Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhatan Grace
Pagi itu, suasana di ruang makan terasa canggung. Meja panjang yang penuh dengan hidangan lezat tak mampu mencairkan kebekuan di antara mereka. Alex duduk di ujung meja, menundukkan kepala, menyendok sarapannya dalam diam.
Ibunya, yang duduk di seberangnya, berusaha menciptakan suasana hangat. "Kamu belum coba omelet ini, Alex. Ini favoritmu, kan?" suaranya lembut, penuh harap.
Namun, Alex hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada piringnya. Ia mengunyah cepat, ingin segera menyelesaikan makanannya tanpa harus terjebak dalam obrolan yang tak diinginkannya.
Ayahnya duduk tegak, menyesap kopi tanpa banyak bicara, tapi tatapannya tajam, mengawasi putranya yang terus menghindari pembicaraan tentang perjodohan dengan Grace.
Dalam hitungan menit, Alex menyelesaikan sarapannya. Ia menaruh sendok dan garpu dengan sedikit suara, lalu bangkit. "Aku ada urusan," katanya singkat sebelum melangkah pergi, meninggalkan keheningan yang lebih dalam di rumah mewah itu.
_____
Sesampainya di kantor, Alex langsung menuju ruangannya. Ia melepas jas, meletakkan tas di meja, lalu menghubungi William.
"William, bisa ke sini sebentar?"
Tak butuh waktu lama, William masuk dengan tablet di tangannya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Alex mengusap wajahnya, masih terbebani oleh suasana pagi tadi di rumah. "Ada jadwal penting hari ini?" tanyanya tanpa basa-basi.
William mengecek jadwal. "Hanya beberapa rapat internal, tapi tidak ada yang mendesak. Jika perlu, bisa saya atur ulang."
Alex mengangguk. "Baik, kalau begitu aku akan keluar sebentar. Jika ada hal mendesak, hubungi aku."
Begitu keluar dari kantor, Alex langsung masuk ke mobilnya. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Edward, berharap temannya saat ini tidak sibuk.
"Halo, Ed?"
"Alex! Tumben nelpon. Ada apa?"
"Kau di rumah?"
"Kebetulan iya. Ada apa?"
"Aku mau main ke tempatmu, apa aku tidak mengganggumu sekarang."
"Ok, buatmu pintu rumahku selalu terbuka, bro."
"Tapi aku nggak tahu alamatnya."
Edward tertawa kecil. "Baiklah, catat. Aku di Country Road Everton. Dekat dengan Everton Park. Kau bisa pakai GPS, nanti kalau nyasar kasih tahu aku."
"Baik, aku segera ke sana," ujar Alex sebelum mengakhiri panggilan.
Ia memasukkan alamat itu ke GPS, menyalakan mesin mobil, dan melaju menuju rumah Edward.
_____
Mobil hitam Alex berhenti di depan rumah Edward. Dari jendela kamar, Bella sudah melihat kedatangannya. Hatinya berdebar kencang. Ini pertama kalinya Alex datang ke rumah mereka. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia berpakaian lebih rapi? Atau mungkin menyapanya dengan senyuman ramah?
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara bel berbunyi. Bella tersentak. Ia buru-buru merapikan rambutnya, mengatur napas, lalu berjalan ke pintu.
Saat pintu terbuka, tatapan mereka bertemu. Alex berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai namun tetap berwibawa. Bella berusaha menenangkan dirinya, berharap wajahnya tidak menunjukkan betapa gugupnya ia.
"Hai Bella, Edward ada?" tanya Alex langsung.
Bella mengangguk cepat. "Dia di ruang tengah, lagi latihan musik," jawabnya, suaranya sedikit bergetar.
Dari dalam rumah, suara Edward terdengar. "Masuk saja, Alex! Aku di sini!" serunya.
Alex mengangguk singkat kepada Bella, lalu melangkah masuk. Bella menutup pintu, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdetak tak karuan.
Alex melangkah masuk ke ruang tengah dan langsung terkejut. Ternyata bukan hanya Edward yang ada di sana, tetapi juga seorang pria lain.
"Oh, kenalkan, ini Paul," kata Edward santai. "Dia juga tinggal di sini dan bagian dari band."
Alex menjabat tangan Paul. "Senang bertemu denganmu."
Setelah perkenalan singkat, Alex memperhatikan ruangan itu. Alat musik berserakan, gitar listrik di sudut, keyboard di meja kecil, dan beberapa lembar partitur di lantai. Ia mengernyit. "Kenapa kalian latihan di sini? Kenapa nggak di studio?"
Edward tertawa. "Mana mungkin kami mampu menyewa studio? Apalagi punya studio sendiri," katanya dengan nada bercanda.
Alex menyandarkan tubuhnya di sofa. "Kalau kalian latihan di sini terus, bisa mengganggu tetangga."
Edward mengangkat bahu. "Yah, aku sudah kebal dengan omongan mereka. Mau bagaimana lagi?"
Alex berpikir sejenak, lalu berkata, "Bagaimana kalau aku membantu kalian mendapatkan tempat latihan yang layak? Aku punya kenalan yang bisa membantu mengatur studio untuk kalian."
Edward langsung menggeleng. "Ah, nggak usah, Alex. Aku nggak mau merepotkanmu."
