Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Masa Lalu Piliham Mertua
Sore itu, ketika Arman masuk ke kamar dan mendapati lemari sedikit terbuka, koper kecil yang biasa Diva pakai tak ada di tempat, ia langsung tahu sesuatu telah terjadi. Ia melangkah cepat ke ruang tamu dan hanya mendapati Arini duduk sendiri, memeluk bantal, mata sembab.
“Rin… Diva ke mana?” tanyanya dengan nada cemas.
Arini menatap Arman penuh kecewa. “Dia pulang ke rumah Kak Dira.”
“Sendiri?” Arman buru-buru bertanya.
“Iya, sendiri. Tapi tenang aja, dia masih lebih kuat dari yang kalian kira,” jawab Arini, nadanya tajam, tak seperti biasanya.
Arman menghela napas panjang. Ada sesak yang datang tiba-tiba. Diva benar-benar pergi. Dan yang lebih membuatnya bingung kenapa hatinya berat. Padahal, bukankah selama ini ia memberi ruang untuk perasaan lamanya pada Raya?
Ia terduduk di sofa. Hampa.
Tak lama, Bu Susan keluar dari kamar, melihat raut anaknya yang murung. “Kenapa, Man? Kamu kenapa kelihatan kacau?”
“Diva pergi, Bu… balik ke rumah Kak Dira,” jawab Arman datar.
“Oh.” Bu Susan mengangkat alis, lalu menggeleng pelan. “Perempuan itu memang dramatis. Baru juga ketemu mantan kamu, langsung pergi seakan-akan dunia runtuh.”
Arman menatap ibunya, bingung antara kecewa dan tak percaya. “Bu, ini bukan soal Raya aja… Diva itu istri saya.”
“Iya, tapi kan dia juga terlalu sensitif. Bukannya duduk, ngobrol baik-baik, malah kabur,” jawab Bu Susan enteng.
Arman bungkam. Di dadanya mulai muncul rasa bersalah yang lebih dalam. Mungkin... selama ini dia membiarkan terlalu banyak celah. Dan kini semuanya mulai runtuh satu per satu.
Malam mulai turun, dan rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Arman duduk di kamarnya dengan ponsel di tangan, membuka percakapan terakhirnya dengan Diva. Ia mengetik:
"Div, kita perlu bicara. Aku minta maaf."
Pesan itu hanya dibaca, tanpa balasan. Ia mencoba menelpon, sekali, dua kali, tak diangkat. Rasanya seperti mengetuk pintu rumah yang sudah tak mau lagi dibuka untuknya. Terbersit niat untuk menyusul Diva ke rumah Kak Dira, tapi bayangan akan bertemu Reza membuatnya mengurungkan niat. Hubungan mereka memang tak pernah akrab, dan ia tahu Reza bukan tipe yang membiarkan adik ipar perempuannya disakiti begitu saja.
Sementara itu, di ruang keluarga, Arini duduk berhadapan dengan ibunya. Wajahnya serius, tak seperti biasanya.
“Ibu, bang Arman salah. Dan Diva… dia gak seberlebihan yang ibu pikir,” ucapnya pelan, tapi tegas.
Bu Susan mendelik. “Maksud kamu apa?”
“Ibu sadar gak sih, Diva itu udah banyak ngalah. Dari awal nikah, dia nurutin semua maunya ibu. Dia bantuin di rumah, dia tahanin ucapan-ucapan ibu yang kadang nyelekit… dan yang paling parah, dia diam saat tahu suaminya,bang Arman jalan sama mantannya,” ujar Arini dengan suara bergetar.
“Arini!” bentak Bu Susan, matanya membelalak. “Kamu berani bicara begitu ke ibu?”
“Maaf, Bu… tapi bang Arman itu kakak Arini. Diva kakak ipar Arini. Arini. sayang mereka. Tapi Arini juga gak bisa diam lihat Diva diperlakukan nggak adil,” lanjut Arini, menatap ibunya tanpa mundur.
Bu Susan terdiam beberapa saat. Napasnya cepat. Ia merasa darahnya mendidih, tapi juga mulai merasa tertampar oleh keberanian anak bungsunya yang biasanya penurut.
“Jadi kamu lebih belain orang luar daripada ibu sendiri?” desis Bu Susan, suaranya dingin.
“Bukan soal membela siapa, Bu. Tapi soal benar dan salah,” jawab Arini pelan, air mata mulai menetes.
Rumah itu mendadak sepi lagi. Arini bangkit dari duduknya, berjalan perlahan ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang masih terpaku.
Di kamar, Arman masih memandangi layar ponsel yang tetap sepi. Untuk pertama kalinya… ia merasa benar-benar kehilangan. Dan yang paling menyakitkan ini semua ulahnya sendiri.
Sesampainya di rumah Kak Dira, Diva langsung menuju kamar tamu yang biasa ia tempati. Reza sedang bekerja di ruang tengah, sedangkan Kak Dira sedang membuat teh. Beberapa menit kemudian, Diva dipanggil ke ruang keluarga.
“Ada apa, Div? Kamu terlihat... lelah,” tanya Kak Dira dengan suara lembut sambil menyodorkan secangkir teh.
