Elena adalah agen rahasia yang sedang menjalankan misi untuk mengambil informasi pribadi dari kediaman Mafia ternama bernama Luca Francesco Rossi. Saat menjalankan misi Elana terjebak dan menjadi tawanan beberapa hari.
Menyamar sebagai wanita panggilan, setelah tidur bersama pria yang menjadi mafia berbahaya itu, Elena menyelinap dan berhasil mendapatkan informasi penting yang akan menghancurkan setengah kekuatan milik Luca.
Dan itulah awal dari kisah Luca yang akan memburu dan ingin membalas dendam pada Elana yang menipunya. Disisi lain Elena yang bekerja menjadi agen rahasia berusaha menyembunyikan putri kecil rahasianya dengan mafia kejam itu.
Sampai 4 tahun berlalu, Luca berhasil menemukannya dan berniat membunuh Elena. Dia tidak mengetahui tentang putri rahasianya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dadeulmian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah hari pernikahan yang panjang dan penuh drama, Elena akhirnya bisa menarik napas panjang ketika masuk ke kamar pengantin mereka yang megah. Ruangan itu dihiasi dengan bunga mawar putih dan lilin-lilin yang memberikan suasana hangat.
Namun, bukannya merasa tenang, Elena malah merasa gugup. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini—terjebak dalam pernikahan dengan pria yang hampir tidak ia kenal secara emosional.
Luca masuk ke dalam kamar tak lama setelahnya, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengannya. Ia menatap Elena dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Jadi,” kata Luca akhirnya, memecah keheningan. “Kita benar-benar sudah menikah.”
Elena menoleh dengan tatapan sinis. “Terima kasih atas pengingatnya. Aku hampir lupa.”
Luca berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah darinya. “Aku tahu ini bukan yang kamu inginkan. Tapi ini adalah langkah terbaik untuk Sophia.”
Elena menghela napas panjang. “Kamu selalu punya alasan, ya? Pernikahan ini, malam ini... semuanya demi Sophia.”
“Apakah itu masalah?” tanya Luca, nadanya dingin namun tegas.
Elena menatapnya tajam. “Tidak, kalau saja kamu tidak memaksaku seperti ini.”
Suasana menjadi tegang. Mereka saling menatap, seolah-olah sedang mencoba membaca pikiran satu sama lain.
Namun, sebelum salah satu dari mereka bisa mengatakan apa-apa lagi, pintu kamar terbuka lebar.
“Mommy! Om jelek!”
Sophia berlari masuk dengan boneka beruangnya, wajahnya berseri-seri.
“Sophia!” seru Elena, hampir kehilangan keseimbangan. “Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya tidur di kamarmu?”
Sophia memanjat ke tempat tidur besar di tengah ruangan dan melompat-lompat di atasnya. “Aku nggak bisa tidur! Kamar Pia terlalu besar dan terlalu sepi.”
Luca memijat pelipisnya, mencoba menahan frustrasi. “Sophia, ini bukan waktunya bermain.”
Sophia berhenti melompat dan menatap Luca dengan mata besar penuh kebingungan. “Kenapa? Om jelek nggak suka main bersama Pia?”
Elena menahan tawa di balik tangannya, sementara Luca hanya bisa menghela napas panjang.
“Sayang,” kata Elena lembut sambil mendekat, “kamu harus tidur. Besok kamu butuh energi untuk bermain lagi.”
“Tapi aku mau tidur sama Mommy dan Daddy!” Sophia bersikeras, memeluk bonekanya erat-erat.
Luca melirik Elena, berharap ia bisa menyelesaikan situasi ini. Namun, tatapan Elena yang penuh rasa geli hanya membuatnya semakin frustrasi.
“Sophia,” kata Luca akhirnya dengan nada tegas, “ini adalah malam pertama kami. Kamu harus tidur di kamarmu sendiri.”
Sophia mengerutkan kening, tampak berpikir keras. “Malam pertama? Apa itu artinya?”
Elena terbatuk, pipinya memerah. “Itu artinya Mommy dan Daddy butuh waktu berdua, Sayang.”
Sophia tampak bingung, tetapi kemudian ia tersenyum lebar. “Oke! Kalau begitu Pia tidur di sini aja. Mommy dan Daddy tetap berdua, kan?”
Luca menutup mata, merasa kesabarannya diuji. “Sophia, kamu punya kamar yang besar dan nyaman. Tidurlah di sana.”
Sophia memeluk Luca dengan tiba-tiba, mengejutkannya. “Daddy nggak sayang Pia, ya?”