"Tapi aku mau membantu," kata Alex tegas. "Aku akan atur semuanya."
Sementara mereka berbincang, Bella mendengar percakapan mereka dari dapur. Sambil mendengarkan, ia menyiapkan sarapan pancake dengan sirup maple, daging asap renyah, scrambled eggs, dan secangkir kopi hitam.
Setelah semua siap, Bella membawa nampan berisi sarapan dan menghampiri mereka. "Kalian pasti belum makan. Aku buatkan sarapan," katanya sambil tersenyum.
Paul langsung mengambil piring, "Wah, terima kasih, Bella! Aku lapar banget."
Namun, Alex mengangkat tangannya, menolak dengan halus. "Aku sudah sarapan tadi. Terima kasih, Bella."
Bella hanya mengangguk, sedikit kecewa tapi tetap berusaha tersenyum.
Di ruang tengah, Edward dan Paul mulai memainkan lagu, sementara Alex mengambil gitar yang tergeletak di sofa dan ikut bergabung. Suasana begitu menyenangkan, sampai-sampai Alex benar-benar lupa tentang masalahnya sendiri, tentang perjodohan, tentang tekanan dari keluarganya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa bebas.
Saat suasana sedang asyik dengan alunan musik, tiba-tiba suara dering telepon menginterupsi. Alex melihat layar ponselnya—William. Ia menghela napas, lalu bangkit dan berjalan menjauh dari mereka, mencari tempat yang lebih tenang. Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke dekat kamar Bella.
"Ya, William, ada apa?" tanya Alex setelah mengangkat telepon.
Dari seberang, suara asistennya terdengar. "Bos, nona Grace datang ke kantor. Dia ingin bertemu dengan Anda. Katanya, dia membawa oleh-oleh dari Italia yang belum sempat dia berikan untuk ibu Anda."
Alex menutup matanya sesaat, merasakan kejengkelan yang muncul di dalam dirinya. Lagi-lagi wanita itu muncul dalam hidupnya tanpa ia kehendaki. Rasanya seperti belenggu yang semakin mengikat erat.
Dengan nada sedikit tinggi, ia menjawab, "William, kasihkan saja langsung ke ibuku. Aku nggak perlu bertemu dengannya."
"Tapi, Bos.."
"Sudah, lakukan saja," potong Alex cepat, lalu langsung mematikan panggilan.
Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, tanpa ia sadari, Bella yang berada di dalam kamarnya bisa mendengar percakapannya. Ia hanya diam di balik pintu, bertanya-tanya siapa Grace sebenarnya dalam hidup Alex.
*****
Siang itu, Grace datang ke rumah keluarga Alex dengan sebuah kotak berisi oleh-oleh dari Italia. Ia disambut hangat oleh Ibu Alex, yang selalu terlihat anggun dan tenang dalam setiap keadaan.
"Ah, Grace, sayang, masuklah." Ibu Alex tersenyum ramah sambil menyambutnya di ruang tamu yang luas dan elegan. "Bagaimana perjalananmu ke sini? Capek?"
Grace menggeleng pelan, mencoba tersenyum. "Tidak, Tante. Aku malah senang bisa datang ke sini lagi."
Mereka duduk di sofa, dan pelayan segera datang membawa teh hangat serta camilan kecil. Grace meletakkan kotak oleh-oleh di meja.
"Ini sedikit oleh-oleh dari Italia, Tante. Aku harap Tante suka," katanya sambil mendorong kotak itu mendekat.
Ibu Alex tersenyum lembut. "Kau memang anak yang baik, Grace. Terima kasih. Tapi... sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu?"
Mendengar pertanyaan itu, senyuman Grace perlahan memudar. Matanya berkaca-kaca, dan ia menundukkan kepala.
"Tante... aku tidak tahu harus bagaimana lagi," suaranya terdengar sedikit bergetar. "Aku sudah mencoba menemui Alex di kantornya tadi, tapi dia tidak ada. Aku meninggalkan pesan lewat asistennya, tapi...dia menolakku lagi. Dia bahkan tidak mau menerima teleponku."
Ibu Alex menatapnya dengan penuh simpati.
Grace menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan dengan suara pelan, "Aku tahu mungkin ini terlalu cepat baginya. Aku juga tahu dia tidak terbiasa dengan perjodohan ini. Tapi...aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dekat, Tante. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tulus."
Air mata akhirnya jatuh di pipinya. Ia segera menyekanya, merasa malu karena menangis di hadapan Ibu Alex.
Ibu Alex meraih tangan Grace dengan lembut, menggenggamnya erat. "Sayang, jangan menangis. Aku mengerti perasaanmu."
Grace menatapnya dengan mata penuh harapan. "Tante... apa aku masih punya kesempatan?"
Ibu Alex mengusap tangannya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Grace. Alex hanya butuh waktu untuk menerima semuanya. Aku akan bicara dengannya. Percayalah, dia bukan pria yang tidak punya hati."
Grace mengangguk pelan. "Terima kasih, Tante. Aku hanya ingin dia memberiku kesempatan."
Ibu Alex tersenyum penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia sudah memutuskan apapun yang terjadi, ia akan membujuk Alex.
Karena baginya, Grace adalah calon yang sempurna untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.