Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Aku Karyawan
Hari pertama bekerja cukup menyenangkan. Walaupun aku harus beradaptasi kembali di sini, tentu suasana dan bebannya sangat berbeda dengan perusahaan cabang di Malang kala itu.
Di sini pekerjaan selalu menumpuk, menjadi karyawan sepertiku harus siap di suruh sana-sini oleh senior. Ck. Bahkan di perusahaan sebesar ini, bullying pun masih kerap dijumpai.
"Anna! Foto copykan ini ya, di lantai bawah. Segera. Gue tunggu." Ini kali ke tiga nyonya besar ini menyuruhku. Namanya Anya, perempuan cantik bermata biru, berambut pirang yang bekerja satu ruangan denganku.
Sesuka hati menyuruhku ini itu. Ingin menolak, tapi enggan, sebab ini hari pertama. Sialnya, wanita itu semakin melunjak saja. 'Sabar ....' Aku mengelus dada menerima kertas darinya lalu segera menuju lantai bawah.
Untung saja aku memakai celana panjang dengan memakai sepatu cara, sehingga memudahkan kakiku ini berlari ke sana kemari. Mungkin, kalau mengenakan rok berpasangan dengan high heels, sudah patah tiang tinggi di sepatu itu.
Menunggu antrian terbukanya kotak besi itu, membuatku jenuh. Akhirnya memutuskan menggunakan tangga untuk mencapai lantai bawah. Aku berlari menuruni anak-anak tangga itu, balasku tersengal saat telah sampai di lantai yang dituju.
"Kamu, kenapa?" Suara lelaki itu mengagetkanku.
"Eh, Pak Adrian." Tampak raut wajah bingung dari lelaki tampan tersebut. Di sampingnya berdiri di gunung salju, Bos David.
Pak Adrian terlihat tampan dengan stelan jas kerjanya. Jika dibandingkan dengan lelaki di sebelahnya, sebelas dua belas deh.
"Kamu, kenapa? Ngos-ngosan." Pak Adrian bertanya lagi, keningnya berkerut. Sedangkan lelaki di sebelahnya, tetap bergeming.
"Lari, Pak. Saya mau ke foto copy. Mesin di atas, macet. Teknisinya belum datang. Permisi, Pak." Tanpa menunggu lagi, aku segera berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Ann ...!" Mendengar namaku dipanggil. Sontak, langkahku berhenti, kemudian berbalik. Bos David maju dua langkah mendekatiku.
"Saya tunggu di ruangan saya. Sekarang!" Lelaki salju itu berkata tegas. Tak ingin dibantah.
Ya Tuhan! Apa hanya perintah saja yang bisa dia ucapkan padaku? Aku tak menjawab, hanya mengangguk sebagai bentuk persetujuan. Segara aku berbalik, melangkah cepat meninggalkannya. Enggan rasanya berlama-lama dengan lelaki gunung salju itu. Mungkin seluruh hati dan tubuhnya memang terbuta dari salju.
"Ini!" Aku menyodorkan kertas-kertas yang telah diperbanyak ke atas meja Anya.
"Ngapa lama, sih, Anna?" Wanita itu berkacak pinggang. Bukannya berterima kasih, dia malah terlihat marah. Sangat menyebalkan. Gigiku beradu menahan gejolak amarah dalam dada. Sekuat tenaga menahan kemarahan yang mulai menguap di ubun-ubun.
Wanita itu mengenakan rok di atas lutut, dengan atasan kemeja tanpa lengan dengan beberapa kancing bagian atas yang terbuka. Memperjelas kesan seksi pada penampilannya.
"Kalau mau cepat, kerjakan sendiri." Ucapku asal. Aku berbalik, ingin segera meninggalkannya. Mengingat sang pemilik tengah menungguku di ruangan kebesarannya.
"Hei. Mau ke mana, kamu!?" Suara wanita itu meninggi.
"Aku disuruh keruangan Pak David. Kalau lu mau gantiin dengan senang hati." Tubuhku berhenti, kepala menoleh ke arahnya.
"Oh, ya udah sana pergi. Palingan lu dimarahin. Gak becus sih kerjanya." Malas aku meladeni wanita seksi itu, segera berlari menuju ruangan Bos David. Lelaki itu sangat tidak suka menunggu.
Tanpa mengetuk, aku langsung membuka pintu ruangan si bos. Lelaki itu tengah menghadap kaca membelakangi pintu, tangan kanannya tersimpan di saku celana. Sedangkan tangan kirinya memegang ponsel, dia sedang menerima telepon.
"Iya, tunggu aku libur ya. Entar ke sana. Sekarang lagi banyak kerjaan, nih. Kangen banget, malah." Sedang berbicara dengan siapa dia? Suaranya lembut sekali. Aku tidak pernah mendengarnya berbicara seperti itu, kecuali dengan ... Chubby.
Aku yakin dia sedang berbicara dengan si chubby itu. Siapa dia sebenarnya?
"Iya, iya ... tentu. Dah, Sayang ...." Ada yang membara dalam dadaku. Kalau dia memiliki wanita lain di hatinya, mengapa malah menikah denganku? Kakiku gemetar, tubuh ini terasa lemas seketika. Aku berpegangan pada knop pintu.
