Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terancam di usir
Santi berdiri tegak dengan tangan bersedekap, tatapannya tenang menghadapi Dewi yang sudah nyaris meledak karena emosi.
“Kenapa aku harus tutup warungku?” tanya Santi datar.
“Karena kamu curang!” sahut Dewi sengit.
Santi tersenyum kecil, tak terpancing. “Sebutkan di mana letak kecuranganku.”
Nada tenangnya justru membuat Dewi semakin kesal. Ia menunjuk ke arah Nabil yang sedang duduk tenang sambil membaca buku catatan kecil.
“Kamu jualan pakai belas kasihan. Anakmu itu, kamu jadikan alat menarik pelanggan!”
Santi mendongak, menatap Dewi dengan pandangan tajam. “Oh begitu ya? Padahal aku tahu siapa yang pertama kali menurunkan harga gorengan di komplek ini. Kamu, Dewi. Kamu yang menjual murah karena kamu punya modal dari suami yang kerja tetap. Sekarang coba periksa, siapa yang paling murah? Aku? Tidak. Gorengan di tempatku satu biji dua ribu. Di warung sebelah, lima ribu dapat tiga. Sedangkan kamu, satu gorengan cuma seribu lima ratus.”
Dewi terdiam. Ia tak menyangka selama ini justru warung Santi yang mematok harga tertinggi.
“Dan satu lagi,” lanjut Santi, nadanya mulai meninggi. “Anakku itu bukan cacat. Nabil itu anak luar biasa. Pelanggan datang bukan karena kasihan, tapi karena takjub. Nabil bisa menghitung dengan cepat, tak pernah salah, dan dia punya prinsip. Dia menolak semua pemberian cuma-cuma. Katanya, ‘uang karena kasihan tidak akan membuatku kuat.’ Bahkan aku pun tidak pernah minta bantuan siapa pun untuk biaya Nabil.”
Santi melangkah maju, tatapannya menusuk. “Aku tidak seperti kamu, Dewi. Ngantri bantuan raskin padahal motor kamu NMAX dan suami kamu kerja tetap. Malu nggak sih?”
“Berisik kamu, Santi!” teriak Dewi. “Kalau aku dapat bantuan, itu karena aku pandai. Bukan bodoh kayak kamu. Dan kalau anakmu itu pintar, harusnya sekolah! Bukan cuma duduk di warung kayak boneka!”
Santi tertawa sinis. “Hahaha… maaf ya. Justru karena Nabil terlalu pintar, tak ada sekolah negeri yang cocok buat dia. Standarnya terlalu rendah. Aku nggak mau anakku jadi tumpul karena sistem yang tak paham bakatnya.”
“Dasar miskin sok gaya!”
“Memang aku miskin. Tapi aku punya harga diri. Sementara kamu? Sudah kaya, tapi masih ngemis raskin. Malu, Bu Dewi.”
Suasana mulai riuh saat warga mulai mengerumuni pertengkaran mereka. Beberapa pedagang dan pelanggan ikut menonton.
Tiba-tiba suara berat menyela dari belakang.
“Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut?” tanya Harto, Ketua RT sekaligus pemilik ruko yang disewa Santi.
“Pas banget kamu datang, Pak RT,” sahut Dewi. “Aku minta kamu usir Santi dari rukonya. Dia sudah curang dalam berdagang!”
Harto mengangkat alis. “Curang bagaimana? Setahuku harga makanan Santi justru lebih mahal dari kamu.”
“Kamu pasti membela dia karena dia penyewa rukomu!” tuduh Dewi.
Harto menghela napas, lalu menatap Dewi serius. “Iya, benar, dia sewa rukoku. Tapi aku juga pelanggan. Dan sebagai pelanggan, aku bisa bilang, warung Santi bersih, makanannya enak, pelayanannya ramah. Heru, adik Santi, sering bantuin bawain belanjaan pembeli. Kamu sendiri? Jual murah tapi pelayanan buruk. Boleh ngutang, tapi kalau telat sehari, langsung kamu pajang di status WhatsApp.”
Beberapa warga tertawa kecil. Seorang pria tua maju ke depan sambil membawa lembaran uang.
“Ini hutang saya, Bu Dewi. Saya bayar lunas. Tapi mulai sekarang, saya nggak mau beli lagi di warungmu. Waktu itu saya benar-benar butuh dan tak punya uang. Tapi kamu… kamu jadikan itu bahan pamer. Kamu tolong orang tapi suka mengungkit-ungkit. Santi memang nggak bisa dihutangi, tapi dia tahu kapan harus memberi. Kalau orang benar-benar butuh, dia kasih tanpa mempermalukan.”
“Betul itu, Pak RT,” sambung seorang ibu muda. “Saya juga pernah lihat Nabil bagi-bagi nasi ke tukang becak. Dia nggak sombong, nggak pamer. Anaknya saja sudah tahu cara menghargai orang lain.”
Dewi tak bisa berkata apa-apa. Matanya berkeliling, tapi tak satu pun berpihak padanya. Ia merasa sendiri.
Dengan wajah merah padam, ia mengumpat pelan dan melangkah pergi, meninggalkan kerumunan.
Santi hanya menatap punggungnya dengan tatapan tenang, lalu mengusap kepala Nabil yang tetap duduk diam, tak memahami sepenuhnya kegaduhan yang terjadi karena dirinya.
