Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6 : Pertemuan Di Hutan
Seminggu Setelah Pertemuan Itu
Bayangan pertemuan resmi di istana terus menghantui Ferisu. Tak tahan dengan tekanan di dalam istana, ia kembali menyelinap keluar. Namun, kali ini bukan menuju keramaian kota seperti biasanya. Ia berjalan melewati gerbang utama, meninggalkan tembok-tembok besar ibu kota, dan menuju ke arah hutan yang gelap di luar kota.
"Huft... benar-benar menyebalkan." Ferisu mendesah berat sambil menendang kerikil di jalannya. Wajahnya tampak masam saat ia mengingat kabar bahwa pertunangannya dengan Erica telah resmi diumumkan. "Apa mereka benar-benar berpikir aku akan menerima semua ini begitu saja?"
Hutan yang ia tuju bukanlah tempat untuk sekadar berjalan santai. Dikenal sebagai Hutan yang cukup berbahaya, tempat itu menjadi sarang bagi berbagai monster. Namun, Ferisu, dengan pedang tergantung di pinggangnya, tampak tidak peduli.
"Setidaknya di sini aku bisa sendiri," gumam Ferisu. Langkahnya mantap, menembus rimbunan pepohonan yang menjulang tinggi, daun-daunnya saling berbisik seolah memperingatkan.
Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama. Dari semak-semak di dekatnya, terdengar suara gemerisik pelan namun mencurigakan. Ferisu menghentikan langkahnya, matanya menyipit, menatap tajam ke arah suara itu.
Tiba-tiba, seekor Horn Rabbit melompat keluar dengan kecepatan tinggi, tanduknya yang runcing mengarah tepat ke tubuh Ferisu.
"Dasar makhluk bodoh."
Tanpa rasa panik, Ferisu dengan cepat menghunus pedangnya. Dalam satu gerakan cepat dan presisi, pedang itu membelah udara, menebas Horn Rabbit dengan mudah. Tubuh makhluk itu jatuh ke tanah, tak bernyawa.
Ferisu menyarungkan kembali pedangnya dengan ekspresi dingin. "Mengganggu saja," katanya datar, lalu melanjutkan perjalanan seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah beberapa saat berjalan, ia tiba di tepi sebuah sungai kecil yang airnya jernih mengalir, memantulkan cahaya matahari yang menembus celah pepohonan.
"Kurasa ini cukup bagus," ujarnya sambil memandang sekeliling. Hutan di sekitarnya sunyi, hanya suara gemericik air yang terdengar, memberikan suasana tenang yang sudah lama ia rindukan.
Tanpa berpikir panjang, Ferisu memanjat salah satu pohon besar di dekat sungai, memilih dahan yang lebar dan kokoh untuk merebahkan tubuhnya. Ia berbaring di sana, memandang langit yang terselip di antara dedaunan.
"Kadang, aku berharap dunia ini tak serumit ini," katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Angin sepoi-sepoi meniupkan rasa sejuk, menghapus sejenak kekesalan yang memenuhi hatinya.
Ferisu hampir tertidur di atas dahan pohon ketika telinganya menangkap suara langkah kaki jauh di dalam hutan.
Dengan malas, Ferisu membuka matanya. Ia menoleh ke arah suara tersebut, mencoba melihat siapa yang membuat keributan di tempat yang seharusnya tenang ini. Dari kejauhan, ia melihat seorang gadis berambut pirang dengan mata biru yang memancarkan ketakutan, melarikan diri dengan tergesa-gesa. Hal yang paling mencolok adalah telinganya yang panjang dan lancip—dia seorang elf.
Di belakangnya, segerombolan Red Wolf—serigala besar dengan bulu merah menyala—mengejar dengan ganas, air liur menetes dari taring mereka yang tajam.
Ferisu mendesah panjang. "Huft~ selalu saja ada yang mengganggu." Dengan gerakan ringan, ia melompat turun dari dahan pohon, mendarat dengan mulus di depan gadis itu.
"Cepat pergi! Jangan di sini!" teriak gadis itu saat melihat Ferisu berdiri di tengah jalan, seolah-olah tak sadar bahaya yang mengancam.
Namun, Ferisu tidak menghiraukannya. Ia mengamati gerombolan Red Wolf yang mendekat, bibirnya melengkung menjadi senyuman dingin. "Pas sekali. Aku sedang butuh samsak untuk melampiaskan rasa kesalku."
Dengan santai, Ferisu menarik pedangnya dari sarung. Cahaya matahari yang menembus celah-celah daun memantul di bilahnya, menciptakan kilauan tajam.
Gadis elf itu terhenti, matanya membulat karena kaget saat Ferisu melangkah melewatinya tanpa sepatah kata, menghadapi para Red Wolf seorang diri.
"Eh?!" Gadis itu terkejut. "Apa dia... serius?"
Dia mencoba merapal mantra, berharap bisa membantu, tetapi tubuhnya bergetar karena kelelahan. Energi sihirnya sudah habis, dan ia bahkan tak bisa memanggil roh kontraknya. Dengan napas terengah-engah, ia hanya bisa berdiri di sana, menonton dengan cemas.
