"Kenapa aku bisa di sini? Kenapa aku tak memakai baju?"
Alicia Putri Pramudya begitu kaget ketika mengetahui dirinya dalam keadaan polos, di sampingnya ada pria yang sangat dia kenal, Hafis. Pria yang pernah menyatakan cinta kepada dirinya tetapi dia tolak.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Alicia Putri Pramudya?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih ulasan bagus dan kasih bintang 5 untuk yang suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kangen
Cia merasa bosan juga karena sudah dua minggu dia tidak bertemu dengan Anjar, pria itu benar-benar membuktikan ucapannya untuk tidak bertemu dengan dirinya.
Padahal, dia begitu merindukan pria itu. Namun, Cia hanya bisa melepas rindu dengan melakukan panggilan video call dan juga mengirimkan pesan chat saja.
Ingin sekali rasanya dia bertemu dan memeluk Anjar, tapi dia juga merasa malu. Dia seorang perempuan, masa iya dia harus mendatangi Anjar terlebih dahulu.
Terlebih lagi dia hanya seorang janda, takutnya nanti malah ada orang yang mengatakan kalau dia adalah seorang janda gatal.
"Kangen, pengen ketemu. Tapi gak bisa, apa video call aja ya?"
Baru saja dia berpikir untuk melakukan panggilan video call, tetapi ternyata sudah ada panggilan video call dan pelakunya adalah Anjar.
"Anjar, udah dua minggu kita nggak ketemu. Sumpah, kangen banget!" keluh Cia saat dia sudah mengangkat panggilan video call itu.
Anjar tertawa kecil mendengar apa yang dikatakan oleh Cia, terlebih lagi saat melihat wajah Cia yang seperti sedang menahan rindu kepada dirinya.
Cia tidak tahu saja kalau dia juga begitu merindukan wanita itu, tetapi dia tidak berani menemui Cia karena takut tak ingin pulang.
"Sabar ya, Sayang. Aku juga rindu, tapi harus bisa nahan. Biar nanti malam pengantin bisa langsung tancep," jawab Anjar dari layar lainnya.
Anjar tersenyum-senyum membayangkan hari pernikahannya, dia juga tersenyum-senyum ketika membayangkan malam pengantinnya.
"Langsung tancep gimana maksudnya?" tanya Cia.
"Ada deh, sun jauh dong Yang. Kangen banget," ujar Anjar.
"Gak mau, nanti aja kalau udah sah. Biar bisa langsung nempel," jawab Cia.
"Duh! Jadi gak sabar," ujar Anjar sambil menatap bibir Cia.
Rasanya dia sudah tak sabar ingin mencicipi bibir itu, dia tak sabar ingin menyesap bibir itu. Tak lama kemudian dia malah membayangkan kalau bibirnya bisa menyesap yang lainnya.
"Kamu kenapa? Kok mukanya merah gitu?" tanya Cia.
Anjar tersentak mendengar pertanyaan dari Cia, dia langsung menunduk dan memperhatikan sesuatu yang bangun di sana. Mengembang dan sulit untuk dikempeskan kembali.
"Duh, ada yang bangun lagi."
"Siapa?" tanya Cia heran. Karena saat dia perhatikan di dalam kamar Anjar tidak ada siapa-siapa.
"Nina, dia bangun. Kedengeran di luar berisik, udah dulu ya, Sayang. Aku mau nemuin Nina," ujar Anjar yang langsung memutuskan panggilan video call-nya.
"Aneh," ujar Cia sambil mantap layar ponselnya yang sudah menghitam.
Cia menatap layar ponselnya, matanya berat, tangannya enggan meletakkan perangkat itu meski video call dengan Anjar telah usai. Kerinduan yang masih mendera tak juga pudar. Dia menarik napas panjang, rasa hampa menggelayuti.
"Nggak cukup," gumamnya lirih sambil menggenggam erat ponselnya.
Dengan rasa yang campur aduk, dia memutuskan untuk keluar malam ini. Melangkah dengan hati yang masih terasa gersang, ia ingin menjauh, mencari sesuatu di malam hari untuk mengisi kekosongan yang tak kunjung terisi.
