Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILAN
Dokter Andika mempersilahkan rekannya duduk di kursi berseberangan dengannya, di ruang kerja yang tak begitu luas. Seorang dokter wanita paruh baya duduk tersenyum seraya membenarkan jas putih kebanggaannya.
"Apa yang sudah kamu lakukan? Pasien di ruang inap Anggur 16 itu menunjukkan ini padaku." Dokter Lina memperlihatkan sebuah foto dari ponselnya.
"Aaah ... itu hanya mp3 player biasa. Kenapa Dok?" tanya balik dokter Andika.
"Hmm ... Tepat seperti dugaan kalian, hasil visum mengatakan banyak hal." Dokter Lina meletakkan sebuah map ke meja dokter Andika dengan sedikit kasar.
Dokter Andika bergegas melihat ke dalamnya, memperhatikan satu demi satu hasil foto pemeriksaan visum. Keningnya mengernyit, ekspresi wajah serius memperjelas bagaimana kondisi Anggun yang tak bisa dianggap remeh.
Sesekali dokter Andika mendongak menatap serius ke dokter Lina seakan tak menyangka dengan apa yang dilihatnya dalam lembar demi lembar hasil pemeriksaan. "Bagaimana dengan keluarganya? dokter sudah bertemu mereka?"
"Aku tadi hanya memberinya suntikan obat penenang agar pasien bisa istirahat nyaman, aku merasa mendiskusikan hal-hal semacam ini bersamamu akan membantuku untuk mengambil keputusan tepat." Dokter Lina beranjak lalu berjalan menuju jendela, ia menghela napas panjang, menatap jauh ke luar.
"Dia terlihat histeris saat melihatku melintas di depannya, sesaat kami memang bertemu pandang, entah karena aku laki-laki atau karena baju ini. Itu hal pertama yang mengganggu pikiranku." Dokter Andika menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya, lalu menghela napas dan kembali mengingat kejadian di lobi beberapa saat lalu.
"Siapapun pelaku kekerasan itu, harus kita bantu untuk mengusutnya. Kita bertanggungjawab untuk hal ini."
"Hmmm ... sebelum traumanya semakin berkepanjangan, aku rasa dari responnya tadi masih bisa terselamatkan hanya dari beberapa terapi dari dokter Lina, satu-satunya dokter psikiater di rumah sakit ini," puji dokter Andika dengan wajah serius.
"Meski kamu bukan dokter spesialis psikologi, tapi pengalaman dan kepekaanmu aku butuhkan di rumah sakit ini. Akhir-akhir ini aku merasa kewalahan dengan banyaknya pasien terapi." Dokter Lina kembali ke tempat duduknya semula, menatap serius pada dokter Andika. "Setidaknya bantu aku untuk membujuk direktur agar mencari dokter psikiater lagi."
"Hahaha ... perkembangan jaman semakin maju pesat, gaya hidup semakin tak terkontrol, tapi kondisi perekonomian tidak stabil. Dokter khawatir akan adanya lonjakan jumlah pasien kah?" kelakar dokter Andika.
Dokter Lina menyibakkan rambutnya dengan tangan kiri seraya memijat keningnya, "Percaya atau tidak, jaman semakin maju, makin banyak orang datang mengeluh stress," sahutnya singkat. "Aku akan membujuk keluarga itu, selain mengusahakan pasien belia itu pulih, ada jalan serius lain yang harus kita bantu."
"Siap!" sahut mantap dokter Andika tanpa butuh berpikir ulang.
.
.
.
Sementara itu dirumah, Aulia tampak mondar-mandir dengan khawatir, seraya menjaga kedua adiknya yang terbangun menanyakan ayah dan ibu mereka secara bergantian. Meski tidak menangis, namun kedua bocah TK itu tidak mau segera kembali tidur, membuat Aulia sedikit kesal.
"Kalian jangan rewel ya, Ayah sama Ibu lagi nganter Kak Anggun ke dokter, besok Kak Lia ujian, bisa kacau kalau Kakak kesiangan bangun," pinta Aulia.
"Aku mau nunggu Ibu pulang baru mau bobok lagi!" eyel Arpin menyilangkan kedua lengan tangan di dada dengan ekspresi cemberutnya.
"Aku juga!" imbuh Arpan mengikuti Arpin.
