Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Salah paham
Suasana pagi di kampus masih terasa lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang lalu lalang, berjalan cepat sambil memeluk buku atau membawa kopi di tangan, tergesa-gesa menuju kelas masing-masing. Udara pagi masih dingin, aroma rumput basah sisa hujan semalam samar-samar tercium.
Rajata melangkah pelan melewati koridor kampus dengan hoodie hitamnya yang sedikit ia tarik ke atas kepala. Padahal, jadwal kelasnya baru dimulai siang nanti. Tapi ada yang membuatnya tak bisa tenang di rumah—ia ingin memastikan Tessa baik-baik saja setelah semalam meninggalkan rumah lebih awal.
Matanya menyapu setiap sudut kampus, mencari sosok yang akhir-akhir ini terus mengisi pikirannya. Jemarinya terkepal di saku celana, menahan kegelisahan yang makin menyesakkan dada.
Rajata merogoh ponsel di saku celananya, ibu jarinya cepat mengetik pesan di layar.
|Lo di mana, Tess?
Setelah memastikan pesannya terkirim, ia menghela napas panjang. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Tanpa pikir panjang, ia melangkah menuju ruang basket untuk sekadar menenangkan pikiran.
Namun, baru saja hendak berbalik arah, bahunya tanpa sengaja menyenggol seseorang.
"Sorry, Li... gue nggak sengaja," ucap Rajata cepat, sedikit mundur memberi jarak.
Liora menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada sebersit rindu dan kecewa di mata perempuan itu. Tapi yang membuat Liora lebih terkejut adalah... Rajata memanggil dirinya dengan "Lo–gue". Bukan lagi "Aku-kamu" seperti dulu.
"Jaa... beneran nggak ada kesempatan lagi buat aku?" suara Liora bergetar, memecah udara di antara mereka. "Kita masih bisa usahain, Jaa. Kita bisa lawan semua ini kalau kamu mau..."
Rajata terdiam sejenak, menatap Liora dalam. Dulu, tatapan itu selalu membuat dadanya hangat. Tapi sekarang? Entah mengapa hatinya terasa datar. Kosong.
"Nggak bisa, Li. Gue... gue nggak bisa lagi," jawabnya pelan tapi tegas.
Ada yang aneh... Ia tahu dirinya masih mencintai Liora. Tapi sekarang? Saat menatap wajah Liora, ia hanya merasa biasa saja. Mungkin karena hatinya sudah pasrah menerima bahwa mereka tidak akan pernah bisa bersama. Tembok di antara mereka terlalu tinggi untuk diruntuhkan.
"Kenapa nggak bisa, Jaa?" Liora melangkah maju, menahan lengannya. Genggamannya erat, seperti tidak rela melepaskan. "Kamu masih sayang kan sama aku? Aku tahu... hati kamu masih buat aku, iya kan?"
Rajata menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang mendesak di dadanya. "Gue udah bilang kan... kita nggak mungkin bareng lagi..Jangan bikin ini makin sulit." Ia mencoba menarik tangannya, tapi Liora justru menggenggam lebih kencang.
"Jaa... kita bisa mulai lagi." suara Liora bergetar. Matanya tampak basah, setengah memohon.
Rajata menatapnya lagi. Ada bagian dari dirinya yang dulu mungkin akan luluh melihat Liora seperti ini. Tapi sekarang? Hatinya terasa datar.
"Li... gue nggak bisa. Gue udah milih jalan gue," katanya tegas, menepis tangan Liora dengan lembut namun mantap.
Namun pada saat itu—
Tessa berdiri terpaku tidak jauh dari mereka.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Rajata bersama seorang perempua yang sedang menggenggam tangan suaminya dengan penuh emosi. Jantung Tessa mencelos. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menindih dadanya.
"Jadi dibelakang masih sering ketemuan mereka?" Gumam nya lirih.
Tessa menunduk, meneguk ludah yang terasa pahit. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, tak ingin hatinya semakin terluka oleh pemandangan itu. "Sudahlah Tess... kamu nggak punya hak apa-apa. Dia bukan milikmu."
Dengan sisa tenaga, ia melangkah menuju kelas, mencoba mengubur bayangan itu jauh-jauh dalam kepalanya.
***
"Tess!" panggil Juna dari ujung lorong fakultas.
Tessa menoleh, langkahnya terhenti ketika melihat Juna berjalan cepat menghampirinya sambil membawa sebuah map biru.
"Ini punya lo ketinggalan di kelas." Juna menyerahkan map itu dengan senyum tipis.
"Eh iyaaa! Makasih ya, Jun. Kalau nggak lo balikin, gue pasti ribet banget nyarinya." Tessa terkekeh pelan.
"Tumben lo sendirian, mana Diana sama Raisa?" tanya Juna sambil berjalan menyusul langkah Tessa yang sudah melanjutkan ke arah kantin.
"Ini mau nyusul mereka ke kantin," jawab Tessa ringan.
"Gue gabung boleh nggak?" tanya Juna dengan nada santai, meski ada sedikit ragu di wajahnya. Sebenarnya, Juna menyimpan rasa pada Tessa sejak lama, tapi pernah ditolak secara halus.
"Gabung aja lah, yuk," kata Tessa, tersenyum ramah.
Mereka berjalan beriringan, Tessa beberapa kali tertawa kecil mendengar candaan Juna.
Kini mereka berempat sudah duduk manis di kantin sambil bercanda ringan.
"Eh, gimana kalau kita nonton aja? Masih siang banget ini," usul Diana antusias.
"Ada film baru yang lagi rame tuh. Filmnya Tom Cruise, katanya keren banget," lanjutnya dengan mata berbinar.
"Wah, boleh juga tuh. Gue juga udah nunggu banget film itu," sahut Juna setuju.
"Ayo Tess, lo ikut kan?" tanya Raisa sambil menatap Tessa penuh harap.
Tessa terdiam sejenak. Tadinya ia ingin menolak karena ada tugas yang harus dikerjakan. Namun, bayangan Rajata dan Liora yang tadi ia lihat bersama membuat hatinya terasa sesak. Entah kenapa, ia jadi ingin melepas penat.
"Boleh deh... tapi gue nggak bawa motor hari ini," jawab Tessa akhirnya.
"Bareng gue aja, Tess. Aman!" seru Juna cepat.
"Nah, pas banget tuh. Si Putri nggak bisa ikut, jadi lo bisa bareng Juna," timpal Raisa sambil tersenyum jahil.
Tessa hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan perasaan campur aduk di hatinya.
Saat itu Tessa dan teman-temannya baru saja sampai di parkiran. Mereka tertawa ringan sambil berjalan ke arah motor Juna, tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengamati dari kejauhan.
Rajata yang hendak masuk ke kampus bersama Tibra mendadak menghentikan langkahnya. Matanya menajam, rahangnya mengeras.
"Bisa-bisanya dia nggak bales pesan gue... tapi malah jalan sama cowok."
Genggaman tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan emosi yang hampir meledak. "Sia-sia gue khawatir sama dia sejak pagi."
"Jaa, lo kenapa berhenti sih?" tanya Tibra heran karena ikut berhenti.
Rajata hanya diam, matanya masih tertuju pada sosok Tessa yang kini tersenyum pada Juna. Dadanya berdesir aneh, ada rasa sesak yang menyesakkan.
"Lo ngeliatin apaan ? Ada yang aneh?" Tibra ikut celingukan ke arah yang sama.
"Nggak ada. Udah, ayok." jawab Rajata cepat, suaranya dingin. Ia melangkah lagi dengan langkah lebar, tapi kedua tangannya masih mengepal kuat seperti menahan sesuatu.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa