Jodohku
"Cepatlah, Cali! Nanti kita terlambat!" teriak Mat dari depan mobil. Dia terus melirik jam tangannya, ekspresinya penuh dengan rasa terburu-buru.
Matthew, atau Mat, begitu dia biasa dipanggil, adalah teman baik Cali sekaligus salah satu pendiri Perfect Space, sebuah perusahaan renovasi dan desain interior kecil yang mereka bangun bersama tiga tahun lalu.
Mat adalah lulusan Arsitektur yang juga memiliki gelar di Desain Interior. Menjadi desainer interior adalah impiannya sejak kecil, tetapi serangkaian kejadian di masa lalu membuatnya tidak bisa menyelesaikan kuliah. Meski begitu, Mat tetap bersyukur karena bisa membangun usaha kecil-kecilan yang memungkinkan dia menyalurkan passion-nya dalam mendesain.
Bagi Cali, Mat adalah sosok yang sangat berjasa. Kalau bukan karena Mat, Perfect Space mungkin tidak akan pernah berdiri. Mat bahkan rela mengeluarkan modal besar demi memulai usaha itu. Kepercayaan Mat terhadap bakatnya menjadi salah satu alasan Cali bisa menyandang gelar "Desainer Senior & Pemilik Bersama" Perfect Space saat ini.
"Sebentar lagi! Aku datang!" teriak Cali dari dalam kantor.
Dia memeriksa penampilannya di cermin untuk terakhir kali, menarik napas dalam-dalam, lalu meraih folder presentasi dari meja kerjanya. Dengan langkah cepat, dia keluar menuju mobil.
"Ya ampun, chica!" Mat menggerutu sambil mengangkat tangan dengan dramatis. "Kalau kita terlambat terus nggak dapat kesepakatan ini, aku bakal nyalahin kamu!" Mat segera masuk ke mobil dan menyalakan mesin.
Cali masuk ke kursi penumpang, memasang sabuk pengamannya, lalu berkata, "Maaf! Tadi aku cuma nambahin sedikit sentuhan akhir buat presentasi."
"Sentuhan akhir? Kalau sampai gagal, mending kamu aja yang jadi kliennya nanti," balas Mat sambil mendengus, meski matanya tetap fokus ke jalan.
Cali tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Tenang aja, kita pasti bisa!" katanya penuh semangat. Dia bahkan mengangkat kedua tangannya ke udara, "Semangat!" lanjutnya, menirukan salah satu adegan di drama Korea yang sering dia tonton.
Mat hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil melihat tingkah Cali.
Beberapa saat kemudian, Honda Civic putih mereka berhenti di depan sebuah gedung besar. Cali mengamati bangunan itu sambil menarik napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang tiba-tiba terasa berat.
Rasa gugup tiba-tiba menyeruak. Ini adalah klien terbesar mereka, pekerjaan yang bisa mengubah segalanya. Biasanya, mereka hanya menerima proyek renovasi rumah atau kantor kecil. Tapi sekarang, mereka berhadapan dengan sebuah hotel start-up yang akan membuka cabang pertamanya di Tagaytay tahun depan.
"Siap?" teriak Mat dari sampingnya. Dia sibuk merapikan pakaiannya sebelum memberi isyarat agar Cali mengikutinya masuk ke dalam gedung.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada di ruang rapat besar perusahaan. Cali terlihat sedikit kewalahan, matanya sibuk memindai ruangan di sekelilingnya.
Ruang rapat itu luas, dikelilingi dinding kaca yang membuatnya terasa modern dan mewah. Meja kayu lonjong di tengah ruangan cukup besar untuk menampung sekitar lima belas orang. Tumit sepatu Cali tenggelam di karpet lembut saat dia melangkah menuju salah satu kursi. Di atas meja, sebuah lampu gantung elegan memancarkan cahaya hangat, sementara lampu redup di langit-langit menambah suasana tenang. Proyektor sudah terpasang di depan, siap digunakan.
Mat sibuk di dekat proyektor, menyiapkan laptop yang mereka bawa. Dia melirik ke arah Cali. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya.
