NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9: Tawaran Arka

"Beresin semua ini. Setelah itu, lo datang ke kamar gue. Jangan lama-lama!" Ucap nya sembari melangkah pergi, dia memberi perintah terakhir dengan nada penuh otoritas.

20:00 WIB

Raya duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut yang kini hanya menjadi pelarian rasa gelisahnya. Malam itu terasa begitu sunyi, namun di dalam pikirannya, gemuruh ketakutan dan kecemasan terus memekakkan telinganya. Ia berguling ke sana kemari di atas kasur empuk yang seharusnya memberikan kenyamanan, tetapi tidak mampu menenangkan hati dan pikirannya. Perintah Arka tadi terus terngiang, seolah menjadi ancaman yang menghantui setiap detiknya.

Kata-kata Arka “datang ke kamar gue” mengguncang batinnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi rasa takut itu sudah mencengkeramnya erat. Ditambah lagi, ucapan tentang dirinya yang "dibeli" dengan uang sepuluh juta. Bayangan harga dirinya yang direndahkan seperti itu membuat hatinya semakin remuk.

“Ibu... Ayah… benarkah kalau kalian menukar ku hanya dengan uang sepuluh juta? Apa salahku pada kalian? Kenapa kalian begitu tega? Sebegitu bencinya kalian padaku?” bisik Raya pelan, suaranya terdengar bergetar. Air mata yang tak henti mengalir mulai membuat wajahnya memerah.

Ia memutuskan turun dari ranjang, langkahnya berat tetapi penuh dengan keinginan untuk menenangkan hati. Ia menuju pintu balkon yang terbuat dari kaca tebal, membuka perlahan hingga udara dingin malam itu langsung menyambut kulitnya.

Angin malam terasa menusuk, membawa aroma basah pepohonan dari kejauhan. Tepat di hadapan balkon, hamparan hutan rimbun berdiri megah. Dari ketinggian ini, pohon-pohon itu terlihat seperti gelombang hijau yang gelap, diselimuti kabut tipis yang membuat pemandangan semakin memukau. Langit malam yang luas dihiasi bintang-bintang kecil berkelap-kelip, dengan bulan penuh yang bersinar terang, memberikan penerangan alami pada hutan yang tampak seperti lautan misteri.

Raya berdiri memandangi keindahan itu. Tangannya memegang pagar balkon, dan sesekali ia mengusap air mata yang belum juga berhenti. Keindahan malam itu terasa kontras dengan hatinya yang begitu kacau. Dalam situasi yang berbeda, mungkin ini akan menjadi momen yang menyenangkan baginya, tetapi malam ini, itu hanya menjadi pelarian dari realita yang pahit.

“Bagaimana nasibku ke depannya?, Apakah akan ada seseorang yang datang, seorang pangeran yang bisa menyelamatkanku dari semua ini? Membawaku pergi dan menjadikan aku berharga? Atau aku akan selamanya seperti ini, terjebak, terus tertunduk di bawah kuasa orang lain?,” bisik Raya pelan pada dirinya sendiri. Matanya menatap jauh ke arah bulan.

Air matanya jatuh lagi, membasahi pipinya yang sudah basah sejak tadi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan ketenangannya, tetapi rasa sakit di dadanya terlalu besar untuk diabaikan. Angin malam terus berhembus, membawa serta harapan kecil yang masih tersisa di hatinya. Pemandangan indah itu menjadi saksi bisu dari perjuangan batin Raya malam itu.

Tok… Tok… Tok…

Ketukan di pintu membuyarkan keasyikan Raya menikmati angin malam di balkon. Ia menoleh ke arah pintu dengan enggan, kemudian berjalan perlahan untuk membukanya.

“Ya?” ucap Raya, membuka pintu dan mendapati Ani berdiri di depan sana.

“Maaf mengganggu, Nona. Saya hanya ingin memberitahu bahwa Tuan memanggil Anda untuk datang ke kamarnya,” ujar Ani dengan sopan.

“Tolong tunjukkan kamarnya, Ani. Aku tidak tahu di mana itu,” Raya hanya mengangguk kecil, mencoba menahan ekspresi cemas yang mulai menyeruak di wajahnya.

“Dengan senang hati, Nona,” balas Ani, tersenyum tipis sebelum berbalik untuk menunjukkan jalan. Raya mengikuti langkah Ani, tanpa berkata apa-apa lagi.

