Anaya tak pernah menyangka hidupnya sebagai seorang gadis yatim bisa berubah drastis dalam satu malam. Tanpa pilihan, ia harus menikah dengan pria yang bahkan tak pernah terlintas di pikirannya.
Akmal, CEO muda yang tampan dan bergelimang harta, harus menelan pahitnya pengkhianatan saat calon istrinya membatalkan pernikahan mereka secara sepihak.
Takdir mempertemukan keduanya dalam ikatan yang awalnya hampa, hingga perlahan benih cinta mulai tumbuh. Namun, ketika kebahagiaan baru saja menyapa, bayang-bayang masa lalu datang mengancam, membawa badai yang bisa meruntuhkan rumah tangga mereka.
Mampukah Anaya mempertahankan cintanya? Ataukah masa lalu akan menghancurkan segalanya?
Baca kisahnya hanya di "Mendadak Jadi Istri Miliarder"
Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
°
°
°
Nyonya Kikan yang baru saja datang, dan menyaksikan dari balik pintu kaca ke dalam ruangan tempat Khanza dirawat dengan wajah penuh keprihatinan. Dia tahu pasti telah terjadi sesuatu.
"Semua ini gara-gara wanita sialan itu! Awas saja aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!" Nyonya Kikan menggeram dengan suara yang rendah dan penuh kebencian, matanya membara dengan kemarahan.
Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, seolah-olah siap untuk menyerang. Suasana menjadi tegang dan menakutkan, seolah-olah akan terjadi sesuatu yang tidak terduga.
Nyonya Kikan mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu menekan nomor seseorang dan menghubunginya. "Ada tugas untukmu, dan lakukan dengan benar, jangan sampai mengecewakanku!"
Nyonya Kikan memutuskan sambungan telepon, dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Selanjutkan wanita itu melihat ke arah Khanza yang telah tertidur dengan tenang setelah dokter menyuntiknya dengan obat penenang.
°
Anaya menunggu Akmal yang telah berjanji untuk menjemputnya, di pinggir jalan depan kantornya. Namun tiba-tiba seseorang membekapnya dari belakang , membuat Anaya merasa kaget. Akan tetapi dia berhasil menguasai dirinya dengan menahan napas dan menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak menghirup obat bius yang dibekapkan ke mulut dan hidungnya.
Anaya berusaha untuk tidak panik dan tetap tenang, dia mencoba untuk mengingat pelajaran bela diri yang pernah dia pelajari. Dengan cepat, dia menggunakan teknik yang dia ketahui untuk melepaskan diri dari bekapan orang tersebut. Sambil berusaha melepaskan diri, Anaya juga berusaha untuk melihat siapa orang yang membekapnya, dan apa motifnya.
Anaya melihat ada tiga orang pria berdiri di hadapannya dengan muka garang. "Siapa kalian? Aku merasa tidak mengenal kalian, dan kenapa kalian mau menculikku?" tanya Anaya sambil menatap mereka satu persatu.
"Tidak penting kamu tahu siapa kami. Yang pasti kamu harus ikut dengan kami dan bertemu dengan majikan kami," ucap seorang pria dengan tubuh tinggi kurus.
"Majikan? Kalau saya tidak mau, apa yang kalian lakukan?" tanya Anaya mencoba mengulur waktu berharap Akmal akan segera datang.
Salah satu dari mereka pun menjawab, "Maka kami akan memaksamu dengan kekerasan,"
Anaya berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan rasa takutnya. "Kalian tidak akan berani melakukan itu," kata Anaya dengan suara yang stabil. Dia memperhatikan sekelilingnya, mencari kesempatan untuk melarikan diri atau mencari bantuan.
Maka Anaya berlari secepat mungkin, begitu melihat peluang. Napasnya terengah-engah, dan jantungnya berdegup kencang. Dia tidak berani melihat ke belakang, takut melihat ketiga orang pria itu mengejarnya. Dia hanya fokus pada tujuannya, mencari tempat yang aman dan lapang untuk bisa menghadapi mereka dengan lebih baik.
Setelah beberapa saat berlari, Anaya akhirnya berhenti di sebuah tanah kosong yang cukup lapang. Dia berdiri tegak, menarik napas dalam-dalam, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga orang pria itu.
Dia mencoba memprovokasi mereka dengan kata-katanya yang berani, berharap bahwa salah satu dari mereka akan terpancing dan mau melawan dia satu lawan satu. Dengan demikian, Anaya berharap bisa mengurangi jumlah lawannya dan memiliki kesempatan lebih baik untuk melarikan diri atau mempertahankan diri.
