapi sebenarnya maknanya tidak semenyakitkan itu. Jadi aku harap kau jangan mengambilnya dalam hati ya Mei.”
Boneka! Boneka! Kalau dia sampai bicara istri boneka bagaimana!
“Ia Kak.”
“Dia berjanji akan memperlakukanmu dengan baik.”
Bohong, sebenarnya dia tdak pernah berjanji begini.
“Turuti saja semua syarat yang dia berikan Mei, supaya semuanya lebih mudah.”
“Ia Kak.”
Huaaa. Maafkan aku paman dan bibi.
Rasanya Serge akan malu jika mengunjungi makam ayah Merilin, apalagi kalau sampai bertemu dengan ibu Merilin.
Sementara hati Merilin yang dari tadi terguncang, mulai menemukan kewarasan. Benar Mei, berhentilah berharap. Bahkan setitik debu sekalipun, tidak ada namamu di dalam hati Kak Serge. Sekarang kesenduan di mata Merilin bersumber dari fakta dan kenyataan ini. Bukan pada hal-hal yang harus dia waspadai tentang Tuan Rionald.
Sampailah mereka di tempat tujuan. Serge meraih tangan merilin yang berjalan di sampingnya. Menggandengnya.
“Kau berkeringat, jangan tegang ya. Tersenyumlah di depannya nanti. Dia bicara apa, tetap tenang dan tersenyum ya.”
“Ia Kak.”
Sekarang tangannya Merilin semakin tegang dan berkeringat karena Serge sedang menggandengnya.
Merilin masuk ke dalam ruangan privat. Serge meninggalkannya untuk menjemput Tuan Rion di depan karena sepertinya laki-laki itu juga sudah datang. Gadis itu bangun dari duduk, mondar mandir menenangkan hati. Merapikan rambutnya lagi. Menyelipkan di belakang telinga. Sambil mengusap dadanya supaya bernafas dengan pelan. Naik dan turun dengan tenang.
Saat pintu terbuka sebuah pandangan menusuk yang pertama kali di tangkap Merilin.
Tuan Rionald Fernandez.
Dia sudah sering melihatnya dari kejauhan. Foto-fotonya saat mengcrop foto Kak Serge dan membuang wajah laki-laki itu. Sekarang terlihat jelas. Dia tinggi dan tampan. Sangat tampan. Lekukan tubuh tinggi tegapnya dalam balutan jas. Aura penuh karisma dan wibawa terpancar bahkan hanya dengan melihatnya berjalan saja sudah bisa membuat hati berdebar. Garis wajahnya yang tegas dan dingin adalah semua daya tarik fisik yang membuat para penghuni grup di kantornya menjeit-jerit setiap kali ada foto baru.
Tangan Merilin gemetar tanpa bisa dia cegah. Baginya Tuan Rion itu terlihat menakutkan. Wajah tersenyum Serge di sampingnya yang membuatnya sedikit lega dan mengubur semua kepanikannya.
“Duduklah Mei.” Serge meraih tangan merilin yang terlihat gemetar. “Tenanglah, aku disini,” ujarnya lembut lagi, menunduk di sebelah Merilin yang sudah duduk di kursinya. Meja bundar, Rionald ada tepat di depannya, sementara Serge duduk di sampingnya. Merilin menurunkan tangannya dari atas meja.
Rion tidak mengubris salam perkenalan yang diucapkan Serge. Serge mengenalkan nama Merilin. Mata Rion sedang menilai gadis di depannya. Kelayakan wanita yang akan dia nikahi. Sekali lagi Rion melihat tangan serge menenangkan gadis di depannya.
“Siapa namamu?”
“Merilin Anastasya Tuan, Anda bisa memanggil saya senyaman Anda.” Sentuhan tangan Serge benar-benar membuat hatinya yang kebat kebit menjadi hangat. Tanpa sadar dia tersenyum pada Serge di sebelahnya. Lalu menundukkan pandangan saat matanya bertemu dengan milik Rion.
“Kau bisa memanggilnya Mei, aku memanggilnya begitu.” Serge langsung menutup mulut saat pandangan Rion mengisyaratkan kalau dia tidak suka dia bicara.
“Berikan padanya.”
Serge mengeluarkan amplop coklat dari dalam tas yang dia bawa. Pelan meletakkannya di depan Merilin. gadis itu mulai menduga-duga.
Apa itu kontrak pernikahan. Seperti yang pernah aku baca di komik buatan Jesi dan teman-temannya. Bagaimana aku bisa mengalami hal yang kadang aku tertawakan saat membaca komik begini si. Ahh. Jes, sepertinya kau harus menjadikan jalan hidupku ini komik buatanmu.
“Dasar gila, mau-maunya dia menikah kontrak.” Begitu yang sering Merilin katakan pada Jesi setelah membaca. Dan sekarang seperti sedang menertawakan diri, dia benar-benar mengalaminya.
Dengan ragu, Merilin meraih amplop coklat itu. Tangannya dia tekan-tekan supaya tidak bergetar saat membukanya. Nafasnya naik turun, ada peluh yang tiba-tiba muncul di keningnya.
Tiga hal yang akan dilakukan Rionald Fernandez, selaku pihak pertama.
Melunasi hutang dari ayah pihak kedua.
Menanggung semua biaya pengobatan ibu pihak kedua.