Mereka berjalan melewati lorong rumah yang terasa begitu panjang dan sunyi. Dinding-dinding dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang terlihat mahal, tetapi tidak memberikan kesan ramah. Lampu-lampu di langit-langit lorong menyala sedikit redup, memberikan bayangan samar di lantai kayu yang dingin. Aroma lavender yang berasal dari pengharum ruangan menyatu dengan keheningan malam, membuat suasana terasa semakin menekan.

Akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu yang tampak berbeda dari pintu-pintu lain di rumah itu. Pintu tersebut berwarna hitam pekat, dengan pegangan logam berwarna perak yang mengilap. Ukurannya lebih besar dari pintu-pintu lainnya, seolah memberi kesan bahwa ruangan di baliknya memiliki kekuasaan tersendiri.

“Silakan, Nona. Saya pamit undur diri,” ucap Ani sambil membungkukkan badan sedikit sebelum melangkah pergi meninggalkan Raya sendirian di depan pintu itu.

Raya berdiri diam, mematung. Tangannya enggan bergerak untuk mengetuk, sementara pikirannya terus dipenuhi rasa takut dan berbagai kemungkinan buruk. Namun, lamunannya terhenti ketika suara dari dalam ruangan tiba-tiba terdengar.

“Lo bukan patung, kan cepet masuk!?” Suara Arka yang tegas dan dingin langsung menusuk gendang telinganya.

Raya menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka pintu tersebut perlahan dan melangkah masuk. Setiap langkahnya terasa berat, seiring detak jantungnya yang semakin kencang.

Nuansa pertama yang menyambutnya adalah luasnya kamar itu. Ruangan ini lebih besar dari yang ia bayangkan, hampir seukuran dua kamar normal. Dindingnya dicat abu-abu gelap, memberikan kesan dingin dan maskulin. Di sisi kanan, ada pintu kaca besar yang langsung menghadap ke pemandangan hutan lebat di luar sana. Cahaya bulan yang memantul masuk melalui kaca memberikan kesan dramatis, menerangi sebagian ruangan yang tampak remang-remang.

Pandangan Raya beralih ke sisi kiri, di mana ia melihat Arka duduk di atas sofa besar berwarna hitam. Ia tampak santai, memainkan ponselnya dengan ekspresi datar seperti biasa. Di samping sofa itu, terdapat rak buku tinggi yang hampir mencapai langit-langit kamar. Buku-buku di rak tersebut disusun rapi berdasarkan gradasi warna, menciptakan kesan elegan namun sangat perfeksionis.

Meja di depan sofa tampak minimalis, hanya dihiasi dengan sebuah laptop dan gelas berisi minuman berwarna gelap—kemungkinan kopi atau anggur. Tidak jauh dari sana, ada tempat tidur besar dengan seprai hitam pekat dan bantal-bantal putih yang kontras. Tempat tidur itu terlihat sangat nyaman, tetapi kehadirannya justru membuat Raya merasa semakin cemas.

Lampu-lampu di kamar itu sengaja diatur redup, menciptakan bayangan samar di sudut-sudut ruangan. Suasana ini memberikan kesan misterius sekaligus membuat siapapun yang masuk merasa kecil di hadapan pemiliknya.

"Kemari. Kenapa lo diem aja?" Suara Arka memecah keheningan. Nadanya datar tapi penuh otoritas, membuat Raya seketika tersentak. Raya melangkah perlahan ke arah Arka, lalu berhenti tepat di depannya. Dia berdiri kaku tanpa sepatah kata pun, takut mengatakan sesuatu yang bisa memperburuk suasana.

"Lo tau kenapa gue panggil lo ke sini?" tanya Arka, menatapnya tajam. Raya menggeleng pelan.

"Tidak," jawabnya singkat, hampir seperti bisikan. Arka menyandarkan punggungnya di sofa, menatap Raya dengan tatapan penuh arti.

"Gue butuh bantuan lo," katanya, datar tapi penuh tekanan.

"Bantuan? Bantuan apa, Kak?" Raya akhirnya bersuara, meskipun nada suaranya ragu-ragu.

"Keluarga gue bakal pulang dari Amerika dua minggu lagi. Mereka udah nyiapin cewek buat dijodohin sama gue. Tapi gue nggak suka pernikahan." Dia menatap Raya lebih tajam.

" Lalu ? " Tanya Raya yang masih belum paham dengan ucapan Arka.

"Jadi, gue butuh lo pura-pura jadi pacar gue, " ujar Arka lagi. Raya menatapnya dengan mata melebar.

"Apa? Tapi Kak..."

"Gue nggak mau dengar penolakan. Lo mau gue tambah hukumannya, hah?" Arka memotong cepat. Nada suaranya terdengar tajam, membuat Raya menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis.