"Kalau kalian berani ayo satu lawan satu. Masa menghadapi gadis kecil sepertiku saja harus keroyokan," kata Anaya. Ia mencoba memprovokasi.
Tantangan Anaya dijawab dengan senyum sinis oleh salah satu lawannya. "Baik, kalau memang itu maumu! Siapa takut?" Salah satu dari mereka bertiga langsung melancarkan serangan dengan cepat dan tidak terduga. Matanya memancarkan amarah dan kekesalan
"Bagus, dan aku akan menghadapi kalian satu per satu!" Suara Anaya terdengar menggema di udara di tengah aksinya melawan musuh.
Anaya dengan cepat menghindar dan melancarkan serangan balik. Tinjunya menghantam lawan dengan tepat, dan membuatnya terjatuh. Anaya tidak memberi kesempatan lawannya untuk melancarkan serangan.
Lawannya berusaha untuk bangun, tapi Anaya kembali melakukan serangan dengan begitu cepat. Dan tendangannya membuat lawan terkapar.
Melihat temannya tak berdaya, seorang di antaranya berusaha menyerang Anaya dengan membabi-buta, membuat Anaya mundur untuk mengatur strategi. Matanya tajam mengawasi pergerakan musuhnya. Entah jurus apa yang dipakainya, ia melompat tinggi dan melayang ke udara, lalu memberikan tendangan secara beruntun pada kedua pria yang sedang terpana melihatnya. Keduanya langsung jatuh tersungkur di tanah.
Anaya bergegas mendekati mereka yang masih terkapar, matanya menatap tajam. "Siapa yang memerintahkan kalian untuk melakukan ini padaku? Jawab!!!" tanyanya, dengan suara tegas.
Salah satu mereka menelan ludah dengan susah payah, ia tampak ketakutan. "K-kami... ka-mi diperintahkan o-oleh... N-nyonya Kikan."
Anaya mengerutkan kening. "Tante Kikan? Rupanya wanita itu benar-benar minta dikasih pelajaran!" Ia menggeram dalam hati.
°
Anaya memutuskan untuk pulang setelah menghubungi polisi. Sesampainya di rumah ia disambut oleh kedua mertuanya yang tersenyum hangat padanya. "Assalamualaikum, Ayah, Bunda," sapanya. Ia mencium punggung tangan kedua mertuanya dengan takzim.
"Waalaikumsalam, Nak. Bagaimana di kantor hari ini?" tanya Bunda Marini dengan suara yang lembut dan penuh perhatian. Pak Deni juga memandangnya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Anaya merasa nyaman dan aman di dekat mertuanya, jauh dari kejadian yang menegangkan sebelumnya.
"Baik, Bun. Semua berjalan lancar," Anaya menjawab seraya duduk di dekat kedua mertuanya.
"Suamimu mana, tidak bareng, tah?" tanya Bunda Marini sambil melihat ke depan jalanan.
"Tadi...sebenarnya Nay janjian pulang bareng Mas Akmal, Bun. Tapi..." Anaya menggantung ucapannya. Dia berpikir untuk jujur atau tidak pada kedua mertuanya tentang kejadian yang baru saja dialaminya.
"Ada apa, Nay? Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Pak Deni.
Anaya menimbang-nimbang, dan akhirnya dia memilih untuk jujur pada kedua mertuanya. "Emmm...begini Ayah, Bunda. Tadi waktu Nay menunggu Kak Akmal, tiba-tiba..." Anaya menjelaskan semua kejadian yang dialaminya, dari saat menunggu Akmal hingga berhasil melarikan diri dari ketiga orang pria yang mencoba menangkapnya.
Bunda Marini dan Pak Deni mendengarkan dengan seksama, wajah mereka semakin serius dan khawatir. "Nay, kamu harus berhati-hati," kata Pak Deni dengan nada serius. "Kita tidak tahu apa motif mereka, tapi yang jelas mereka tidak memiliki niat baik."
Bunda Marini mengangguk setuju, "Iya, Nak. Kamu harus selalu waspada dan tidak boleh sendirian. Apalagi setelah kejadian ini."
Anaya memandang Ibu dan ayah mertuanya dengan wajah serius, membuat kening ibu mertuanya berkerut. "Ada apa, Nak?" tanya Bunda Marini.
"Sebenarnya... ada yang ingin Nay, tanyakan sama Ayah dan Bunda," ucap Anaya.
°
°
°
°
°
nanti jadi bumerang.
jawaban yg tepat