“Jangan meremehkan seorang wanita, karena marahnya seorang wanita akan membawa kehancuran untukmu!”
~Alatha Senora Dominic~
🍁
Wanita yang kehadirannya tak diinginkan. Ia diabaikan, dikhianati bahkan hidupnya seolah tengah dipermainkan.
Satu persatu kenyataan terbuka seiring berjalanya waktu.
“Aku diam bukan berarti lemah! Berpuas dirilah kalian sebelum giliran aku yang membuat kalian diam.”
Kisah rumit keluarga dengan banyak konflik dan intrik yang mewarnai.
Simak kisah hidup seorang Alatha Senora Dominic di sini 💚
*
Mature Content.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8 Kesadaran
Tiga hari sudah berlalu, kedatangan dokter sekalipun tak mampu membuat Alatha Senora Dominic untuk segera membuka mata.
Wanita itu masih setia memejamkan mata dan menikmati mimpinya.
Setiap hari dokter datang untuk memeriksa kondisi Atha, tak lupa dokter juga menyuntikkan vitamin ke dalam infus yang terpasang di punggung tangannya.
Dokter sudah menyarankan untuk membawa Atha ke rumah sakit, namun lelaki itu menolak mentah-mentah saran dari dokter tersebut.
Alasannya hanya satu, ia tidak ingin kabar mengenai istrinya menjadi pemicu kabar buruk yang akan beredar di luaran sana.
Jeremy bersikap biasa saja seolah acuh pada kondisi Atha yang masih terbaring lemah. Lelaki itu bahkan menikmati waktunya bersama sang istri tercinta. Istri pertama yang di nikahi secara sembunyi-sembunyi.
Selama lima hari Atha tidak sadarkan diri, bahkan sekalipun Jeremy tak pernah menemaninya.
Ia hanya pulang ke mansion saat ada sesuatu yang di perlukan.
“Arsy!” panggil Jeremy yang ada di ruang makan.
“Ya Tuan.”
“Jangan katakan apapun pada semua keluarga Dominic mengenai kondisi Atha.”
“Termasuk Tuan besar?”
“Kau tidak dengar arti kata semuanya!” jawab Jeremy dengan dingin sambil menekan ucapannya.
Tak mau mengambil resiko Arsy hanya mengangguk patuh. “Saya mengerti Tuan.”
Pelayan setia Atha itu pergi meninggalkan ruang makan setelah merasa tidak ada lagi yang ingin di bicarakan.
Langkah kakinya membawa ia ke kamar utama untuk melihat kondisi sang Nona.
Tatapan mata iba jelas terpancar dari matanya.
Nona! Terkadang hidup memang tidak adil. Anda yang sangat baik nyatanya harus menerima semua rasa sakit ini. Saya mohon tetaplah bertahan, Nona.
Matanya mengembun, pelayan pribadi dan sahabat Atha itu terdiam di sisi ranjang. Ia duduk di lantai dengan tangan yang menggenggam jemari Atha.
“Nona, saya mohon buka mata anda! Kasihani saya yang sudah tak memiliki siapapun lagi. Jika anda memilih menyerah, saya akan menyusul dan menemani anda di sana. Untuk apa saya di sini jika anda tidak ada.”
Diam-diam Atha menangis merespon ucapan Arsy. Dengan mata yang masih tertutup dan tubuh yang terbaring lemah ia mendengar setiap suara yang ada di dekatnya.
Ia bahkan mendengar setiap umpatan yang di keluarkan suaminya, menyakitkan sekali. Lelaki yang menikahinya bukan hanya dingin namun juga kasar dan mempunyai tempramen yang tinggi.
Kini bukan hanya hatinya yang terluka, namun harga dirinya juga.
Ia bukan hanya ditipu, dikhianati, namun juga di permainkan dengan sangat sadis oleh keluarga dan suaminya.
Penyiksaan fisik yang ia terima mungkin bisa hilang ketika lukanya sembuh, namun bekas yang tertanam di otaknya, akan selalu di ingat.
“Nona...”
Tak tahan dengan suara tangisan sang pelayan, Atha membuka menggerakkan jemarinya perlahan untuk memberi respon pada Arsy.
“Astaga! Anda bangun, Nona,” ucapnya ketika menyadari jemari Atha bergerak.
Perlahan Atha membuka matanya, mengedip beberapa kali untuk memastikan cahaya yang masuk di kornea matanya.
Ia berada di kamar utama. Di atas ranjangnya yang panas.
Menyadari itu seketika Atha menangis.