Lelaki itu berbalik. "Kamu, ngapain di sini? Sejak kapan di sana?"
Mendengar pertanyaannya, aku berusaha tegar. Tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki itu. Serta Merta memahamkan tubuh, laku membungkuk hormat.
"Permisi, Pak. Anda tadi menyuruh saya ke sini. Segera. Jadi saya di sini. Ada apakah?" Aku bertanya hati-hati. Bagaimanapun, aku sekarang adalah seorang karyawan dari perusahaan yang lelaki itu pimpin. Tidak ingin mencari masalah atau apapun.
"Aku tanya, sejak kapan kaum di sini?" Langkah lelaki itu mendekat. Debaran jantung ini kembali menggila saat berhadapan dengannya. Namun, aku tak mau lemah.
"Baru saja, Pak." jawabku lemah.
"Jangan merasa karena kamu berstatus istriku, lalu seenaknya masuk ke ruangan ini tanpa permisi ya." Sinis lelaki itu.
"Tidak. Saya cukup sadar diri tentang status saya di sini. Saya hanya karyawan Anda. Jika Anda tidak menyuruh saya ke sini. Sungguh tidak Sudi menginjakkan kaki di sini."
"Berani, kamu ya ...." sarkas lelaki itu
"Jadi, jika Anda tidak memiliki kepentingan untuk apa memanggil saya, lebih baik saya kembali. Sebagai karyawan rendahan, saya cukup banyak memiliki pekerjaan. Permisi."
"Tunggu! Duduklah." Suara Bos David lebih pekan. Merasa tak enak hati, mungkin.
"Aku tidak suka kamu mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasmu. Ingat kamu istriku."
"Maaf, Pak David. Sepertinya saya salah dengar atau Anda yang salah ucap?" Dahiku berkerut mendengar perkataannya. Istri? Sejak kapan aku jadi istri sesungguhnya bagi lelaki tersebut?
"Ck. Aku enggak suka kamu mengerjakan pekerjaan orang lain."
"Itu urusan saya. Kenapa Anda yang repot?" Dasar, tidak masuk akal. Sejak kapan dia mencampuri urusanku.
"Apa kamu lupa statusmu!?" Suara lelaki itu meninggi.
"Jika itu yang ingin Anda bahas, saya permisi. Itu urusan pribadi saya, bukan urusan kantor." Aku berdiri dari sofa.
"Duduklah." Suara Bos David melunak. Tidak seketika tadi. Lelaki itu menghela napas panjang. Kemudian menatapku lekat.
Sebenarnya, aku tak nyaman di tatapnya seperti itu. Terutama jantungku, bisa-bisa jantung ini melompat keluar.
Terlebih, dari jarak sedekat ini. Dapat tercium jelas aroma maskulin dari tubuhnya. Membuatku melayang ke negeri awan. Siap! Apa yang sedang aku pikirkan?
"Naik apa kamu ke sini?" Ada apa sih dengan lelaki ini, menyebalkan sekali. Kenapa dia selalu mencampuri urusanku?
"Naik ojek." Aku menjawab ketus.
Pertanyaannya terkesan hanya berbasa-basi. Sebenarnya apa yang ingin lelaki itu tanyakan? Mataku membola, bergerak liar ke kiri dan ke kanan.
"Besok, kamu naik mobil. Bisa diantar sopir."
"Ada apa denganmu, Tuan David Yang Terhormat? Bukankah Anda sendiri yang bilang padaku, untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Jadi tolong, biarkan aku bekerja sesuai yang aku mau. Jika Anda tidak suka kau bekerja di sini, aku akan resign dari perusahaan Anda ini."
"Apa yang salah denga perkataanku. Kamu istriku, jangan buat malu. Lagi pula kenapa kamu bekerja, apa tidak cukup uang yang aku berikan padamu, ha? Kurang?" Mata lelaki itu mendelik tajam. Si gunung salju terlihat mata, wajahnya merah padam.
"Dengar! Bukankah Anda sendiri yang mengingatkan padaku untuk tidak mencampur urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Anda sendiri yang bilang agar kita tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Jadi, tolong, jangan mempersulit ku. Aku bekerja untuk biaya adikku yang sekolah. Dia tanggung jawabku, bukan tanggung jawabmu. Lagian, aku cukup tahu diri untuk tidak mencampuri urusan pribadimu, termasuk menanyakan dengan siapa kamu tadi telponan. Jadi tolong, aku lelah. Sangat lelah, jika harus bertengkar dengan mu Bang David. Aku sangat menghargai mu sebagai suamiku. Sangat. Bahkan kamu sendiri yang mengatakan semua keinginan itu padaku. Aku hanya mencoba untuk memenuhi apapun yang kamu inginkan. Apa aku salah?" Cukup sudah. Aku benar-benar lelah. Air mataku mengalir deras, tak mampu lagi kubendung.
