VERSUS

Bunyi hantaman pedang kayu terdengar nyaring saat dua orang pria bertelanjang dada tengah beradu, menguji kemampuan beladiri mereka terhadap satu sama lain. Seorang dari mereka memiliki tato yang dikenali sebagai ciri khas kelompok kriminal tertua di dunia. Sementara yang lain, bagian tengah punggungnya ditutupi tato naga biru dengan posisi vertikal dari tulang ekor hingga pangkal lehernya.

Setelah duel panjang yang cukup lama, pria bertato naga berhasil memojokkan lawannya. Tawa seringainya seolah menunjukkan kalau dia bukan tandingan dari lawannya.

"Sudah jelas kalau kau tidak memerlukanku di sini. Mungkin sebaiknya mereka memanggilku pulang saja", Ryuu bersungut setelah bangkit dari lantai kemudian mengambil handuk.

"Yah.. bagaimanapun satu setengah masih lebih baik daripada hanya satu kan?", sahut Akita terkekeh, mengambil handuk kemudian mengelap rambutnya yang basah oleh keringat.

"Dan maksudku untuk mengelola kedai, bukan untuk yang lain", sambungnya lagi.

Ryuu menghela nafas.

"Entahlah, apa aku masih dianggap bila suatu saat pulang ke Jepang. Sepertinya aku sekarang lebih mahir memasak ketimbang berkelahi", Ryuu duduk menyender di lantai, matanya menatap kosong ke arah luar jendela di sampingnya.

Akita kembali terkekeh.

"Aku sangat yakin kau akan tetap diterima. Ya.. walaupun bukan untuk urusan organisasi, paling tidak mereka bisa menjadikanmu sebagai koki. Bukankah itu posisi yang penting?".

Ryuu melemparkan handuk di tangannya pada Akita yang malah makin nyaring tertawanya.

Akita kemudian duduk di samping Ryuu yang masih berwajah murung.

"Apa kau sangat rindu kampung halaman?", kini Akita sudah kembali serius.

Ryuu menghela nafas kemudian duduk bersila dengan khusuk.

"Aku.. bukankah aku tak punya pilihan?", diusapnya wajahnya dengan kasar.

Akita merasa tak enak dengan jawaban itu. Semua ini karena dirinya, karena keinginannya menjauh dari ayahnya dan segala hal yang mengelilinginya. Walaupun menyetujuinya, tetap saja ia mengirimkan salah seorang anggotanya untuk mengiring kemanapun Akita pergi. Dan Akita sangat bersyukur bahwa orang itu adalah Ryuu.

"Maafkan aku", Akita kembali mengikuti posisi Ryuu, bersila sambil memainkan kedua handuk di tangannya.

Ryuu terkekeh, kemudian menatap sinis kepadanya.

"Dengarlah, Akita Nakamura meminta maaf pada Ryuu Fujita. Bukankah itu sebuah kejadian langka?".

Kini wajah Akita yang berubah kesal. Ia kemudian berdiri lalu melemparkan kedua handuk di tangannya tepat di wajah Ryuu yang masih terkekeh nyaring. Sejurus kemudian, ia menuruni tangga ke lantai dua menuju kamar mandi di tempat tinggal Ryuu.

********

"Jadi, beberapa hari ke depan aku akan mendata bahan apa saja yang memang tidak diperbolehkan untuk mereka konsumsi, kemudian mencari bahan penggantinya. Tapi tak hanya sampai di situ. Merubah bahan akan beresiko merubah rasa. Karena itu, setelahnya kita harus meracik komposisi menu yang baru yang kita usahakan rasa dan tampilannya semirip mungkin dengan resep asalnya", terang Akita pada kru dapurnya.

Mereka terlihat mengangguk, tanda paham ucapan Akita.

"Baiklah, aku sudah menyusun semua keperluan rencana itu di sini. Aku harap kalian bekerja sungguh-sungguh sesuai tugas dan tanggungjawab kalian masing-masing. Dan jangan khawatir, kalian akan mendapat upah terpisah untuk pekerjaan ini", wajah mereka sontak berubah cerah, dan beberapa saat kemudian terlihat serius menatap lembaran kertas yang dibagi Akita.

Akita merasa optimis, sebuah inovasi sedang dirancangnya demi kesuksesan kedainya. Dan secara tidak langsung, ini semua berkat Sofia.

Ditatapnya kedai seberang lewat kaca depan. Kemudian ia seperti teringat sesuatu.

"Nami!", Akita memanggil karyawan wanita satu-satunya, kemudian menyerahkan bungkusan berisi sushi dan mochi.

"Tolong kau antarkan ini pada Nona Genovese. Katakan padanya sebagai ucapan terima kasih dariku atas sarapan kemarin".

Abe dan Ryuu sontak saling pandang, wajah mereka sama-sama mengerut. Ada apa dengan Akita?

"Baik Tuan Nakamura", Nami sudah siap berangkat, tapi sesaat kemudian ia kembali mendatangi Akira dengan senyum sungkan.

"Anu.. Bolehkah saya sekalian membeli pizza di sana Tuan?", tanyanya hati-hati, wajahnya pun terlihat takut.

Akita melotot mendengarnya. Dan itu membuat Nami menyimpulkan, tak boleh.

"Tentu saja, silakan. Atau.. begini", Akita mengeluarkan beberapa lembar dollar dari dompetnya dan menyerahkannya pada Nami.

"Beli untuk semuanya", perintahnya.

Para karyawannya pun sontak bertepuk tangan. Tapi tidak untuk Ryuu dan Abe, tatapan mereka berubah ngeri melihat sikap Akita.

"Hei, apa yang terjadi? Mengapa kau malah membeli banyak pizza pada saingan kita?", tanya Abe.

"Oh, bukan apa-apa. Kukira wajar kalau kita membalas perlakuan mereka. Bukankah beberapa hari yang lalu mereka juga membeli sushi dari kita dalam jumlah banyak?", Akita hanya tersenyum santai menanggapi kegalauan Abe.

Abe masih tak puas dengan jawaban itu. Tapi ia memutuskan untuk tak bertanya lagi. Paling tidak, sekarang dia tak perlu lagi dipusingkan oleh sikap paranoid Akita terhadap kedai seberang.

Beberapa puluh menit kemudian, Nami datang dengan tumpukan kotak pizza di tangannya. Sementara di bagian puncaknya ada sebuah kotak yang jauh lebih kecil, namun lebih tinggi.

"Ini pizzanya, dan ini titipan khusus dari Nona Genovese untuk anda. Pesannya, terima kasih kembali", ucap Nami kemudian menyerahkan kotak paling kecil itu pada Akita.

Setelahnya ia segera bergabung dengan yang lain yang sudah lebih dulu mengerumuni kotak-kotak pizza yang dibawanya tadi.

Akita mengerutkan dahi, titipan khusus? Dibukanya kotak itu, isinya adalah kue tiramisu terenak yang pernah dimakannya. Akita tersenyum, dan jantungnya.. astaga! Ada apa ini? Mengapa jantung Akita berdetak lebih cepat?!