“Nona, apa ada yang sakit? Saya akan memanggil dokter. Anda tunggu sebentar.”
Arsy bangkit dari duduknya namun tangannya dengan cepat di cekal oleh Atha. “Aku tidak apa,” ucapnya lirih. Atha mencoba bangun di bantu oleh Arsy, ia bersandar di ujung ranjang menahan sakit di seluruh tubuhnya.
“Ambilkan minum,” perintahnya dengan pelan.
“Saya akan mengambilnya. Anda tunggu sebentar.” Arsy keluar dari kamar dengan cepat.
Atha menatap seisi kamarnya, semuanya sudah rapi. Berapa hari aku tidak sadarkan diri? membatin dalam hati sambil kembali memejamkan mata.
Teringat dalam tidurnya ia bertemu dengan kedua orang tuanya membuat Atha tersenyum tipis. Aku ingin ikut bersama kalian, kita bisa berkumpul di sana sebagai keluarga yang bahagia.
Ceklek!
Atha membuka mata ketika mendengar suara pintu kamar terbuka. Ia pikir yang datang adalah Arsy namun ternyata seseorang yang tak ingin di lihatnya.
Lelaki itu datang dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celana. Pakaiannya masih rapi, apa lelaki ini tidak bekerja.
“Rupanya kau masih ingat untuk bangun ”
Atha memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari tatapan tajam Jeremy yang menatapnya sinis.
Semakin lama ia merasakan bahwa Jeremy semakin berjalan mendekat ke arahnya.
“Kau sudah berani memalingkan wajahmu di hadapanku?” tangannya langsung mencengkram dagu Atha dengan keras hingga membuatnya meringis menahan sakit.
Bahkan tubuh Atha masih tergolong sangat lemah.
Air mata Atha keluar membasahi pipinya. “Sakit J ....” jawabnya pelan.
Tangan besarnya melepaskan diri, ia kembali berdiri dengan tegak. Wajahnya terlihat datar, ia menatap sinis pada Atha.
“Jangan berani melakukan sesuatu yang akan kau sesali. Aku akan menghancurkan Opa Axton jika kau macam-macam,” ucapnya dengan suara yang berat.
Atha tidak menanggapi, ia hanya mengangguk pelan.
“Kau dengar Alatha?!” suaranya semakin meninggi karena tidak mendapatkan jawaban.
“Aku mendengarnya!”
“Bagus! Aku tidak suka wanita pembangkang.”
Alatha menjawab, ia masih menunduk sampai Jeremy hilang di balik pintu. Ia bernafas lega ketika lelaki itu sudah pergi.
Sampai kapan?
Ceklek!
Pintu kembali terbuka, Alatha langsung memejamkan mata takut jika suaminya datang kembali.
“Nona, ini air anda.”
Ternyata itu Arsy. Atha membuka matanya dan menarik nafas panjang.
Seolah tahu apa yang ada di pikiran sang Nona, Arsy langsung menjawab.
“Tadi saya menunggu sampai Tuan pergi.”
“Kemana?”
“Saya tidak tahu Nona, mungkin jika tidak ke kantor ya ke tempat tinggal Nona Serin.”
Atha menyahut segelas air yang ada di tangan Arsy. Meneguknya pelan hingga habis, akhirnya tenggorokan Atha yang kering merasa lega.
“Anda ingin minum lagi?”
Atha menggeleng. “Apa Opa tahu kabarku di sini?”
“Tuan besar sempat menghubungi saya ketika kita akan meninggalkan mansion ini. Kata beliau anda tidak menjawab telponnya. Dua hari yang lalu beliau kembali menghubungi saya, lalu saya jawab jika anda sedang liburan. Maafkan saya Nona, saya terpaksa berbohong.”
Atha mengangguk dan kembali merebahkan tubuhnya. “Jangan katakan atau ceritakan apapun pada Opa. Aku tidak ingin dia khawatir.”
“Saya mengerti.”
“Pergilah. Aku akan kembali tidur.”
“Anda harus makan Nona.”
“Aku tidak lapar. Infus ini saja sudah cukup. Jangan lupa katakan pada dokter untuk melepaskan ini nanti.”
“Dokter akan datang besok pagi Nona.”
“Hm.” ia menarik selimut dan memunggungi Arsy yang masih berdiri di dekatnya.
Atha tak menanggapi, ia kembali memejamkan mata bersama dengan cairan bening yang menetes dari matanya yang terpejam.
Tuhan, tolong hapus semua rasa sakit ini.
🍁
Bersambung...