Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Alan kembali ke kamarnya, duduk di atas kasur empuk sambil menarik dasinya yang terasa sedikit menghambat napasnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian hari ini, terutama tentang Cici dan Flower.
"Cici begitu polos, tidak mungkin dia bisa berpura-pura di depan kami. Dia tidak perlu melakukan itu hanya demi mendapatkan perhatian kami," gumam Alan lirih, matanya menerawang ke arah langit-langit kamar.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah pintu.
Tuk tuk!
Alan menoleh sebelum bangkit dan berjalan ke pintu. Begitu ia membukanya, ia melihat Cici berdiri di luar. Gadis itu tampak ragu-ragu, wajahnya sedikit pucat dengan ekspresi sendu yang menggambarkan perasaan bersalah.
"Cici, ada apa?" tanya Alan dengan nada lembut, sedikit khawatir melihat ekspresinya.
Cici menatap Alan dengan mata berkaca-kaca, bibirnya gemetar sebelum akhirnya ia berbisik dengan suara penuh emosi, "Kakak, maaf!"
Alan mengernyitkan dahi. "Kenapa meminta maaf?" tanyanya, tidak mengerti alasan di balik permintaan maaf mendadak ini.
Cici menundukkan kepala, tangannya mengepal erat di depan tubuhnya. "Aku merasa bersalah pada keluarga ini," katanya dengan suara lirih. "Flower kini berubah menjadi seperti ini hanya karena dia membenciku. Jadi aku sudah membuat keputusan demi keluarga ini bahagia seperti dulu. Aku rela keluar dan tinggal di asrama. Dengan begitu, mungkin Flower akan kembali seperti dulu."
Alan menatap gadis itu dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat ketulusan dalam sorot matanya—atau setidaknya, itulah yang tampak di permukaan.
"Cici, kau tidak perlu melakukan itu. Flower memang seperti ini sejak dulu," jawab Alan, mencoba meyakinkannya.
Cici mengangkat wajahnya, matanya kini dipenuhi ketakutan yang mendalam. "Kakak, aku takut melihatnya. Apakah Kakak tidak percaya padaku, kalau aku adalah korban sebenarnya? Flower yang menyerangku di belakang keluarga kita. Karena dia tahu Papa, Mama, dan Kakak sangat peduli padaku," ujar Cici dengan suara bergetar, seolah menahan isak tangis.
Alan menghela napas, kemudian menatapnya dengan lembut. "Cici, apa pun yang terjadi, aku tidak pernah ragu padamu. Kamu tenang saja tinggal di sini. Walau kamu adalah anak angkat, bagi kami, kamu adalah keluarga kami sendiri."
Mendengar kata-kata Alan, Cici menggigit bibirnya seolah sedang mempertimbangkan sesuatu, lalu ia berkata dengan suara penuh tekad, "Kakak, aku rela melakukan apa saja demi Flower. Aku akan mengembalikan semua miliknya."
Alan menggeleng pelan, menatap Cici dengan kesabaran seorang kakak yang melindungi adiknya. "Semua yang kami berikan padamu adalah milikmu. Kamu tidak perlu peduli padanya. Keluarga ini adalah keluargamu juga. Jadi tidak perlu cemas seperti itu. Abaikan saja sikap Flower. Kalau kamu takut, aku akan membantumu agar bisa membuatmu nyaman," ujarnya dengan penuh keyakinan.
Cici menatap Alan dalam-dalam, lalu dengan tiba-tiba, ia melangkah maju dan memeluk Alan erat. Tubuhnya sedikit bergetar, seolah menahan emosi, namun di balik punggung Alan, senyuman kecil tersungging di bibirnya. Sebuah senyum yang tidak terlihat sedih atau takut—melainkan penuh kemenangan.
Dalam dekapan Alan yang hangat, Cici tahu bahwa ia telah berhasil mendapatkan perhatian kakaknya. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya puas.
Keesokan paginya, suasana rumah tampak hangat dan penuh keceriaan. Anggota keluarga itu berkumpul di ruang makan, menikmati sarapan bersama sambil berbincang-bincang. Tawa dan senyum bahagia menghiasi meja makan, menciptakan kesan keluarga yang harmonis. Namun, satu sosok tidak terlihat di antara mereka—Flower.
Sementara itu, Flower menuruni anak tangga dengan langkah pelan. Begitu sampai di pertengahan tangga, ia berhenti dan menatap keluarganya yang tampak begitu bahagia tanpa dirinya. Tidak ada yang menyadari kehadirannya. Tidak ada yang mencari keberadaannya.
Matanya yang semula penuh ketegaran kini dipenuhi kekecewaan. Hatinya terasa sakit melihat mereka yang dulu selalu bersamanya, kini terlihat seolah melupakannya.