Sementara itu, Ferisu sudah berada di tengah pertempuran. Gerakannya seperti tarian yang memukau, setiap ayunan pedangnya penuh dengan presisi dan keindahan. Ia menyerang tanpa ragu, menghindari setiap serangan Red Wolf dengan mudah, seolah-olah ia sudah membaca setiap gerakan mereka.
Seekor Red Wolf melompat ke arahnya dari samping, mencoba menggigit lehernya. Namun, Ferisu memutar tubuhnya dengan anggun, menebas makhluk itu tepat di udara.
"Satu..." gumamnya dengan nada malas.
Dua ekor lagi menyerangnya bersamaan. Ferisu mengayunkan pedangnya dalam gerakan melingkar yang sempurna, menebas keduanya sekaligus.
"Dua, tiga..." ujarnya sambil melangkah maju tanpa tergesa-gesa.
Gadis elf itu hanya bisa menyaksikan dalam diam, matanya tak lepas dari pemuda itu. "Dia... bukan orang biasa," pikirnya. Ferisu bukan hanya cepat dan kuat, tapi gerakannya juga terlihat begitu alami, seolah pertempuran adalah bagian dari dirinya.
Satu per satu, Red Wolf mulai jatuh. Tanpa menunjukkan tanda-tanda kelelahan, Ferisu menyelesaikan gerombolan itu dalam waktu singkat. Pedangnya berlumuran darah, namun ekspresinya tetap datar, seolah apa yang baru saja ia lakukan adalah hal yang sepele.
Gadis itu mendekat perlahan, masih terpesona oleh apa yang baru saja dilihatnya. "K-Kau... siapa sebenarnya?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Ferisu menghela napas, menyarungkan pedangnya kembali. "Hanya seseorang yang mencari ketenangan," jawabnya datar, lalu berbalik, meninggalkan gadis itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Gadis itu berdiri di sana, kebingungan dan penasaran. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Ferisu yang berjalan menjauh dengan santai.
"Licia-sama!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang.
Itu adalah para kesatria yang Mengawal gadis elf tersebut.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya mereka penuh rasa khawatir.
"Ya... Ada seseorang yang menolongku," jawab Licia, gadis elf tersebut.
Para ksatria memandang sekitar dengan waspada, memastikan tidak ada ancaman lebih lanjut. Tumpukan mayat Red Wolf di depan mereka membuat suasana di tempat itu terasa semakin tegang. Salah satu ksatria, yang lebih senior, berjongkok untuk memeriksa salah satu bangkai Red Wolf.
"Ini aneh," gumamnya sambil memperhatikan luka-luka yang ada di tubuh monster itu. "Semua serangan ini sangat presisi, dan tidak ada satu pun bekas sihir atau energi roh. Hanya tebasan pedang murni."
Yang lain menatap bangkai itu dengan heran. "Kalau benar dia hanya menggunakan pedang biasa, maka dia jelas bukan orang biasa. Bahkan ksatria terbaik sekalipun akan kesulitan menghadapi gerombolan Red Wolf tanpa bantuan roh."
Licia, gadis elf yang masih berdiri di dekat para ksatria, mengangguk dengan semangat. Matanya berbinar, penuh rasa kagum. "Ya, dia benar-benar luar biasa! Gerakannya begitu indah, seperti tengah menari. Dia mengalahkan mereka semua dalam waktu yang sangat singkat."
Seorang ksatria lain bertanya, "Apa Anda tahu siapa dia, Licia-sama? Apa dia orang dari sekitar sini?"
Namun Licia menggelengkan kepala, ekspresinya berubah menjadi campuran antara penasaran dan kecewa. "Tidak... Dia tidak menyebutkan namanya. Bahkan, dia tidak banyak bicara. Setelah selesai, dia hanya menyarungkan pedangnya dan pergi begitu saja."
Para ksatria saling berpandangan, mencoba mencerna informasi itu. Seorang pemuda yang mampu mengalahkan gerombolan Red Wolf seorang diri, tanpa menggunakan sihir atau roh, jelas merupakan sesuatu yang sangat langka, bahkan di dunia yang penuh dengan kekuatan magis seperti ini.
"Bagaimana rupanya, Licia-sama?" salah satu ksatria bertanya.
Licia memejamkan mata, mencoba mengingat kembali dengan jelas. "Dia... terlihat biasa saja, tapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Rambut hitam legam, matanya sedikit sayu, dan cara dia membawa pedangnya... seolah-olah itu adalah bagian dari dirinya."
Ksatria senior itu berdiri, menatap ke arah hutan yang lebih dalam. "Kalau dia tidak ingin dikenali, mungkin dia punya alasan. Tapi, kita tidak bisa mengabaikan kehadirannya. Seseorang dengan kemampuan seperti itu bisa menjadi ancaman, atau sekutu."
Licia, yang masih teringat bagaimana Ferisu bertarung, berbisik pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Aku ingin bertemu dengannya lagi..."
Para ksatria menatap Licia dengan rasa penasaran. "Apakah dia menyelamatkan Anda hanya karena kebetulan, atau ada alasan lain?"
Licia tidak menjawab, tapi dalam hatinya, ia merasa bahwa pemuda misterius itu bukan hanya sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar di balik pertemuan mereka, sesuatu yang membuat dirinya tak bisa melupakan sosok itu.