"Maaf, Kak... Aku lebih baik dihukum yang lain daripada harus membohongi orang lain." Setelah beberapa saat, Raya akhirnya berkata pelan.

"Lo serius? Gue kasih lo kesempatan emas, tapi lo lebih milih disuruh kerja? Wanita aneh, "Arka tertawa keras, tawa yang terdengar mengejek. Raya tetap diam, menunduk, tak ingin memperpanjang pembicaraan.

"Baiklah. Itu pilihan lo, sekarang keluar dari kamar gue. Bersihin kolam renang di belakang, dan isi lagi airnya sampai penuh. Lo paham?!," ujar Arka akhirnya. Dia menyilangkan tangannya di dada, berharap dengan perintah itu Raya mau berubah pikiran. Raya terdiam, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sedih. Akhirnya, dia hanya mengangguk.

"Jawab, dong! Gue nggak bisa baca pikiran lo." Ujarnya dengan nada sombong nya .

"Akan aku kerjakan," jawab Raya pelan, hampir tak terdengar. Dia membalikkan badan dan berjalan menuju pintu, mencoba menahan tangis yang hampir pecah. Ketika tangan Raya memegang kenop pintu, Arka bersuara lagi.

"Lo tau nggak? Lo lebih milih jadi pembantu gue daripada jadi pacar pura-pura. Gue nggak yakin lo waras," Dia berbicara lebih pelan, tapi penuh sindiran.

Raya berhenti sejenak, tetapi tak berbalik. Dia tahu kalau dia bicara lebih jauh, itu hanya akan memperburuk keadaan. Dengan cepat, dia membuka pintu dan pergi, meninggalkan kamar itu tanpa sepatah kata. Arka mendengus, lalu bersandar di sofa, memandang pintu yang baru saja tertutup.

"Wanita bodoh. Gue rasa otaknya nggak bener. Siapa juga yang mau nolak kesempatan buat dekat sama gue?" Dia bergumam sambil menggelengkan kepala.

Ruangan kembali sunyi. Cahaya remang-remang dari lampu hias menciptakan bayangan panjang di dinding abu-abu gelap. Kamar itu terasa dingin, seolah mencerminkan hati Arka yang keras dan penuh ego.

Raya berjalan pelan menuju ke halaman samping, tempat kolam renang yang begitu luas dan terbentang di bawah cahaya remang-remang malam. Suara ombak kecil dari air kolam yang bergoyang pelan terdengar menenangkan, namun Raya tahu, ia harus segera menyelesaikan tugas yang diberikan Arka. Sebelum menuju ke kolam, ia memutuskan untuk pergi ke halaman depan untuk mencari barang-barang yang dibutuhkan untuk membersihkan kolam tersebut.

"Permisi!!" ujar Raya dengan suara pelan, saat ia melihat beberapa orang yang sedang berkumpul di halaman depan villa. Di antara mereka, terlihat Ani dan Asih, sementara empat pria lainnya yang berdiri di sana tampaknya adalah penjaga villa atau satpam yang tidak dikenal Raya. Mereka terlihat tengah mengobrol bersama, menikmati waktu luang mereka malam itu .

"Ehhh... Iya, non?" tanya Ani, sedikit terkejut dengan kedatangan Raya yang tampak sedikit kebingungan.

"Ani, aku sedang mencari alat-alat untuk membersihkan kolam renang. Bisa kah kamu bantu aku mencari?" ujar Raya dengan nada lembut.

Semua orang yang ada di sana saling berpandangan, terkejut dengan permintaan Raya. Sudah hampir pukul sembilan malam, dan meminta untuk membersihkan kolam renang pada jam segini tentu saja membuat mereka bingung dan khawatir.

"Nona, ini sudah malam. Untuk apa Anda membersihkan kolam tengah malam begini? Lagi pula, biarkan saja kami yang membersihkan besok pagi," ujar Asih, yang tampak khawatir.

"Iya, non, ini sudah malam. Anda akan kedinginan jika melakukan itu sekarang," timpal Ani, suara penuh kekhawatiran.

"Tidak apa-apa! Tolong tunjukkan saja di mana alatnya," ujar Raya dengan tekad yang bulat. Ia merasa tak punya pilihan lain selain mengikuti perintah Arka.

"Nona, jangan lakukan itu sekarang! Kami takut Anda akan masuk angin, ditambah kolam itu sangat luas. Biarkan Asih dan Ani yang melakukannya besok," seorang pria berumur, yang Raya perkirakan adalah salah satu penjaga rumah, ikut berbicara dengan nada lembut.