"Mana mungkin aku tidak sakit melihat ini?" batinnya. "Papa, Mama, dan kedua kakakku… mereka berubah sejak Cici masuk ke rumah ini. Dia selalu bersikap manja dan suka berbohong untuk mendapatkan belas kasihan mereka. Dan aku? Aku yang dulu selalu ada untuk mereka, kini diabaikan begitu saja. Keluargaku sendiri telah menjadi orang asing bagiku. Selain berpura-pura kuat di depan mereka, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi."
Menelan rasa sakitnya sendiri, Flower menghela napas panjang lalu melanjutkan langkahnya. Ia berjalan melewati ruang makan menuju pintu, tidak berniat menyapa siapa pun. Namun, baru saja tangannya hendak meraih gagang pintu, suara Alan menghentikannya.
"Flower, ada yang ingin aku katakan!" kata Alan dengan nada tegas.
Flower tetap membelakangi mereka, enggan menoleh. "Katakan saja," jawabnya datar, berusaha terdengar acuh tak acuh.
Alan menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Mulai hari ini kamu pindah tinggal ke asrama. Aku sudah mengaturnya untukmu. Semua kebutuhanmu akan disediakan, jadi kalau butuh sesuatu, beritahu saja asistennya!"
Seketika, tubuh Flower menegang. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya, mencoba menahan emosi yang bergejolak dalam hatinya. Sekarang, mereka bahkan memutuskan untuk benar-benar menyingkirkannya dari rumah ini.
Namun, ia tidak ingin memberi mereka kepuasan melihatnya terluka. Dengan suara dingin dan tanpa sedikit pun emosi, ia menjawab, "Terserah. Lakukan saja kalau itu membuat kalian semua bahagia dan puas."
Setelah berkata demikian, Flower melangkah pergi tanpa basa-basi, meninggalkan Alan dan yang lainnya dengan perasaan tak terdefinisikan.
Alan menghela napas, menatap punggung Flower yang menjauh. Ada sesuatu yang terasa janggal, tapi ia memilih untuk mengabaikannya.
"Kenapa kau...," ucap Alan, seolah masih tidak percaya bahwa Flower tidak membantah keputusannya.
Wilson, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kakak, kenapa tiba-tiba saja... ?"
Alan menoleh padanya dan menjawab tanpa ragu, "Demi Cici, aku akan melakukan apa saja. Flower tidak bisa diatur dan mulai berubah. Lebih baik dia tinggal di luar daripada membuat Cici tidak nyaman."
Yohanes, sang ayah, ikut menimpali dengan tatapan penuh kebingungan. "Aneh sekali. Kenapa anak itu tidak membantah? Malah setuju saja?"
Wilson yang mendengar ucapan ayahnya langsung bangkit dari kursinya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan langkah cepat, ia mengikuti Flower keluar rumah.
Di halaman samping, Flower sedang berdiri di depan api kecil yang menyala. Wilson mengerutkan kening, menyadari bahwa Flower sedang membakar sesuatu.
Dari tempatnya berdiri, Wilson bisa melihat beberapa lembar foto di dalam kobaran api.
"Apa lagi yang dia lakukan? Selalu saja mencari perhatian," batin Wilson dengan sedikit jengkel.
Di salah satu foto yang masih utuh di tepi api, ada gambar seorang gadis kecil dengan senyuman ceria dalam gendongan Wilson. Itu adalah kenangan mereka saat masih menjadi keluarga yang utuh.
Flower berdiri diam, menatap foto-foto itu terbakar dengan ekspresi kosong. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun ia tidak berusaha menghapusnya.
"Kakak pertama, kakak kedua… kalian telah menyingkirkan aku sejak dulu," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara api yang membakar kenangannya. "Aku akan pergi tanpa menggunakan uang kalian. Walau aku harus mengemis, aku juga akan melakukannya."
Wilson, yang sedari tadi hanya memperhatikan dari kejauhan, kini menatap Flower dengan perasaan rumit. Ia tidak pernah melihat adiknya seperti ini sebelumnya. Flower selalu tampak kuat dan keras kepala di depan mereka, tapi sekarang… ia terlihat begitu rapuh.
Saat Flower melangkah pergi, meninggalkan foto-foto yang dulu berharga baginya, Wilson berjalan mendekati sisa-sisa kenangan yang telah dibakar. Ia memungut salah satu potongan foto yang belum sepenuhnya hangus.
Tatapannya jatuh pada senyuman gadis kecil yang pernah begitu bahagia dalam keluarganya.
Namun, kini semua itu hanya tinggal abu.
"Kenapa Flower membakarnya?" gumam Wilson.
terimakasih untuk kejujuran muu 😍😍😍 ..
sally mending mundur saja.. percuma kan memaksakan kehendak...
kim gak mau jadi jangan di paksa
ka Lin bikin penasaran aja ihhh 😒😒😒
penasaran satu hall apakah Flower akan pergi dari Kim atau bertahan sama kim 🤨