Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkumpul Kembali
Setelah mengunjungi kediaman Alin, Hana berziarah ke makam temannya yang masih baru itu. Ditaburkannya bunga di atas pusara Alin, lalu terduduk memandangi pembaringan terakhir seorang teman baik yang gagal ia selamatkan. Adapun ibu Alin, berpamitan pada Hana untuk kembali ke kediamannya lebih dulu.
Termenung Hana di depan pusara temannya. Semua kejadian yang dilaluinya terasa begitu menyakitkan, bagai mimpi buruk tak berujung. Ia mengusap batu nisan Alin sambil memandang kosong.
"Alin, maafkan aku. Seharusnya aku bergerak lebih cepat dan melawan rasa takut terhadap Yudis. Aku nggak ngerti, kenapa aku nggak berdaya begini. Tapi tenang saja, orang-orang yang sudah menyakitimu sudah dipenjara. Semoga keadilan datang buat kamu, Alin," tutur Hana, sambil meneteskan air mata. "Aku juga berharap, Yudis bersama teman-temannya dijatuhi hukuman setimpal atas perbuatan keji mereka sama kamu."
Hana mengusap kedua pipinya, lalu menghela napas dalam-dalam. Sesak belum kunjung luruh dari dadanya.
"Alin, aku pulang dulu, ya. Beristirahatlah dalam damai. Biarlah para bajingan itu mendekam di penjara. Tapi kalau nanti mereka berhasil lolos, aku tidak akan segan-segan membalaskan kematian kamu terhadap mereka. Kamu nggak perlu khawatir," pungkas Hana, lalu beranjak pergi dari pemakaman.
Dengan langkah gontai, Hana menyusuri perkampungan menuju kediaman keluarganya yang tak begitu jauh dari area pemakaman. Matanya begitu sembap setelah seharian menangisi kepergian Alin.
Tak lama kemudian, Hana tiba di rumah orang tuanya. Tampak ibu Hana yang sedang menyapu lantai bergegas menghampiri putri sulungnya. Kekhawatiran begitu kentara di wajah wanita paruh baya itu tatkala mendapati Hana datang dengan murung.
"Hana, kenapa kamu kelihatan sedih begitu? Apa kamu sudah ketemu sama ibunya Alin?" tanya ibu Hana yang akrab disapa Bu Esih itu memegangi kedua pipi putrinya.
Hana mengangguk pelan dan meneteskan air matanya lagi. Bu Esih mendekap tubuh Hana yang rapuh itu, sembari mengusap punggung putrinya dengan lembut.
"Ini semua salah aku, Ma. Aku nggak bisa jagain Alin di perantauan sana. Aku udah berusaha buat menyelamatkan Alin, tapi aku ... a-aku benar-benar nggak berdaya," keluh Hana sesenggukan.
Perlahan Bu Esih melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata di wajah Hana. "Sudah, Hana. Kamu nggak perlu menyesali apa yang sudah terjadi. Semua hal di dunia ini tidak selalu berada dalam kendalimu, termasuk kematian Alin. Sebaiknya kita masuk ke rumah, Bapak sama Lusi lagi makan siang di dalam."
Hana mengangguk setuju, lalu mengikuti ibunya ke dalam rumah. Gadis itu mencium tangan ayahnya terlebih dulu, sebelum akhirnya duduk di sebelah sang adik. Dipandanginya orang tua serta adik perempuannya dengan sendu. Sungguh, ia sangat terharu menyaksikan kehangatan yang selama ini dirindukannya di perantauan.
"Alin, minumlah dulu. Kamu pasti capek selama di perjalanan dari Jakarta sampai sini," ujar Bu Esih menyerahkan segelas air putih pada putrinya.
Hana mengangguk, sambil menerima gelas dari ibunya. Diteguknya air itu sampai habis, lalu menatap sang ayah yang begitu pucat akibat penyakit kanker paru-paru sejak tiga bulan belakangan ini.
"Pak, gimana kondisi Bapak saat ini? Apa sudah agak mendingan?" tanya Hana cemas.
"Bapak baik-baik saja, Hana. Seenggaknya Bapak masih bisa menggarap sawah dan memberi nafkah buat keluarga," jelas ayah Hana yang akrab disapa Pak Parman itu.
"Sebaiknya Bapak nggak usah memaksakan diri. Hana sudah bekerja ke kota besar, apa uang yang Hana transfer tiap bulan masih kurang?" bujuk Hana, merasa prihatin.
"Ini bukan soal uang, Hana. Ini tentang kewajiban," tegas Pak Parman.
"Bapak ini keras kepala. Mama udah nyuruh Bapak tinggal di rumah saja dan istirahat, tapi malah ngeyel terus. Padahal Mama bisa mendapatkan uang dari bekerja sebagai asisten rumah tangga juragan kopi," sanggah Bu Esih.
"Lusi juga jualan pulsa buat uang saku. Seenggaknya Lusi nggak membebani Bapak sama Mama," timpal Lusi, adik perempuan Hana yang masih duduk di kelas dua SMA.
"Pak, sebaiknya Bapak banyak istirahat saja, ya. Kami memang perempuan, tapi bukan berarti kami lemah. Kami sangat ingin Bapak segera sembuh dengan mengikuti prosedur pengobatan dari rumah sakit. Soal biaya, Bapak nggak usah khawatir. Hana bakal bekerja lebih keras demi kesembuhan Bapak," imbuh Hana.
"Tapi Bapak bosen kalau di rumah terus, Hana. Bapak juga butuh kegiatan sehari-hari biar nggak jenuh," kelit Pak Parman.