Menjamin pendidikan terbaik untuk adik pihak kedua.
Yang harus dilakukan oleh Merilin sebagai pihak kedua.
Jadikan dirimu berguna dan layak untuk membayar semua itu.
Gila apa ini! Bibir Merilin bergetar saat membaca dalam hati.
Merilin seperti tidak mempercayai apa yang dia baca. Dia melihat Serge, tidak mungkin Kak Serge yang membuatnya. Bahasa yang dipakai terlalu to the poin, untuk ukuran Kak Serge, lantas apa dia yang membuatnya. Apa Tuan Rion yang membuatnya gumamnya.
“Aku akan mengabulkan tiga hal yang kau inginkan, kalau kau sepakat melakukan kontrak pernikahan ini.” Suara Rion memecah praduga Mei tentang siapa yang membuat surat kontrak itu.
Hah! Dia masih mau melakukan tiga hal untukku. Padahal tiga hal yang dia berikan ini saja sudah sangat besar untukku.
“Katakan, apa yang kau inginkan.”
Wajah Merilin terlihat memucat saat Rion bicara lagi.
“Mei, nggak papa, bicaralah, apa yang kau inginkan untuk dirimu sendiri.” Tangan Serge meraih tangan Merilin. Menepuknya pelan, menenangkan.
“Ge, singkirkan tanganmu!” wajah dingin Rion muncul tiba-tiba padahal tadi wajah itu hanya datar saja, membuat Serge menghentakkan tangannya menjauh dari tangan Merilin. “Kau lupa siapa dia, dia calon istriku, bagaimana kau bisa sembarangan menyentuh tangan calon istri bos mu.”
“Ah ia maaf, aku kebiasaan.”
“Berhati-hatilah mulai sekarang.”
Wajah Serge menjadi muram, dia kebiasaan begitu, kadang menepuk lembut bahu Merilin menenangkan, atau mengusap kepalanya sudah seperti kebiasaan baginya.
Merilin merasa bersalah karena Serge dimarahi karenanya. Jadi dia berinisiatif membela Serge.
“Tidak Tuan, Kak Ge itu sudah seperti kakak buat saya.”
Tangan Rion menghentak meja, membuat mulut Merilin terbungkam.
“Dua,” ujarnya sinis.
“Ia Tuan, apa yang dua?”
“Aku kurangi hadiah untukmu, aku hanya akan mengabulkan dua permintaanmu. Kau bahkan sudah membantah di hari pertama pertemuanmu denganku.” Berdecak kesal.
Gila ya! Siapa yang membantah! Aku kan menjelaskan kenyataan.
“Tuan bu…”
Serge menggeleng di samping Merilin supaya gadis itu tidak bicara yang akan merugikannya lagi. Maaf, minta maaf. Terucap dalam gerakan bibir Serge.
“Maaf Tuan, maafkan saya sudah lancang.” Gadis itu menunduk dalam.
Dia memang jauh menakutkan dan pendendam seperti yang Kak Serge katakan.
Merilin menandatangi surat perjanjian kontrak kepatuhannya. Membayar tiga hal yang akan diberikan Rion padanya nanti.
“Sekarang katakan apa yang kau inginkan?”
“Maaf Tuan, bolehkan saya tetap bekerja seperti biasanya?” Adalah hal yang diminta Merilin. Dia masih ingin tetap bekerja.
“Aku tidak perduli dengan pekerjaanmu dan hidupmu, kau bisa tetap melakukan apa yang kau lakukan sekarang.” Menjawab acuh lalu membuang pandangan ke tempat lain.
Syukurlah, aku pikir aku harus terpenjara dalam istananya.
“Kalau begitu, saya akan menyimpan hadiah Anda untuk nanti, tidak apa-apa kan.”
Rion menyeringai. Ternyata gadis di depannya lumayan perhitungan juga.
“Baiklah terserah padamu. Sekarang yang harus kau lakukan pertama kali adalah meyakinkan orangtuaku. Kalau kita menikah karena saling jatuh cinta.”
Hah! Bagaimana caranya.
“Karena aku tidak ada niat melarangmu bekerja, artinya pernikahan kita tidak akan diumumkan pada publik. Hanya pernikahan di antara keluarga, dan itu tugas pertamamu.”
Merilin bingung dengan rentetan kalimat Rion.
“Yakinkan ibu dan ayahku, kalau kau yang menginginkan pernikahan kita secara tertutup.” Rion tersenyum sinis lalu mengetukkan jari-jarinya di atas meja.
Serge yang jauh terserang panik, bagaimana tugas seberat itu diberikan pada Merilin yang bahkan tidak mengenal bagaimana presdir dan nyonya. Padahal kalau kau yang memutuskan tidak mau ada pesta, ibumu pasti akan lebih mudah ditenangkan.
“Kenapa? Kau sudah merasa tidak mampu?”
Merilin belum menjawab. Sedang mencerna tugas yang harus ia lakukan.
“Jadilah boneka yang berguna di sampingku, untuk membayar semua yang kau dapatkan.”
Wajah Merilin memerah karena malu dengan penghinaan yang dia dapatkan.
Aaaaaa, kenapa keluar juga kata boneka. Dasar laki-laki gila. Rasanya Serge ingin memeluk Merilin dan menutup telinga gadis itu agar tidak mendengar apa pun yang diucapkan Rion.
Bersambung