"Iya," jawab Cali singkat, lalu berjalan mendekati salah satu lukisan yang menghiasi dinding ruangan. "Aku masih nggak percaya perusahaan besar seperti ini benar-benar mau bekerja sama dengan kita," gumamnya sambil menatap lukisan itu.
Sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Jika mereka berhasil mendapatkan pekerjaan ini, itu akan menjadi titik balik besar untuk bisnis mereka. Bayarannya tidak hanya akan membantu keuangan perusahaan, tetapi reputasi mereka juga akan terangkat. Klien besar seperti ini pasti akan menarik proyek-proyek besar lainnya. Perfect Space akhirnya akan mendapatkan pengakuan yang mereka impikan.
"Percayalah," sahut Mat sambil tersenyum, "kita pasti dapat ini." Dia mengedipkan mata, memberi Cali rasa percaya diri.
Cali membalas dengan senyum kecil dan anggukan, meskipun rasa gugupnya belum sepenuhnya hilang.
---
Beberapa jam kemudian, gelas bir berdenting di antara mereka.
"Bersulang!" seru Mat penuh semangat sambil menenggak birnya.
"Aku benar-benar merasa kita berhasil dapat proyek itu!" katanya dengan gembira.
"Ya, tentu saja! Ide desainku pasti luar biasa!" Cali menimpali sambil tertawa kecil.
"Itu benar! Tapi, bir ini bikin aku makin percaya diri!" ujar Mat sambil meminum bir lagi. Dia lalu menyenggol lengan Cali. "Eh, cowok tampan di belakangmu itu kayaknya memperhatikanmu dari tadi," bisiknya sambil melirik pria di belakang Cali.
Cali hanya mengangkat bahu. "Nggak tertarik," balasnya malas sambil menyeruput birnya lagi.
Mat melotot tak percaya. "Astaga! Dia cakep banget! Ayolah, lihat sebentar aja!"
Cali mendengus, menatap temannya tajam. "Kalau kamu suka banget, kenapa nggak kamu aja yang nyamperin? Jangan ganggu aku soal beginian."
Mat tertawa kecil. "Dengar ya, chica, kamu itu kelihatan lengket banget sama masa lalu."
Cali mendesah panjang. Ini lagi, pikirnya. Setiap kali mereka nongkrong bareng, Mat selalu punya cara untuk mendorongnya ke arah laki-laki yang kelihatan tertarik padanya.
"Aku nggak punya waktu buat laki-laki. Kamu tahu itu," ujarnya tegas.
"Astaga, Cali! Kamu belum move on juga? Udah lama banget sejak pernikahanmu—"
Cali langsung melayangkan tatapan tajam, cukup untuk membuat Mat terdiam. Mat buru-buru merapatkan mulutnya dan memberi isyarat seperti mengunci bibir.
Cali menghela napas sambil menyesap birnya lagi. Dia benci kalau Mat menyebut-nyebut masa lalunya. Itu bagian hidup yang ingin dia kubur selamanya. Kalau saja waktu bisa diputar balik, dia tak akan pernah mau bertemu pria itu lagi.
Matanya terpejam sejenak, mencoba menyingkirkan bayangan itu. Tapi seperti biasa, ingatan itu kembali. Sepasang mata itu, menatapnya penuh kerinduan...
"Sayang... Cali..."
Dia membuka matanya dengan kasar, menurunkan gelas bir ke meja dengan sedikit hentakan. Dia langsung menuangkan bir lagi ke gelasnya.
"Kamu mau mabuk?" tanya Mat sambil menatapnya.
Cali memelototinya. "Kenapa kamu harus nyebut-nyebut Drake si brengsek itu lagi?"
Mat tertawa kecil. "Hei, aku nggak nyebut nama apa-apa, lho. Itu kamu sendiri yang ngomong."
Mendengar nama itu saja sudah cukup membuat darah Cali mendidih.
Drake Lustre. Pria tampan, penuh pesona, tapi juga alasan kenapa hidupnya hampir hancur lima tahun lalu.
Genggaman Cali di gelasnya semakin kuat, seiring kenangan pahit itu kembali menghantui...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments