Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 7
“Kalian bawa Zeti ke uks dulu, biar aku yang beri pelajaran gadis ini,” ucap seorang gadis yang menatap tajam pada Fisa. Gadis bernama Zeti dibawa pergi dari kantin oleh salah satu dari mereka, sedangkan dua gadis lainnya mendekati Fisa.
“Kenapa kamu mendorong Zeti?” tanya gadis itu begitu berada di depan Fisa.
“Sepertinya kalian salah paham, aku sama sekali tidak mendorong temanmu,” jawab Fisa.
“Alena, kamu yakin melihat Fisa mendorong Zeti? kuharap kamu tidak mengarang cerita!” Arjuna maju selangkah seolah ingin melindungi Nafisa dari dua teman sekelasnya itu.
Alena mendengus kasar, ia tak menyangka sebegitu berharganya gadis itu di mata Arjuna, ia semakin penasaran tentang siapa sebenarnya Fisa ini. Rasa kesal di hatinya semakin menjadi-jadi tatkala Alena mendengar Arjuna berbisik meminta Fisa tetap tenang jika memang tak bersalah.
“Arjuna, bukankah buktinya sudah jelas? kamu lihat sendiri bagaimana luka Zeti dan kamu masih tega mengatakan kami sengaja mengarang cerita? orang mana yang akan dengan bodohnya mengorbankan diri sendiri untuk memfitnah orang lain? yang bahkan tak dikenal.”
“Tapi aku tak menuduhmu seperti itu Alena, maksudku mungkin saja kamu salah orang, bukan Fisa yang mendorongnya.”
“Benar atau tidaknya, hanya gadis itu yang tahu!” Alena menunjuk muka Fisa yang tertunduk, inilah kelemahan Fisa. Ia memang tak takut setan tapi berhadapan dengan sesama manusia mengingatkannya pada pembullyan yang sering diterimanya saat SMP dulu.
Arjuna menyadari keanehan pada diri Fisa, tangan gadis itu saling menggenggam seolah menyembunyikan getaran di sana. Arjuna meraih tangan kecil itu dan menggenggamnya, hal ini tak luput dari tatapan siswa siswi lain yang menonton kejadian ini, bahkan Alena sekalipun.
“Tapi kamu nggak punya bukti Alena! dan itu tidak bisa menjadikan Nafisa bersalah,” kata Pandu.
“Benar itu, hey teman-teman adakah dari kalian yang kebetulan melihat Fisa mendorong Zeti? melukai Zeti atau apapun itu yang menyebabkan baksonya tumpah?” jerit Haikal, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, tak ada satupun dari teman-temannya yang menyaksikan tuduhan Alena.
“Hah, bukankah kalian sendiri juga nggak punya bukti yang menyatakan dia tak bersalah? tidak kan? lantas kenapa menatapku seperti itu, apa aku salah mencari kebenaran untuk sahabatku?” teriak Alena.
“Alena, sudahlah, lebih baik kita susul Zeti dan Yisa saja yuk, menurutku ini memang bukan salah dia,” tukas gadis di sebelahnya, Alena menatapnya tajam.
“Apa maksudmu Hana?” Meskipun lirih, Arjuna mendengar ucapan Hana.
“Ucapan Hana benar Arjun, lihatlah aku punya bukti bahwa temanmu tidak bersalah.” Seorang gadis bernama Nindi datang bersama Nuria, gadis itu adalah sepupu Nuria yang tak sengaja merekam kejadian itu saat hendak membuat video.
Arjuna meraih ponsel Nindi, melihat sendiri bagaimana Zeti berniat mencelakai Fisa, kaki gadis itu hendak menjegal langkah kaki Fisa, tapi tiba-tiba mangkok bakso di atas mejanya bergeser dan tumpah mengenai tangan dan pakaiannya.
Arjuna menatap Alena kesal, “minta maaf Alena!”
Alena merasa dipermalukan, ia tak tahan ketika teman-teman di sekitar mulai menyorakinya. Gadis itu pergi begitu saja, sementara Hana mengangguk sopan pada teman-teman lantas mengikuti Alena dengan sedikit tergesa.
“Nindi, terima kasih bantuanmu,” kata Arjuna begitu teman-temannya bubar dan kembali ke meja masing-masing.
“Tak masalah, gadis itu memang sombong dan suka menindas yang lemah, aku tak menyukainya sejak dulu, dan selain itu kebetulan adikku melihat kejadian ini, dan dia yang menemukan buktinya, jadi berterimakasihlah padanya,” ungkap Nindi menunjuk Nuria yang malu-malu.
“Loh bukannya kamu yang tadi sama Fisa di kelas ya? siapa namamu?” tanya Arjuna.
“Nuria Kak.”
“Oh Nuria, salam kenal ya. Oh iya, Nuria karena kamu sekelas dengan Fisa apa kebetulan kalian akrab?”
Nuria tersenyum, ia tampak ragu-ragu menjawabnya. Keinginannya memang akrab dengan Fisa tapi gadis itu selalu membatasi diri. Arjuna mengerti apa yang terjadi, apalagi melihat Fisa yang hanya diam, lelaki itu mengajak semua orang makan di meja yang sama, sebelum bel masuk jam berikutnya berbunyi.