Lelaki salju ini selalu berkehendak sendiri. Aku bingung memenuhi semua keinginannya.ceoat tanganku menghapus air mata yang mengalir deras. Keinginan untuk terlihat tegar di hadapannya, hancur sudah. Nyatanya aku sangat lemah. Ini hari pertamaku, tapi begitu banyak naskah yang dihadapi semoga aku mampu bertahan.
Setelah percakapan itu. Kami tak lagi berkomunikasi. Aku dengan semua aktivitasku, dia dengan semua aktivitasnya.
Cukup tahu diri saja. Bahwa hubungan ini luar biasa. Kami berstatus menikah hanya di atas kertas saja. Di luar dan khalayak ramai, kami bukanlah pasangan.
Hari itu, mendung hitam bergelayut di atas langit kota Jakarta. Seperti biasa, aku akan pulang paling akhir dari jadwal kepulangan. Pekerjaan yang menumpuk harus segera diselesaikan.
Menuju depan gedung tinggi ini, menunggu ojek yang lewat atau apa sajalah yang bisa kunaiki. Pasalnya, gawaiku mati kehabisan daya. Sama sepertiku yang mulai terasa lunglai. Capek sekujur tubuh tak bisa diabaikan, langkah ini tertatih menuju ke luar.
Hujan tak dapat dihindari. Derasnya begitu menyejukkan, badanku basah di bawah derasnya tanpa payung tanpa peneduh.
Namun, tiba-tiba sebuah mobil SUV hitam berhenti di depanku. Mengabaikan pemilik mobil tersebut, aku bergeser ke kiri demi melihat lalu lalang kendaraan yang lewat. Mungkin saja nasibku sedang baik, ada angkutan umum yang lewat yang bisa dinaiki.
Saat pandangan fokus ke jalan, hujan berhenti seketika di atas kepala. Sedangkan di jalanan masih tampak jelas deras jatuhnya air dari langit. Aku mendongak, bertengger sebuah payung hitam besar menaungi kepalaku dari derasnya air langit itu.
Seorang lelaki tampan, berdiri tegap. Tangan kirinya memegang erat payung untuk melindungiku. Sejanak aku terpaku, menerima perlakuan manisnya itu.
"Ayo, saya antar pulang. Bajumu basah kuyup. Dalam keadaan hujan deras begini, akan jarang angkutan umum lewat. Bisa sampai malam kamu di sini. Ayo, saya antar."
"Pak Adrian, tapi ...." Aku ragu menerima tumpangan lelaki bersahaja itu.
"Ayo ... tidak apa, saya antar."
"Iya ...." Aku berjalan mengikuti langkahnya. Kami berdua berdiri sangat dekat, hingga nyaris bahu ini bersentuhan.
Pak Adrian membukakan pintu mobil di kursi penumpang depan. Kemudian aku duduk di sana. Bahkan lelaki itu memasangkan sabuk pengaman padaku. Lalu dia pun mengitari mobil membuka pintu kemudi, kemudian duduk di belakang kemudi.
Tubuhku kedinginan. Bibirku menggigil, bergetar menahan rasa dingin dalam tubuh. Pak Adrian memberikan kemejanya untukku pakai.
"Pakai ini. Kamu kedinginan."
"Hmm. Terima kasih, Pak." Tampak jelas lelaki itu menyunggingkan senyum manisnya. Ah, andai saja dia Bos David. Sungguh indah hidup yang aku jalani. Tidak akan ada lagi yang aku inginkan di dunia ini. Hidup bahagia bersama suami itu sudah lebih dari cukup buatku.
Kenyataan yang tidak sesuai impianku, menjadikan sudut hatiku terasa nyeri. Menjalani hari-hari yang begitu sulit, menjadi karyawan yang selalu di suruh ini itu, bahkan tanpa ada istirahatnya. Menjadi seorang istri yang tidak dianggap. Memiliki suami yang bahkan malu mengakui diriku sebagai istrinya. Bahkan bisa dipastikan, jika di hati Bang David ada wanita lain. Aku bertekad mengumpulkan bukti-bukti atas praduga ku, tapi sanggupkah hati ini menerima kenyataan pahit? Sebab aku sangat mencintai lelaki berhati salju tersebut.
Aku memaksa turun di persimpangan, biarlah pulang berjalan kaki. Tak enak rasanya jika lelaki baik itu tahu jika aku istri dari atasan di kantor. Awalnya dia memaksa mengantarkan ku sampai depan rumah. Namun, aku bersikeras menolak. Akhirnya dia pun mengalah dan membiarkanku berjalan, dengan membawa serta payung miliknya. Aku berjanji akan mengambalikannya esok hari di kantor.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamar. Berganti pakaian lalu bergelung dalam selimut tebal. Demi menghangatkan tubuh yang kedinginan.
Di meja makan saat sarapan, lelaki salju itu tampak semakin dingin. "Pulang jam berapa kamu kemarin? Kenapa saat aku di rumah kamu tidak ada. Apa itu kelakuan sebagai istri?"
"Maaf." Aku malas meladeninya. Segera kau berdiri meninggalkannya seorang diri dengan sarapannya.
Hari ini, aku malas menelan makanan. Tak berselera sama sekali.
bersambung ....
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat