"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Planning
Aroma kopi menusuk hidung Acha ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di kafe itu. Tanpa berlama-lama, ia, Serra, dan Maya langsung mencari tempat di paling pojok—spot favorit mereka untuk menghindari orang berlalu-lalang. Setelah pesanan mereka datang, barulah mereka membuka laptop kemudian sibuk dengan urusan masing-masing.
Dua minggu sekali, biasanya mereka berkunjung ke kafe setelah pulang sekolah. Mereka akan bersantai atau mengerjakan tugas seperti saat ini. Nongkrong di kafe sudah menjadi rutinitas untuk menjernihkan pikiran setelah pulang sekolah. Yang membuat Acha betah karena di kafe biasanya terdapat deretan cogan alias cowok ganteng dari sekolah yang berbeda. Lumayan bisa cuci mata setelah menghadapi pelajaran menyulitkan seperti Matematika, Fisika, Kimia, maupun Biologi.
"Emm ... gue belum bilang ini ke kalian," ucap Acha sambil menyeruput vanilla milkshake—minuman favorit Acha di kafe itu.
"Apa lagi nih? Gue yakin, lo bakal bahas soal Al lagi," tebak Serra yang langsung diangguki Acha. Sangat jelas omongan Acha terbaca karena Al menjadi topik hangat yang sahabatnya itu bicarakan akhir-akhir ini. "Kali ini apa? Al nembak lo?"
"Ih, bukan!" dengus Acha. "Eh, tapi amin, deh." Acha cengar-cengir, tetapi ia kembali memasang wajah serius. "Gue mau ke sekolah Al bareng Aya. Kalau kalian nggak tahu, Aya itu anak IPS, satu tim sama gue juga di Cheers."
Serra menggeram kesal melihat Acha yang memberikan berbagai effort agar Al menyukainya. Ya, tidak sepenuhnya salah, tetapi haruskah Acha berusaha sekeras itu? Terutama kepada laki-laki yang bahkan tidak ia kenal? Serra hanya tidak mau Acha menjadi perempuan gampangan atau mudah dibodohi. "Nggak usah deh, pake acara ke sekolah dia segala! Lo mau dianggep freak? Atau dianggep stalker?"
"Udah gue duga, lo selalu nggak seneng sama rencana gue!" Acha berdecak kesal. "Iri apa gimana lo? Makanya cari cowok juga sana. Kerjaan lo tiap hari ngamuk mulu, mana mau cowok sama lo."
Tidak terima diledek seperti itu, Serra pun mulai naik pitam. "Apaan, sih? Siapa juga yang iri? Lo itu cewek, kodratnya dikejar—bukan mengejar. Apalagi sampe bela-belain ke sekolah dia segala, gila ya? Cowok kalau semakin dikejar, bakal semakin seenaknya sendiri!"
"Lo nggak bisa sama ratain semua cowok kayak gitu dong! Lagian yang awal suka kan gue, jadi mau nggak mau harus gue yang kejar!" gerutu Acha. Ia rasa sikap Serra sudah keterlaluan. Mungkin awalnya ia sedikit maklum karena sifat itu sudah bawaan sejak lahir, tetapi justru membuatnya kesal sendiri. "Gue ngapain aja, lo protes mulu!"
"Ya Allah, kalian kok malah berantem sih? Malu dilihat pengunjung kafe!" desis Maya menunjuk beberapa pengunjung dengan lirikan matanya. Meski posisi mereka berada di pojok, tetap saja menjadi pusat perhatian akibat suara Acha dan Serra yang menggelegar.
Akhirnya, Acha dan Serra terdiam. Untung tempat duduk mereka tidak bersebelahan. Maya tidak bisa membayangkan jika keduanya duduk bersama. Mungkin bisa terjadi aksi jambak, cakar, dan sebagainya. Karena keduanya tidak ada yang mau angkat bicara, alhasil, Maya-lah yang harus menengahi.
"Menurut aku, ngejar cowok nggak apa-apa asal nggak merugikan diri sendiri. Kalau aku lihat, Acha nggak rugi apa-apa. Dia nggak melalaikan tanggung jawabnya sebagai pelajar di sekolah. Dia juga nggak menghamburkan uangnya untuk hal-hal yang sia-sia," jelas Maya.
Mendengar itu, Acha langsung menyengir lebar. Ia bukan bahagia karena Serra seperti dipojokkan, tetapi bahagia karena apa yang Maya katakan sesuai dengan kenyataan. Sementara, Maya berkali-kali menghela napas lelah. Rasanya Maya lelah menghadapi sikap teman-temannya yang terkadang seperti anak SD.
"Tapi ...." Maya melanjutkan. "Kamu juga nggak boleh ngatain Serra kayak gitu, Cha. Intinya, kalian berdua minta maaf deh sekarang. Nggak enak banget atmosfernya kalau gini."
Kali ini, giliran Serra yang memasang senyum kemenangan. Sementara Acha jadi dongkol. Kemudian, ia melirik Serra yang meliriknya pula.
"Anjir lah, kayak anak SD aja kita." Dengan cepat, Acha mengulurkan tangan. "Sorry!"