"Berhenti di sini aja kali ya?"
Cia memberhentikan mobilnya di alun-alun kota, lalu Cia berjalan menyusuri jalanan sambil menelan ludah, mata terpaku pada gerobak makanan yang bertaburan di sisi jalan.
Saat wangi sate ayam tercium, sejenak dia lupa pada rasa rindu yang mendera hatinya kepada Anjar. Ia meraih sebuah tusuk sate, menggigitnya dengan tak sabar.
"Lumayan untuk mengalihkan duka," gumamnya, meskipun sadar bahwa makanan tersebut tidaklah sehat karena kandungan MSG-nya yang tinggi.
Dia membeli banyak makanan di sana, mulai dari sate, telur gulung, sampai tahu bulat dan juga es cendol.
"Eh? Bukannya itu Hafis?"
Cia berniat untuk pulang karena perutnya sudah kenyang, tetapi dia malah melihat Hafis yang sedang menggendong Willi di dekat parkiran. Cia melihat kalau pria itu begitu kerepotan, Cia dengan cepat menghampiri Hafis dan bertanya kepada pria itu.
"Fis, elu lagi ngapain di sini?"
Walaupun pria itu sempat membuat hatinya sakit, walaupun pria itu sempat membuat hidupnya merasa terpuruk, tetapi Cia tidak benci. Dia justru merasa kasihan terhadap pria itu.
Dia sudah tahu kalau Hafis ditinggalkan oleh Naomi, pria itu bahkan harus mengurus anak yang bukan darah dagingnya. Namun, satu hal yang membuat Cia kagum kepada pria itu, Hafis mau mencurahkan kasih sayangnya untuk anak yang bukan darah dagingnya sendiri.
"Loh, Cia. Aku sedang membawa anakku main, kamu di sini juga?"
"He'em, abis jajan. Tapi, itu anak kamu kok kaya gak sehat gitu?"
Badan Willi terlihat lemas, wajahnya juga terlihat memerah. Agak pucat dan anak itu seperti tidak bersemangat.
"Oh, dia habis sakit. Ini minta jajan katanya, padahal masih lemes."
"Harusnya kalau baru sembuh jangan diajak angin-anginan dulu, takutnya nanti dia malah demam lagi."
"Dia nggak ngerti, aku bingung nenanginnya."
Cia mencoba untuk menggendong Willi, anak itu ternyata dengan mudahnya mau digendong oleh Cia dan memeluk wanita itu erat sekali.
"Willi anak baik kan, ya?"
"Emm," jawabnya dengan suara lirih.
"Kalau gitu Willi pulang aja, istirahat sampai sembuh banget. Nanti kalau udah sembuh banget baru boleh main, boleh jajan."
"Tapi Willi pengen jalan-jalan," jawab Willi dengan suaranya yang menggemaskan.
"Mau cari jajanan apa?" tanya Cia penasaran.
"Willi bukan mau cari jajanan, Willi mau cari ibu. Kasian Ayah urus Willi sendirian, teman Willi semuanya punya ibu. Jadi, kalau Ayah repot, ada Ibu yang ngurus Willi."
Hafis kaget sekali mendengar apa yang dikatakan oleh Willi, dia juga merasa sedih karena memang tidak bisa menghadirkan sosok ibu untuk anak itu.
Hafis merasa trauma dengan pernikahan, karena Naomi meninggalkan dirinya begitu saja. Padahal, dia sampai merencanakan hal jahat untuk bisa bersama dengan wanita itu.
Cia juga begitu kaget mendengar apa yang dikatakan anak kecil itu, sepertinya anak itu memang begitu merindukan sosok ibu yang bisa menyayanginya.
"Willi gak usah cari ibu, mungkin nanti Ayah akan mencarikan Ibu untuk Willi."
"Gitu ya?" ujar Willi dengan tak yakin.
"Kenapa?" tanya Cia.
"Nggak apa-apa, oiya, Tante. Boleh Willi tanya?"
"Tanya aja," jawab Cia.
"Tante cantik, Tante juga sangat baik. Bagaimana kalau Tante saja yang menjadi ibunya Willi?"
"Hah?" tanya Cia kaget.