Traditional Marriage

Arunakha seolah punya ide cemerlang saat melihat Melody hanya memakai tanktop dan celana pendek. Ia berpikir kalau Melody h4mil kemungkinan besar Melody akan menikah dengannya.

Tapi pikiran itu ia buang sejauh mungkin. Jika mereka berpisah, mungkin menjadi sahabat. Ia tidak ingin membuat Melody memusuhinya walau mereka bercerai. Ia bahkan baru menyadari tanpa Melody rumah terasa sepi.

"Ngapain kamu datang? suratnya sudah kamu terima?" ucap ku tanpa menoleh. Rasanya lebih penting scrol tikt0k dari pada ngurusi kedatangannya.

"Aku ingin kamu meninjau kembali keinginanmu menggugat suamimu. Apa salahku sehingga kamu benci padaku. Mentang-mentang aku miskin. Pekerjaan diputus seenaknya, padahal aku tidak bersalah." sahut Arunakha sedih.

Mataku reflex memandangnya. Aku cepat mempersilahkannya duduk disampingku.

"Duduklah baru bicara. Kamu tidak ada salah, papa yang tidak setuju dan aku juga tidak ingin kembali lagi padamu. Lebih baik kamu kembali dengan Belinda."

"Belinda sudah mau menikah, wanita itu tidak mungkin kembali lagi kerumahku karena ibuku mengusirnya. Ibu berpikir kamu akan kembali padaku ternyata kamu meninggalkanku. Nasibku memang sial."

"Karena Belinda meninggalkanmu akhirnya kamu mencariku? Maaf Arun aku terpaksa menerima perjodohan ini. Aku ingin papa senang, pernikahan ini yang dia ingini, aku akan mencoba meluluskan permintaanya."

"Kamu istriku, tidak ada hubungannya dengan Belinda, aku yang tidak mau menikah dengannya. Setelah kamu menghilang rasanya h4mpa, kehadiran Belinda tidak bisa membuatku berny4wa."

"Kamu telat menyadari kalau b4bumu bisa membuat hidupmu k4cau, hehe.." candaku membuat dia tersenyum getir.

"Sebenarnya papa berkorban perasaan, cint4 untukku. Aku menyuruh papa putus dari Julianti dia mau, itu yang membuat aku kasihan padanya. Kami akur dan saling menghargai dan mencoba tidak menyakiti perasaan masing-masing."

"Kalau memang itu keinginanmu aku akan melepaskanmu. Walau sangat menyakiti, aku tahu cint4 tidak seharusnya bersatu. Semoga kamu bahagia."

Air mata Arunakha menetes perlahan. Aku tertegun melihatnya. Pria tampan itu menunduk lesu, ingin rasanya mem*luk dan menghiburnya, supaya dia tidak sedih tapi aku tidak mau membuat dia berharap padaku.

"Maafkan aku Arun, kita tetap sebagai sahabat, kamu jangan takut tidak ketemu aku. Nanti aku kasih tahu papa supaya kamu kembali kerja."

"Terimakasih sayank. Pada saat kerjaanku di putus aku bingung, karena pemasukan dari sana saja. Tidak ada kerjaan lain. Aku juga tidak bersemangat hidup. Semenjak aku yang mengirim barang ke hotel pak Alit kerjaannya komplain terus, bingung jadinya."

"Pak Alit papanya Bryan, tentu saja dia tidak senang padamu. Nanti aku bicara masalah mu."

"Aku tahu itu dan berusaha baik. Setiap aku datang dia menjelekkan kwalitas barangku."

"Dulu aku sering menyuruh kamu lihatin kerjaanku. Barang yang dibeli harus segar dan bersih, kwalitasnya bagus.Jangan di anggap sepele kritikan konsumen, biar keuntungan tipis yang penting lancar dan berlanjut."

"Orang hotel bisa menilai apa kamu bisa dipertahankan atau tidak. Kerja harus on time. Nanti aku ajari sekali lagi sebelum aku menikah."

"Trimakasih sayank aku akan menuruti perintahmu. Terasa sekali pengeluaran uang kalau tidak bekerja."

"Aku telepon papa dan pak Alit, supaya kamu kembali diterima. Prosesnya agak lama, kita memberhentikan suplier baru terlebih dahulu, setelah itu baru kamu bisa masuk. Tapi bikin proposal dulu."

"Baiklah, kamu begitu baik. Berbahagialah orang yang mendapatkanmu."