Diva menghela napas panjang, menatap kakaknya dan suaminya bergantian, lalu mulai menceritakan semuanya—tanpa melewatkan satu detail pun. Tentang makan malam yang canggung, tentang Raya yang terang-terangan bergelayut manja pada suaminya, tentang ucapan ibu mertuanya yang menyakitkan, bahkan tentang bagaimana Arman tak menyangkal apa pun.
Reza mengepalkan tangan, berusaha menahan emosinya. Kak Dira hanya bisa memeluk Diva dengan lembut.
“Kamu gak salah, Div. Kamu berhak marah,” ucap Reza pelan tapi tegas. “Kalau aku jadi kamu, mungkin aku udah lebih dulu pergi.”
“Makanya aku pulang ke sini... aku cuma pengen tenang dulu. Jujur, aku gak tahu arah rumah tangga ini bakal kemana,” lirih Diva, air matanya jatuh tapi cepat ia seka. “Yang jelas, aku gak mau terus-terusan jadi perempuan yang dicurangi dan disalahkan.”
*****
Sementara itu, di rumah, Arman masih mondar-mandir di kamarnya. Gelisah. Arini tak bicara padanya sejak percakapan dengan ibu mereka, dan ia mulai merasa semuanya benar-benar tak terkendali. Akhirnya, tanpa pikir panjang, ia mengambil kunci mobil dan keluar rumah.
Bu Susan yang melihatnya bertanya, “Mau kemana lagi malam-malam?”
“Ke rumah Kak Dira,” jawab Arman datar.
“Apa? Kamu serius, Man?”
“Serius, Bu. Arman harus selesaikan semua ini.”
*****
Sekitar dua jam kemudian, mobil Arman berhenti di depan rumah Kak Dira. Ia sempat ragu mengetuk pintu, tapi akhirnya ia tekan bel.
Dari dalam, Reza yang membuka pintu. Begitu melihat Arman, ekspresi wajahnya langsung berubah dingin.
“Ngapain ke sini?” tanya Reza tanpa basa-basi.
“Aku mau bicara sama Diva,” ujar Arman pelan.
“Dia gak mau diganggu.”
“Tolong, Reza. Sekali ini aja,” pinta Arman, nadanya memohon.
Reza menatapnya tajam, lalu menoleh ke dalam. Tak lama, Diva muncul dari balik pintu, berdiri tegak tapi jelas sorot matanya penuh luka.
“Div, aku tahu aku salah... tapi”
“Kamu gak usah banyak alasan, Bang,” potong Diva dingin. “Kita bisa bicara. Tapi kali ini... aku yang tentukan arahnya.”
Di bawah cahaya remang lampu teras, angin malam berhembus pelan. Arman duduk di kursi sebelah Diva, tapi menjaga jarak. Hening sempat menyelimuti mereka, hanya suara malam yang terdengar, dan dari balik jendela, Reza dan Dira duduk diam, mendengarkan dengan hati yang waspada.
“Aku gak akan tanya kenapa kamu bawa dia ke rumah,” ucap Diva membuka percakapan, suaranya tenang tapi tajam. “Karena aku udah lihat semua jawabannya.”
Arman menunduk, suaranya pelan, “Diva... aku gak pernah niat nyakitin kamu.”
“Tapi kamu tetap nyakitin,” potong Diva. “Kamu biarin ibumu mempermalukan aku. Kamu biarin wanita itu duduk di rumah kita, di meja makan kita, bergelayut di lengan kamu dan kamu diem aja.”
“Aku bingung... semua ini kejadian terlalu cepat, dan... aku gak tahu harus gimana,” jawab Arman lirih.
“Kamu tahu, Bang,” ujar Diva. “Kamu cuma gak cukup berani buat bilang yang sebenarnya.”
Arman menatap Diva, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sayang kamu, Div. Aku cuma... terjebak antara ibu, antara masa lalu...”
“Dan kamu milih mereka,” sambung Diva. “Itu pilihan kamu. Tapi aku juga punya pilihan, Bang.”
Reza memejamkan mata di dalam, menahan emosi. Dira menggenggam tangannya erat.
“Aku gak minta kamu pilih aku di atas ibumu,” lanjut Diva, nadanya tetap tenang. “Tapi aku gak akan hidup di rumah yang gak ngelindungin harga diriku. Aku berusaha jadi istri yang baik, tapi aku bukan penonton. Dan aku bukan cadangan.”
“Jadi... kamu mau gimana?” tanya Arman pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Diva menatap langit sesaat, lalu kembali pada Arman. “Aku mau sendiri dulu. Kita butuh waktu. Kalau kamu benar-benar sayang... kamu tahu jalan pulangnya. Tapi kalau kamu ragu, biar aku yang pergi.”
Arman terdiam, tak sanggup menjawab. Udara terasa dingin di antara mereka.
“Terima kasih sudah datang,” ujar Diva lembut namun tegas. “Sekarang pulanglah. Aku lelah.”
Arman perlahan berdiri, menatap Diva dengan penuh sesal. Ia tahu malam itu bukan sekadar pertengkaran. Itu adalah batas.
Ia berjalan pergi, meninggalkan teras. Dari balik jendela, Reza menghela napas berat. Diva masih duduk di sana, menatap ke kejauhan.
“Kak, aku baik-baik aja,” katanya pelan, tahu dua orang di dalam rumahnya ikut merasa perih.