"Maafkan aku, tapi aku harus melakukannya sekarang!" jawab Raya, tegas. Tiba-tiba, suara yang sangat keras dan penuh kekuasaan terdengar di belakangnya.

"CEPAT BERIKAN SAJA, APA KALIAN SEBODOH ITU SAMPAI TIDAK PAHAM DENGAN UCAPANNYA!!" teriak Arka dengan nada marah yang menggema di seluruh halaman.

Semua orang yang ada di sana langsung terdiam, terkejut dengan kemarahan Arka yang begitu tiba-tiba. Wajah mereka berubah cemas, takut dengan reaksi selanjutnya. Arka sudah ada di sana, berdiri dengan postur tegap, matanya tajam dan penuh amarah. Aura ketegangan yang menyelimuti seketika, membuat mereka tak berani berbicara lagi.

Raya hanya bisa terdiam, merasa gelisah. Namun ia tetap memegangi tekadnya untuk memenuhi perintah Arka, meskipun terpaksa.

"Jangan buang waktu, lakukan saja! Apa susahnya tinggal berikan barang yang dia cari, itu saja harus berkelit- belit," ujar Arka, mengarahkan pandangannya ke Raya, seolah tak ada tempat bagi penolakan.

Semua orang yang ada di sana, termasuk Ani dan Asih, hanya bisa menundukkan kepala, tak berani untuk membantah atau melawan. Sementara Arka, dengan sikap dominannya, berbalik dan melangkah pergi tanpa menghiraukan reaksi mereka. Kepergiannya hanya meninggalkan rasa cemas dan ketidakberdayaan di antara orang-orang yang ada di sana.

"Ba..baik, Tuan," ujar Asih dengan suara gemetar, berjalan menunduk sambil mengambil alat-alat yang Raya minta. Wajahnya terlihat cemas, dan langkahnya tampak terburu-buru, seperti takut jika Arka memerintah lagi.

"Dan Lo ikut gue!!" Arka berseru dengan nada tajam sambil melangkah lebih dulu meninggalkan kerumunan orang yang ada di sana.

Raya hanya bisa menunduk dan berjalan mengikutinya dari belakang. Langkahnya terasa berat, seolah-olah semua energi dan semangat yang ia miliki menguap begitu saja setiap kali berhadapan dengan Arka. Dia sudah kelelahan, tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Pertama, ia tidak ingin mengecewakan keluarga Arka, dan yang kedua, ia merasa tak ingin terlalu terseret jauh dalam dunia orang kaya yang semakin rumit.

"Cepat kosongkan airnya, dan ingat, gue mantau semua yang Lo lakuin! Jadi Lo harus ingat kalau Lo dilarang bicara dengan siapapun tanpa izin gue! PAHAM LO?!" Arka menatap tajam ke arah Raya, suaranya serak karena amarah yang memuncak.

Raya hanya bisa mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata. Ketakutan dan kebingungan bercampur menjadi satu.

"Maaf, Nona ini..." Ujar Asih yang datang dengan membawa alat yang Raya butuhkan, sedikit ragu, dan tangannya tergetar saat menyerahkan benda itu. Arka mengalihkan pandangannya, menatap Asih dengan tatapan penuh amarah.

"Kamu sudah berani ya, Asih? Membantah perintah saya? Kamu sudah bosan kerja dengan saya? Silakan pergi! Sudah saya bilang jangan pernah bicara dengan dia, tapi kalian masih saja ngeyel! SEKALI LAGI SAYA PERINGATKAN, JANGAN PERNAH BICARA, ATAUPUN MEMBANTU WANITA INI! Kau paham tidak, Asih?!" Suara Arka meninggi, dan wajahnya memerah karena marah. Keringat mulai tampak di pelipisnya, menunjukkan betapa ia berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak. Raya yang melihat hal itu tidak bisa tinggal diam.

"Kenapa kakak marah-marah pada Asih? Aku yang bertanya pada mereka, bukan mereka yang bertanya padaku!" Suaranya bergetar, tidak tahan melihat Asih dihukum hanya karena niat baiknya untuk membantu.

"Shut your mouth, Raya! I don't give you permission to talk!!" Arka membentak, membuat udara terasa semakin tegang. Raya yang mendengarnya hanya bisa menundukkan kepala, semakin tenggelam dalam rasa takut dan frustrasi.

"Maafkan kami, Tuan, saya tidak akan mengulangi lagi," ujar Asih dengan suara teredam, menunduk dalam-dalam. Meskipun hatinya merasa bersalah pada Raya, tapi dia juga tidak berani membantah perintah Arka.