"Coba dulu kamu baik mungkin aku tidak akan menikah dengan Bryan."

"Aku menyesal sekali, perasaanku hancur. Seandainya waktu bisa di ulang kembali aku akan menuruti kemauanmu."

"Kita tidak suami istri, tapi kita tetap menjadi teman. Kalau ada masalah kamu bisa curhat denganku." ucapku dengan tulus. Aku menatap Arunakha, matanya berkaca-kaca.

Arunakha berdiri, ia berjalan menuju jendela, menatap keluar. Hatinya sangat g4lau membayangkan istrinya akan pindah ke p*lukan Bryan.

Arghh...

Arunakha meregangkan otot-ototnya.

"Yank, aku jadi pembantu disini ya, tukang kebun bolehlah..."

"Gil4 kamu, tidak boleh menyerah dengan keadaan. Kamu masih muda masa depan masih panjang. Sudah ada kerjaan yang benar, malah mau jadi b4bu. Menikah lah dengan gadis yang sesuai kreteriamu."

"Aku tidak mau menikah lagi!! Aku bisa gil4 menahan cemb*ru, membayangkan kamu di p*lukan Bryan. Rasanya aku ingin menc*kik Bryan." jawabnya ketus.

"Itu perasaan sesaat lama-lama pasti kamu biasa. Kamu ganteng, gampang mencari istri. Atau aku mencarikanmu istri baru?"

"Aku tidak mau menggantikanmu dengan wanita lain sampai nafasku berhenti. Yank, boleh aku menginap disini, tidur dibangku tidak apa-apa."

"Tidak boleh, aku tidak mau mengambil resiko."

"Kita sudah suami istri, tidak masalah kalau menginap sehari. Ini pertemuan kita yang terakhir. Setelah itu aku tidak mau bertemu lagi denganmu."

"Kenapa gitu, kita akan bertemu lagi setelah aku menikah. Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh." Ucapku ikut sedih.

Jangan-jangan dia mau bunuh diri atau ingin pergi jauh. bathinku. Arun pemuda ganteng, senyumnya menawan, tutur katanya tegas cenderung dingin. Cuek jika ada wanita lain.

Aku berpikir dia orang yang setia padahal dulu Belinda selingkuh, waktu Belinda kembali dia menerimanya lagi.

Gimana ini, hatiku seakan bercabang. Aku kasihan padanya. Namun disisi lain aku harus menepati janji kepada papa.

Aku sudah terlanjur setuju menikahi Bryan, padahal banyak pemuda yang ingin nyentana dan menikah denganku, tapi papa malah memilih Bryan karena pak Alit teman baik papa.

"Kalau berjodoh kita akan bertemu kembali. Jangan berpikir yang tidak-tidak, banyakin berdoa dan giat bekerja. Kamu masih punya dua tanggungan, Ibu dan Diah. Mereka perlu biaya."

"Perkawinan kita sebenarnya belum sah di mata hukum, cuma sah di mata Tuhan, aku tidak ingin memenuhi gugatanmu. Anggap kita sudah bercerai, pernikahan kita ibarat nikah siri, kalau sudah bosan pisah begitu saja. Tidak ada dirugikan kamu tetap seorang gadis yang tersegel." ucap Arunakha sendu.

"Berarti kita sudah cerai mulai hari ini?" tanyaku ragu. Sungguh aku tidak faham masalah ini.

"Sudah sayank, kamu bebas menikah." ucap Arunakha mem*lukku. Dia kembali sesenggukan. Aku membiarkan wajahnya berada dibahuku.

"Arun, kamu harus sabar dan menerima takdirmu. Ini pelajaran berharga supaya kamu tidak jvlid kepada orang lain."

Aku mengelus punggungnya, dia semakin er4t mem*luk ku. Kami terhanyut dalam kesedih4n.

"Aku mencint4imu sayank....." bisiknya.

Aku tidak mampu menjawab, perasaan melow timbul saat ingat mama. Beginilah rasanya saat kehilangan mama.

Ntah siapa yang duluan bergerak tiba-tiba b*bir kami saling menyatu. Arunakha lalu mereb4hkan tubvhku dan menindihnya. Aku tidak tahu kalau Bryan sudah berada di kamarku. Dia mengambil gambar kami.

"Pokk..Pokk..Pokk."

"Pertunjukan yang bagus, d4sar b4jingan, pecund4ng kau!!" teriak Bryan menarik baju Arunakha sampai jatuh.

****