Harto menepuk bahu Santi. “Sabar ya, Sant. Orang benar tak perlu membela diri, karena waktu dan perbuatan akan jadi saksinya.”
....
Warung Santi kembali ramai seperti biasa. Aroma gorengan hangat, nasi uduk, dan sambal kacang khas Santi menyebar ke penjuru gang, menarik langkah kaki siapa pun yang lewat. Heru, adik Santi, tampak sibuk melayani pembeli. Ia lincah mengambil pesanan, membungkus makanan, lalu menyodorkannya ke meja kasir.
Di sana, Nabil duduk serius. Bocah itu bertugas sebagai kasir kecil yang cekatan. Tangannya lincah menyusun uang kembalian, menghitung tanpa kalkulator. Pelanggan selalu terkesima melihat kecepatannya.
“Lima ribu, Bu. Kembaliannya dua ribu,” ucap Nabil, tangannya langsung menyodorkan uang pas. Tak ada satu pun yang keliru. Bahkan kalau pembeli lupa, justru Nabil yang mengingatkan.
Heru tersenyum bangga. Meski dirinya hanya lulusan SD dan malas membaca, ia tak pernah malu dengan kekurangannya. Ia lebih memilih diam, sebab bicara pun kadang membuatnya bingung. Tapi ia belajar dari Nabil—anak kecil yang jauh lebih pandai darinya.
“Menjadi akrab tak perlu banyak omong, cukup senyum dan mendengarkan,” begitu kata Nabil padanya suatu malam.
Dan sejak itu, Heru menjadikan senyum dan telinga sebagai senjatanya.
Kalau warung sepi, Heru duduk di depan, menyapa siapa saja yang lewat. Kalau ada ibu-ibu kesusahan membawa galon atau sayur dari pasar, Heru segera berdiri dan membantu, tak perlu diminta. Ia hanya mengangguk dan berkata, “Ya,” saat orang-orang berbicara. Kalau mereka bercerita soal masalah hidup, Heru hanya bilang, “Sabar saja, pasti ada jalan.” Dan kalau kabar bahagia datang, Heru akan menjawab sederhana, “Saya turut berbahagia.”
Tak ada basa-basi berlebihan, tapi orang-orang justru merasa nyaman di dekat Heru.
Sore pun tiba. Langit mulai temaram. Suasana warung mulai lengang. Tak ada keributan, tak ada sindiran seperti kemarin. Dewi juga tak tampak batang hidungnya.
Santi menghela napas lega. Hari ini berjalan dengan baik—dagangan laris, pelanggan puas, dan tak ada keributan. Ia berharap hari-hari ke depan tetap damai. Namun, hidup seringkali menyajikan kejutan yang tak diundang.
Heru yang biasanya ramah, tiba-tiba melotot. Wajahnya menegang. Santi langsung merasa ada yang tak beres. Dan benar saja, seseorang yang paling tak ingin ia lihat berdiri di hadapannya—Bayu, mantan suaminya. Di sampingnya, berdiri seorang perempuan dengan tatapan sinis dan nada angkuh: Sinta, mantan ibu mertuanya.
“Rupanya kamu di sini, Santi,” ucap Bayu dengan senyum mengejek.
“Kirain kamu jadi orang sukses setelah diceraikan Mas Bayu. Ternyata jadi tukang gorengan,” sambung Sinta dengan suara mencibir.
Santi tetap berdiri tenang. “Tidak ada urusan dengan kalian,” jawabnya singkat.
“Santi!” hardik Sinta, mencoba mengintimidasi.
“Apa? Nggak usah teriak-teriak. Aku nggak takut,” balas Santi dingin.
Sinta menajamkan pandangan. “Dengar ya, wanita pembawa sial. Sejak Bayu ceraikan kamu, hidup Bayu makin baik. Dia sekarang jadi karyawan tetap. Dan sebentar lagi dia akan menikah dengan manajer perusahaan ini. Kamu masih bisa ikut kok, asal kamu mau jadi istri kedua. Tapi tanpa Nabil! Anak cacat itu hanya akan mempermalukan nama keluarga kami!”
Santi mengepal tangan. Matanya menatap tajam. “Lebih baik aku mati daripada kembali pada keluarga iblis sepertimu!”
“Kurang ajar!” bentak Bayu. Tangan kanannya terangkat, siap menampar wajah Santi.
Tapi sebelum tamparan itu mendarat, Heru sigap menangkap tangan Bayu.
“Jangan sentuh Kakak saya!” ucap Heru dengan sorot mata marah.
Bayu terkejut dengan kekuatan Heru yang mencengkeram keras. Heru menatapnya tajam. “Kalau kalian cuma datang buat menghina, lebih baik pergi sekarang juga. Kakakku sudah cukup menderita karena kalian.”
Orang-orang mulai melirik. Beberapa pelanggan keluar dari warung, penasaran dengan keributan itu. Sinta mendesis kesal, menarik tangan Bayu. “Ayo, Bayu! Jangan bikin malu. Urus saja wanita rendahan ini lain kali.”
"Asal kamu tahu calon istriku manajer di perusahaan ini dan warung yang kamu tempati izinnya ada di calon istriku, kalau kamu tidak bersujud meminta maaf padaku maka akan kupastikan kamu akan tutup" ancam bayu
mantap sekali bu laras..😘😘😘
yukk lanjut thor