"Iiih ... kalian ini ngeyel banget sih! Kakak tinggal tidur ya ... bodo amat nanti kalau ada hantu, biar kalian diculik terus dibawa ke rumah hantu. Mau?" bukannya menasihati perlahan, Aulia justru menakut-nakuti adiknya. (*kelakuan othor kalau ngancem ponakan nih begini🥴)
"Huwaaa ... hiks ... hiks ...." Kompak kedua bocah lantas menangis karena takut dengan ancaman Aulia.
"Haish ... malah pada nangis ... cup-cup jangan nangis, nanti datang orang gila. Kalian mau digendong orang gila?"
"Mbak Lia jahat! Huwa ...," tangis Arpin semakin keras diikuti Arpan.
"Aduuuh ... jangan bikin Kakak pusing dong! Kalian diem atau tak lempar keluar rumah? ini masih malem, Dek!" Aulia terlihat semakin kesal.
TOK ...TOK ... TOK !!!
Terdengar suara pintu rumah mereka diketok oleh seseorang.
"Lia! Ada apa?" terdengar suara seorang wanita dari luar rumah.
Aulia segera berjalan mendekat ke pintu depan, diikuti kedua adiknya yang masih menangis
"Ibu ... huwaaa ... ibu ...!" Arpin berlari mendahului Aulia, namun karena terburu, kaki Arpin tersandung karpet dan membuatnya terjatuh ke lantai dan menangis lebih keras. "Huwaaa ... sakit!!"
"Nah kan! Dibilang suruh diem malah ngeyel! Salah sendiri jatuh, bangun cepet!" sentak Aulia seraya menarik lengan adiknya itu sedikit kasar.
"Lia ... bukain pintu, ada apa kenapa tengah malem begini adik-adikmu nangis kenceng?" gedor seseorang dari luar.
Aulia segera menghampiri pintu dan membukanya, "Eh, Bude Anik, itu pada ngeyel, disuruh tidur nggak mau, malah lari-lari, kan jadi jatuh!" kilah Aulia.
"Ayah ibumu masih di rumah sakit?" tanya Bu Anik, tetangga sebelah rumah mereka.
"Iya Bude, nggak tahu kenapa mereka lama banget."
"Bude ... kaki Arpin sakit, huwaaa ...!" adu Arpin mendekati Bu Anik.
Bu Anik berjongkok menyambut kedua adik Aulia, merentangkan kedua tangannya, agar kedua bocah itu bisa dipeluknya secara bersamaan.
"Udah, cup-cup ... Lihat tuh, diluar masih gelap banget, nggak baik nangis malem-malem ... nanti semua temen-temen yang udah bobok jadi kebangun. Sekarang kalian bobok dirumah bude dulu mau nggak?" rayu Bu Anik seraya mengelus kepala kedua bocah itu.
Kedua bocah mengangguk kompak, "Mau ikut Bude, Mbak Lia jahat! Nggak mau sama mbak Lia! Hiks ... hiks ..." adu Arpan.
"Ya sudah, kalau ikut Bude, udahan dulu nangisnya, nanti bude bikinin susu, kalian mau susu apa? Boleh milih nanti. Tapi janji ya habis minum susu terus bobok. Deal?" ucap Bu Anik seraya membenahi wajah kedua bocah itu.
Anggukan mantap sebagai tanda menurut kompak ditunjukkan Arpan dan Arpin, lalu menggandeng tangan Bu Anik dan berjalan beriringan menuju rumah Bu Anik yang terletak tepat di samping rumah Anggun.
.
.
.
Sementara di rumah sakit, Bu Anas duduk cemas memandangi putranya yang masih terbaring lemah di ruangan khusus, di sofa tak jauh darinya, Anisa tertidur pulas. Sementara pak Tono berdiri dibalkon seraya menikmati sebotol kopi instan.
"Apa yang harus kulakukan untuk menutup mulut bocah itu ... kalau sampai ada yang tahu aku melakukan sesuatu padanya, bisa bahaya nanti. Hancur sudah hidupku!" batin pak Tono memikirkan Anggun.
Pria paruh baya itu memijat keningnya, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri yang telah beruban separuhnya, "Ah! Sial! Benar-benar sial!!"
"Ah! Aku tahu! Aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya bungkam selamanya!" gumamnya seraya mengangkat sebelah alisnya, begitu licik dan picik pemikirannya kali ini.
...****************...
To be continue....
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