Serra pun membalas uluran tangan Acha dengan canggung. "Gue juga. Sorry, ya!" Lalu, Serra menatap Maya dengan jengkel. "Lo bikin awkward aja!"
Maya mendengus kesal. "Terus, rencana kamu nanti di sana gimana?"
"Yah, nggak ada sih," jawab Acha dengan santai. "Abisnya kebetulan Aya ada urusan di sana, jadi ngajak gue nebeng. Kalian ikut nggak? Naik mobil gue kok."
Serra dan Maya sama-sama mengangkat bahunya.
"Nanti gue lihat lagi," ujar Serra.
***
Berkali-kali Acha memegang cermin kecilnya lalu menatap pantulan wajahnya. Sesuai yang Acha bahas akhir-akhir ini, ia dan Aya akan pergi ke SMA Citra Harapan—tepatnya hari ini. Maka dari itu, ia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas. Sebenarnya Acha sedikit waswas. Ia takut ia tidak sempat bertemu Al, mengingat jam pulang sekolah mereka yang sama. Bisa saja begitu Acha dalam perjalanan, Al sudah kembali ke rumah, kan?
Tetapi sepertinya Dewi Fortuna lagi-lagi berpihak padanya. Hari ini ia pulang lebih awal karena para guru sedang mengadakan rapat mendadak. Sehingga peluang ia bertemu Al semakin besar.
"Tunggu, Ya!" teriak Acha pada Aya yang sudah menunggunya di ambang pintu. Acha masih membenarkan kosmetiknya agar tidak tampak pucat atau berlebihan.
"Cie, ada yang lagi bahagia nih," goda Maya. "Sorry ya, aku nggak bisa ikut."
Acha terkekeh. "Santai, lagian di sana gue nggak ngapa-ngapain, takutnya juga kalian bosen."
"Semangat ketemu doi. Intinya, nggak usah terlalu ngejar-ngejar deh. Sewajarnya aja." Serra memberikan nasihat. Ia juga tidak bisa ikut menemani Acha karena sedang ada urusan.
Jadilah Acha dan Aya berjalan beriringan menuju parkiran. Karena mereka berdua tidak terlalu dekat, situasinya sedikit canggung selama perjalanan. Keduanya sibuk bermain ponsel sembari menunggu tiba di tujuan.
"Temen lo di Citra Harapan itu cewek?" Acha membuka topik pembicaraan.
"Iya, yang mau gue temuin itu cewek. Tapi, gue lumayan punya banyak temen di sana. Soalnya alumni SMP gue banyak yang pindah ke sana," jelas Aya.
Acha mengangguk paham. Ia cukup kagum karena jaringan Aya cukup luas, meski ia terlihat sedikit pendiam ketika berada di tim Cheers. Relasi Acha tidak sebanyak Aya, jarang sekali ia berteman dengan orang yang di luar sekolahnya. Bukan bermaksud sombong, memang banyak orang yang ingin berkenalan dengannya, tetapi Acha sengaja tidak membuka peluang untuk itu. Acha sedikit pemilih soal teman.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya mereka sampai di tujuan. Rupanya siswa dari sekolah lain tidak diperbolehkan masuk apabila sekolah belum berakhir. Sehingga mereka terpaksa duduk di kantin yang kebetulan berada di samping pos satpam. Sehingga masih berada dalam pengawasan satpam SMA Citra Harapan.
Karena lapar, Acha memutuskan membeli camilan di kantin itu. Tak lupa, ia juga membeli dua porsi. Satu untuknya, satu untuk Aya.
"Ah, makasih, harusnya nggak perlu repot-repot," ucap Aya yang menerima sosis bakar dari Acha. Ia sudah duduk terlebih dahulu tadi. "Nanti gue sama temen gue nongkrong di kantin. Lo ikut gue atau jalan sendiri?"
Acha duduk di depan Aya sembari menyeruput es tehnya. "Ikut lo aja deh, ketimbang jadi anak ilang, ogah gue." Acha bergidik tak suka.
"Nggak masalah jalan sendiri. Biar lo bisa nyari gebetan lo juga." Aya memberikan saran.
Acha menggeleng pelan. Jika ia berjalan sendirian kemudian bertemu Al, peluang Al menyebutnya stalker akan semakin besar. Tidak mungkin ia mengatakan pada Aya bahwa ia takut disebut stalker, kan? Lebih baik ia bersama orang yang dikenal saja. Lagi pula Acha punya feeling, ia akan bertemu Al meski ia tidak perlu mencari-carinya.
Bertepatan dengan gigitan terakhir sosis Acha, bel SMA Citra Harapan berbunyi nyaring. Setelah itu, suasana tampak ramai karena banyak siswa berhamburan. Itu karena posisi parkiran berseberangan dengan kantin. Hanya dibatasi oleh pagar dan pos satpam saja. Sehingga siswa-siswa banyak berdatangan menuju parkiran.
Saat Acha hendak mengelap mulutnya menggunakan tisu, Aya langsung berteriak dan mengangkat tangannya.
"Nah, itu temen gue!"
Acha yang posisinya membelakangi parkiran pun menoleh. Teman Aya bukan perempuan, melainkan laki-laki?