***
Kejadian di kantin tadi membuat Nuria terus mengikutinya, gadis itu bahkan mengajak teman sebangku Fisa bertukar tempat dengannya, dan jadilah mereka berdua duduk berdampingan kini. Fisa merasa ketenangannya mulai terusik setelah kehadiran Nuria di sisinya, gadis itu begitu cerewet. Dia kaya topik pembicaraan, seolah-olah tak ada habisnya.
Bahkan saat bel pulang berbunyi, Nuria masih saja bercerita tentang siapa itu Alena dan prediksi kenapa dia memfitnahnya seperti itu. Fisa pun mengerti alasan gadis cantik itu membencinya, sepertinya karena cemburu.
“Aduh, perutku mules banget, Fisa boleh tungguin aku nggak? Aku mau ke toilet sebentar, aku harus segera keluarin ini kalau tidak bisa bahaya. Tapi aku jangan ditinggal ya,” rengeknya memasang wajah memelas, Nuria memang takut jika harus ke toilet sementara satu persatu temannya pulang.
Fisa mengangguk, ia memberi kode agar gadis itu segera pergi ke toilet. Nuria berterimakasih lalu menukar tas miliknya dengan milik Fisa. “Buat jaga-jaga agar kamu nggak tinggalin aku, Fisa,” tandasnya.
Nafisa hanya menyaksikan gadis itu berlari-lari kecil keluar kelas, kini tinggallah ia sendiri di ruangan itu, teman-temannya sudah pergi saat bel pulang sekolah berbunyi beberapa saat lalu. Fisa berencana menunggu Nuria sambil membaca novel pemberian Arjuna tadi, gadis itu mulai membuka satu persatu halaman awal novel, Nafisa terhanyut dalam cerita yang mengisahkan persahabatan berubah menjadi cinta.
Bayangan Arjuna membelanya tadi, melindunginya bahkan menggenggam tangannya hadir tanpa permisi. Fisa menggeleng pelan, pemikiran aneh itu membuatnya geli.
Namun, setelah itu Fisa merasa sebuah bayangan hitam berjalan cepat di belakangnya, gadis itu sedikit tak fokus. Tanda-tanda keberadaan mereka mulai tampak, Fisa melihat sebuah tangan berkuku panjang hendak mencengkeram dari arah belakang, desisan halus bagai siulan sumbang yang menjalar dari belakang telinga.
Tangan-tangan hitam dengan otot-otot menonjol serta kulit yang keriput terasa basah menyentuh kulit, gugusan hitam pekat bagai kabut tebal yang mencuri pandangan, juga meraup udara segar di sekitar, dada Fisa sesak, seolah ribuan jarum tertancap dan menghalangi gerak jantung memompa darah.
Nafisa meremas dada, ia hampir tak bisa menahan kesakitan ini. Aura kegelapan menyelimutinya, Fisa tahu makhluk yang menyerangnya memiliki energi kuat, entah darimana asal makhluk itu. Mungkin saja dari kelas sebelah yang kosong.
BRAK….
Suara pintu terbuka berhasil menyelamatkan Fisa, makhluk tak kasat mata itu berubah menjadi gas yang menyebar di udara lalu menghilang. Fisa meraup udara rakus, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sunyi dan senyap bahkan Nuria pun belum kembali.
Fisa melihat bayangan di samping pintu, gadis itu lantas berlari mengejarnya dan berhasil menangkap sesosok makhluk yang kini meminta ampun ketakutan.
“Itu bukan salahku, gadis. Itu hantu dari gudang. Aku hanya berusaha menolongmu, jadi tolong lepaskan aku,” katanya memelas.
Fisa meragukan pengakuan hantu leher panjang ini, tapi penampilannya yang terlihat normal dengan kaki dan tangan layaknya manusia kecuali lehernya yang memang panjang itu seolah menjadi tanda perdamaian yang ia bawa.
“Benarkah yang kamu katakan?”
Kepala panjang itu meliuk-liuk, meski begitu Nafisa masih enggan melepasnya.
“Tapi, kenapa kamu menolongku?”
“Lepaskan aku dulu,” pintanya.
Cengkraman tangan Nafisa mulai mengendur, membebaskan leher panjang itu begitu saja. Hantu itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
“Kamu sudah mengalahkanku hari itu, apa menurutmu aku bodoh hingga masih bebal? bahkan di kantin tadi aku juga menyelamatkan kamu.”
Kening Nafisa berkerut, ia tak mengerti maksud ucapan makhluk itu.
“Kamu tak tahu, gadis-gadis itu memang menargetkan kamu. Mereka tak suka kamu dekat-dekat lelaki bernama Arjuna, dan kenapa kamu bisa selamat dan gadis itu terluka? itu karena aku menarik kakinya dan menumpahkan baksonya, kulakukan ini untukmu. Bahkan baru saja aku menolongmu lagi.”
Nafisa mulai khawatir, ia tahu dari ibunya betapa liciknya makhluk-makhluk ini. Karena itu ia tak boleh gegabah, harus berpikir bijak untuk mencari tahu apa sebenarnya maksud dari pertolongan itu.
“Lantas…”
“Fisa, ka-kamu bicara sama siapa?”
...