Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTIGA
"Jujur, Nay!" perintah Tiwi dengan tatapan mengintimidasi pada Nayratih. Gadis itu baru sampai kota tengah malam bersama kedua orang tuanya. Pagi-pagi ia sengaja ke kos Tiwi, karena memang ia sekangen itu sama si cerewet, Tiwi.
"Mina emang bilang apa?" Nay mendadak jutek. Seperti malas menanggapi.
"Dia gak mau cerita!"
Nay hanya bersedekap, lalu menghembuskan nafas berat. "Sahabat kamu itu diajari sama orang tuanya jadi pelakor!"
Tiwi melotot, kaget. "Maksud kamu?"
"Ayahnya pernah mendatangi rumah, awalnya mau pinjam uang buat bayar Mina sekolah. Tapi jumlahnya gak wajar. Ya ayah dan mama tanya dong, punya jaminan apa. Dia jawab Mina. Orang tuaku berpandangan, maksudnya jaminan anak tuh gimana!"
"Terus?"
"Seenaknya saja, ayah Mina bilang bisa dijadikan istri kedua ayah! Tolol gak sih."
Tiwi melongo, tak menyangka kejadiannya sampai begini.
"Mama marah, mengomel lah pada ayah Mina. Eh, ayah Mina malah bilang mending punya istri kedua, Nyonya. Daripada ayah selingkuh dengan anak buahnya. Karena itulah ayah dan mamaku bertengkar hingga sekarang."
"Kamu tadi malam di antar siapa?"
"Ayah sama mama, cuma ya gitu di dalam mobil canggung setengah mati. Sejak saat itu, rumahku rasanya kayak neraka. Tiap hari ada aja keributan."
"Kamu tahunya kapan?"
"Setelah kita menerima pengumuman kelulusan, malam aku mengajak diskusi ayah dan mama untuk memberi hutang pada Mina biar kuliah. Mama langsung emosi dan menyuruhku buat putus pertemanan dengan Mina."
"Ya Allah, terus!"
"Ya kan setelah pengumuman itu aku belum bertemu Mina sampai sekarang, Wi!"
Tiwi menghela nafas, "Terus bagaimana?"
"Mau bagaimana pun aku juga percaya sama mamaku. Beliau sekeras itu melarangku tentu mengkhawatirkan aku terpengaruh oleh Mina. Padahal menurutku sih, Mina gak mungkin begitu ayahnya saja yang rada' miring."
"Benar sih, Nay! Cuma aku juga menghormati orang tua kamu, wajar banget melarang. Aku tahu Mina gak mungkin menuruti apa kata ayahnya. Toh, sekarang saja dia harus diusir oleh sang ayah karena gak mau menikah dengan Pak Sul!"
"Hah?" Tiwi pun menceritakan perjalanan Mina. Nay tertunduk lesu, ia yakin sang sahabat juga tidak akan mungkin mau menjadi boneka sang ayah. Dia punya prinsip, dan mau mengubah kehidupan keluarga lebih baik.
"Dari dulu, aku dan Mina memang tidak terlalu dekat. Ditambah kejadiannya sekarang begini, pasti semakin canggung sama dia," Nay tertunduk lesu.
"Mau menemui Mina?" tawar Tiwi. Nay menggeleng.
"Aku belum siap! Aku khawatir melihat wajahnya teringat permintaan mama, dan aku bakal mencecar berbagai pertanyaan yang bisa menyudutkan dia sebagai pelakor."
"Hanya tuduhan yang berasal dari pikiranmu sendiri pasti!"
Nay mengangguk. "Salah tapi aku gak bisa mengalihkan pikiran negatif itu dari benakku, Wi!"
"Padahal, hari ini aku mau ajak kamu mampir ke toko Mina!" ucap Tiwi pura-pura kecewa. Nay langsung menatap wajah sendu sang sahabat, terpancar ekspresi aku mau, tapi ada gengsi yang menyelimuti.
"Aku.." ucap Nayratih ragu.
"Setelah ini kita sibuk dengan dunia les dan perkuliahan, waktu bertemu bertiga tentu sulit. Menurutku sih, mumpung masih longgar gak ada salahnya kita bertiga kumpul. Setidaknya saling mengingatkan tentang mimpi kita."
"Wi, aku gak mau terpancing emosi."
"Iya aku tahu, aku kan cuma kasih saran. Ya udah kalau gitu aku berangkat sendiri saja."