"Pergi dari sini! Jangan coba-coba membantunya lagi!!" Arka berseru dengan keras, dan Asih langsung menunduk lebih dalam, menyusun langkah mundur dengan cepat.

"Tunggu apalagi? Cepat lakukan, bodoh!!" Arka berteriak, suaranya keras dan penuh amarah. Dia menendang alat-alat yang masih tergeletak di lantai, membuat benda-benda itu berserakan di depan Raya.

Raya menundukkan kepalanya, menahan air mata yang hampir tumpah. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya bergegas mengambil sikat lantai dan alat-alat lainnya yang dia butuhkan untuk membersihkan kolam renang tersebut. Pikirannya terus berputar, semakin cepat dia mengerjakannya, semakin cepat pula dia bisa keluar dari situasi ini.

Dengan langkah lambat namun penuh tekad, Raya mulai melaksanakan perintah Arka. Dia menguras air kolam, menyikat lantai yang kotor, dan membersihkan seluruh bagian dasar kolam. Rasanya, tubuhnya sudah tak sanggup lagi menahan lelah. Badannya basah kuyup, bukan hanya karena air kolam, tetapi juga karena keringat yang bercampur dengan keputusasaan.

"Akhhhh... Jam berapa ini? Kenapa anginnya begitu dingin?" Raya mengeluh pelan, kemudian mendudukkan tubuhnya di sisi kolam. Matanya menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, dan bibir mungilnya tersenyum kecil. Namun, senyuman itu hanya sementara, karena matanya mulai memerah, air mata pun menetes perlahan.

"Begitu indah..." Raya berbisik, bibirnya tetap tersenyum meskipun matanya terlihat penuh dengan kesedihan.

Setelah beberapa saat merenung, dia kembali menyadari tugasnya belum selesai. Raya melanjutkan pekerjaannya dengan membersihkan busa sabun yang masih tersisa di lantai kolam. Tubuhnya terasa semakin berat, namun dia berusaha keras untuk menuntaskan pekerjaan ini secepat mungkin.

"Akhirnya selesai juga!!" Raya berteriak kecil, merasa lega setelah berhasil membersihkan seluruh kolam. Dia segera naik dan mulai mengisi kolam itu kembali dengan air, meskipun tubuhnya sudah lelah dan kedinginan.

Di dalam kamar, Arka masih berdiri di dekat jendela, dengan gelas berkaki di tangannya. Gelas kristal itu berisi minuman beralkohol yang sudah sedikit berkurang, mengeluarkan bau tajam yang mencuri perhatian indra penciumannya. Dia memegang gelas itu dengan santai, namun jari-jarinya yang menggenggamnya tampak tegang, seolah-olah minuman itu bukan sekadar pelepas dahaga, tetapi juga alat untuk menenangkan pikirannya yang kacau.

Pandangan Arka terfokus pada Raya yang masih bekerja keras di bawah sana. Matanya yang tajam mengikuti setiap gerakan wanita itu, namun ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ada perasaan yang tidak bisa dia jelaskan, seperti potongan kenangan yang tersembunyi jauh di dalam benaknya. Sejak pertama kali bertemu Raya, ada rasa yang tak bisa dia pahami, seakan-akan dia sudah pernah bertemu wanita ini sebelumnya. Namun, ia tidak bisa mengingat kapan atau di mana.

"Kenapa aku selalu menyesal setelah melakukan itu pada wanita ini?" Arka berpikir, gelas di tangannya sedikit bergetar karena perasaan yang semakin mengusik "Kenapa rasanya aku pernah bertemu dengannya? Tapi kapan dan di mana?" Batinnya bergejolak, penuh kebingungannya. Pandangannya semakin kabur, seperti ada kenangan yang terhapus begitu saja, dan dia tak bisa menemukan jawaban yang jelas.

Gelasnya berputar perlahan, Arka memandang minumannya untuk beberapa saat sebelum meneguknya dalam-dalam. Rasanya yang pahit seolah ingin membakar seluruh kebingungannya, namun tetap saja, perasaan yang mengganggu itu tetap ada.

Drtttttttt... Drtttttttt... Drtttttttt...

Suara deringan ponselnya memecah lamunan. Arka mengalihkan pandangannya dari Raya dan mengambil ponsel yang tergeletak di meja sampingnya. Tangan yang tadinya memegang gelas kini terulur ke arah ponsel.

"Hallo!" Ucapnya, suaranya tetap tegas, namun ada kesan terburu-buru.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!