"Sebaiknya begini saja. Bapak, kan, dari dulu hobi memelihara burung, ya? Gimana kalau Hana belikan burung biar Bapak nggak kesepian di rumah? Bapak mau, kan?" usul Hana dengan mata membulat.
"Ide yang bagus! Jadi, Bapak nggak bakal kesepian kalau ditinggal Mama sama Lusi," timpal Lusi, menunjukkan kesetujuannya dengan pendapat Hana.
"Maaf, Hana. Bukan apa-apa, Bapak cuma nggak mau nyusahin kalian," tolak Pak Parman dengan halus.
"Pak. Anggap aja ini sebagai tanda bakti Hana sama Bapak. Hana pengen Bapak sembuh lagi seperti sedia kala. Bapak juga pengen tetap sehat, kan?" sanggah Hana.
"Pak, sebaiknya terima saja saran dari Hana," bujuk Bu Esih.
Pak Parman mendesah berat, lalu mengangguk setuju. Hana mengembangkan senyum di bibir tatkala Pak Parman menerima sarannya. Ia merasa lega, sang ayah mau menerima nasihat dari ibu dan adiknya demi kesembuhan di masa mendatang.
Sementara itu, di dalam sel tahanan, keempat pelaku kekerasan terhadap Alin merasa senang mendapati Anwar memasuki ruangan yang sama. Mereka tersenyum sumringah melihat pemuda berwajah kalem itu tampak berang berada di sana.
"Selamat datang di hotel prodeo, Bro! Kita sama-sama nongkrong di tempat baru!" sambut Viktor, si pemuda bertato naga memeluk Anwar.
"Kenapa kalian nyeret gue ke sini? Gue nggak ikut-ikutan ngerusak cewek, loh, ya," sungut Anwar mendorong Viktor dan menatap nyalang pada keempat temannya satu per satu.
Yudis menyunggingkan senyum seraya berkata, "Anwaaar ... Anwar. Kita nggak bakal biarin lo hidup tenang di luaran sana, apalagi sampai jadi saksi kunci atas kematian Alin. Lo itu pantasnya gabung bareng kita biar sel tahanan makin rame."
Anwar mengepalkan lengannya, sambil menggeram. "Lo pikir ini lucu, apa? Harusnya gue udah laporin kalian lebih dulu dari kemarin-kemarin."
"Gitu, ya?" Yudis berdiri, lalu mendekati Anwar yang kemarahannya masih mendidih. Ditepuknya pundak pemuda itu, seraya berkata, "Lo lupa, kalau gue masih bisa bertindak walaupun di dalam penjara? Atau ... lo emang nggak peduli sama ancaman gue?"
Ditepisnya tangan Yudis dengan kasar. "Emangnya apa yang bisa lo lakuin sama keluarga gue, ha? Kalaupun lo berani macam-macam sama adik gue, gue bakal berusaha buat ngejaga dia gimanapun caranya."
"Begitu, ya? Emang sekuat apa, sih, lo berani buat laporin kita? Keluarga lo nggak sekuat dulu. Bokap lo udah meninggal. Lo udah kehilangan penopang hidup sejak bokap lo nggak ada!" tutur Kevin menyela.
"Tapi gue nggak selemah itu! Gue bukan anak manja kayak kalian yang bisanya cuma sembunyi di bawah ketek orang tua," bantah Anwar.
"Berani-beraninya lo ngeremehin kita," sungut Andra, menghajar Anwar tanpa ragu.
Anwar yang berang pun berusaha balas memukul Andra. Akan tetapi, serangannya segera ditepis oleh Viktor. Lelaki itu langsung menahan Anwar hingga tak bisa berkutik sama sekali.
Yudis memegang kedua rahang Anwar dengan satu tangannya. Ia menatap dingin pemuda berwajah kalem itu, lalu berkata, "Sekali lagi lo berani macam-macam sama kita, lo harus siap menerima kehancuran keluarga lo."
Anwar meludahi wajah Yudis. "Gue nggak takut!"
"Oya? Lo beneran nggak takut kalau kebusukan nyokap sama adek lo dibongkar ke publik?" tanya Kevin dengan melipat kedua tangannya.
Anwar terdiam.
"Bayangin kalau seandainya nyokap lo ikutan dipenjara. Adik lo nggak ada yang jagain. Orang-orang bokap gue bisa aja kerjasama bareng bokap si Yudis buat ngejual adek lo ke luar negeri," tutur Kevin dengan entengnya.
"Sialan!" rutuk Anwar memelototi Yudis dan Kevin.
Yudis melepaskan cengkeramannya dari wajah Anwar, seraya berkata, "Sekarang, sebaiknya lo bilang sama polisi kalau lo duluan yang ngajakin kita buat ngerusak si Alin. Lo punya motif dendam karena ditolak sama tuh cewek. Oke?"
"Apa? Bukannya si Kevin yang ditolak sama Alin? Kenapa gue yang harus bilang gitu ke polisi? Gue nggak ada urusan apa pun sama si Alin!" Anwar menolak.
Yudis memukul perut Anwar, seraya berkata, "Jadi, lo nggak mau nyokap sama adik lo selamat, gitu? Oke, tunggu aja tanggal mainnya."
Anwar terengah-engah, sambil meringis merasakan perutnya yang sakit. Viktor pun melepaskan Anwar, lalu duduk di sudut sel. Keempat pemuda itu tersenyum-senyum, memandangi kebingungan yang begitu kentara di wajah Anwar.