Nay tertunduk lesu. Namun pada akhirnya ia tak mau ikut Tiwi, Nay membiarkan Tiwi berangkat sendiri ke tempat kerja Mina. Dalam benak Nay, tentu Tiwi akan mengonfirmasi kebenaran peristiwa antar orang tua.
Nay mendadak khawatir kalau Mina akan mengelak, dan bisa jadi akan memutar balikkan fakta.
"Astagfirullah, kok aku jadi suudzon begini?"
Drt..drt... Sebuah panggilan video dari Tiwi. Spontan Nay mengangkatnya dan benar saja. Tiwi sudah duduk di salah satu meja, ia sengaja melakukan panggilan video dengan menampilka. Aktivitas Mina yang cekatan melayani para customer.
"Dia kayaknya gak mungkin banget jadi pelakor, Nay. Kalau mau jadi pelakor tentu gak bakal mau susah-susah kerja. Dia tinggal cari suami orang yang kaya, dan tinggal duduk manis morotin uang mereka."
Nay tak bisa menjawab. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang diucapkan Tiwi benar. "Apa yang diucapkan mama kamu ada benarnya, sebagai pengingat agar kamu tetap waspada dengan pergaulan teman kamu. Hanya saja, kalau kamu semakin menjauhi Mina, berarti kamu mengiyakan dan menandakan kalau kamu belum mengenal Mina seutuhnya."
"Wi! Tolonglah! Untuk saat ini biarkan kita seperti ini. Sungguh, Wi. Ucapan mamaku sangat mempengaruhiku pada Mina. Aku gak mau melukai hatinya karena ucapanku."
"Iya deh. Daripada kita bertengkar, aku juga gak akan mungkin memilih kalian. Kalian tetap sahabatku. Penilaian diri terhadap seseorang adalah hak masing-masing. Aku cuma mau ingetin. Bila di antara kita bertiga melakukan kesalahan, hendaknya saling mengingatkan. Kita hidup di perantauan. Tidak ada keluarga, hanya kamu dan Mina keluargaku di sini. Ya aku berharap kita saling menjaga."
"Iya makasih, Wi! Maaf aku sudah melukai kamu. Hem, boleh aku tanya sesuatu?" Nay takut.
Tiwi mengerutkan dahi, tumben. "Apakah kamu berencana untuk membahas masalah ini ke Mina?"
"Mungkin. Tapi enggak sekarang. Aku gak mau memancing duluan. Kalau dia tanya tentang kamu, ya aku bakal tanya hubungan kalian versi Mina. Tapi kalau dia gak menyinggung kamu sama sekali, ya aku gak bakal bahas. Gak usah khawatir, kita gak bakal membicarakan kamu kok!"
"Makasih."
"Nay. Kita temenan gak sehari dua hari. Kita tahu karakter masing-masing. Dan aku gak mau merusak persahabatan kita hanya karena ayahnya Mina."
"Iya aku tahu. Kasih waktu aku buat menetralkan diri."
"Ya tapi jangan lama-lama, grup sepi tau!"
"Maaf, Wi! Lagi rame, gak sempat menemani kamu. Kamu mau pesan apalagi?" Tiwi tergopoh karena kedatangan Mina tiba-tiba, ia hanya menurunkan ponselnya.
"Hah? Oh gak pa-pa, Min..wajarlah menjelang makan siang. Kalau masih sibuk, udah sana aja. Kamu karyawan baru juga."
"Iya deh kalau gitu. Nanti kalau mau balik, panggil aku ya. Aku kasih roti jatahku, buat camilan kamu di kamar!"
Tiwi mengangguk.
Sepeninggal Mina, Tiwi menyambung obrolan dengan Nay. "Dengar, Nay?"
Nay mengangguk, dan menunduk lesu. "Dia masih saja baik. Selalu mementingkan kebutuhan sahabatnya meskipun dalam keadaan terbatas."
"Betul. Kita tahu Mina bagaimana. Omongan sang ayah, menurutku sih gak usah dianggap. Anggap aja ayah Mina orang lain. Beliau aja sama pribadi anaknya gak tahu. Yang beliau tahu hanya bagaimana mendapat uang banyak dan cepat!"
"Benar sekali!"
"Dan aku yakin, meski Mina sudah diusir. Suatu saat nanti ayah Mina pasti mencari dan menuntut hasil kerja Mina dengan pemaksaan."
"Suudzon kamu!"
"Sedikit tapi kayaknya benar!"
"Aku setuju sih pemikiran itu!" jawab Nay sembari terkekeh.
"Dasar!"