Elena tidak bisa menahan tawa lagi. “Itu akhirnya.”
Luca menatap Elena dengan tajam. “Ini bukan lelucon.”
Namun, Sophia sudah menggulung dirinya di tengah tempat tidur dengan selimut besar, matanya perlahan tertutup. “Good night, Mommy. Good night, Daddy,” katanya dengan suara mengantuk.
Elena duduk di sisi tempat tidur, menatap Sophia dengan senyum lembut. “Sepertinya malam pertama kita berakhir di sini.”
Luca hanya berdiri di dekat pintu, menatap anak kecil itu dengan campuran frustrasi dan kebingungan. “Ini bukan seperti yang kubayangkan.”
Elena menoleh padanya, mencoba menahan tawa. “Aku lega dengan ini.”
Luca mendesah panjang, lalu mengambil kursi di dekat jendela. “Kalau begitu, aku tidur di sini malam ini.”
Elena tersenyum kecil, lalu berbaring di samping Sophia, mengusap kepala putrinya dengan lembut. Meski malam itu jauh dari romantis, ada sesuatu yang anehnya terasa hangat—keluarga kecil mereka mulai terbentuk, meskipun dengan cara yang sangat tidak biasa.
—
Malam di mansion Rossi sudah mulai terasa sunyi, kecuali suara angin lembut yang bertiup di luar jendela. Elena duduk di lantai dekat meja kecil, menatap peta kota yang ia ambil dari perpustakaan mansion. Ia mencatat rute-rute potensial untuk kabur bersama Sophia.
Sementara itu, Luca tertidur di kursi dekat jendela, tubuhnya sedikit membungkuk dengan lengan bersilang di dada. Wajahnya terlihat lebih tenang dari biasanya, jauh dari ekspresi dingin yang selalu ia tunjukkan.
“Baiklah,” gumam Elena pelan sambil menggambar garis di peta. “Jika aku bisa melewati penjaga di pintu utama dan membawa Sophia ke taman belakang, kami bisa memanjat pagar dan kabur sebelum ada yang menyadarinya.”
Ia melirik jam di dinding. Sudah lewat tengah malam. Jika ia bergerak sekarang, ada peluang besar rencananya berhasil.
Namun, ketika ia hendak berdiri, pandangannya tertuju pada Luca yang masih terlelap di kursi. Napasnya pelan dan teratur, rambut hitamnya sedikit berantakan, dan wajahnya yang biasanya tegang kini terlihat damai.
“Aku tidak percaya aku menikah dengan pria ini,” gumam Elena sambil menggelengkan kepala.
Ia berjalan mendekat dengan hati-hati, memastikan langkahnya tidak membangunkan Sophia yang tertidur pulas di tempat tidur. Ketika ia sampai di dekat Luca, ia menyadari sesuatu yang mengganggu: ruangan itu mulai terasa dingin, dan Luca tidak mengenakan selimut.
“Dia mungkin mafia, tapi dia juga manusia,” gumam Elena lagi. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke lemari untuk mengambil selimut.
Dengan perlahan, ia menyelimuti Luca, memastikan kain itu menutupi bahunya. Tangannya berhenti sejenak saat ia melihat wajah Luca dari dekat.
“Aneh,” pikirnya. “Dia terlihat... berbeda.”
Ia segera menggelengkan kepala, menepis pikirannya. “Fokus, Elena. Kamu punya rencana.”
Namun, saat ia hendak kembali ke meja, suara rendah membuatnya berhenti.
“Tidak perlu repot-repot.”
Elena menoleh dengan terkejut. Luca sudah membuka matanya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Kamu belum tidur?” tanya Elena gugup.
“Aku tidak sepenuhnya tidur,” jawab Luca sambil menyesuaikan posisi duduknya. “Tapi aku tidak menyangka kamu akan... menyelimuti aku.”
Elena mendengus pelan. “Aku hanya tidak ingin ada yang mati kedinginan di rumah ini.”
Luca tersenyum kecil, nyaris tidak terlihat. “Kamu selalu punya seribu alasan untuk semuanya, ya?”
Elena tidak menjawab, tetapi segera kembali ke meja, berusaha mengabaikan tatapan Luca yang terus mengikuti gerakannya.
“Apa yang kamu coba lakukan?” tanya Luca tiba-tiba.
Elena mencoba menyembunyikan peta di bawah beberapa kertas lain. “Hanya... merencanakan sesuatu.”
“Merencanakan apa?” tanya Luca dengan nada lebih curiga. Ia berdiri dan berjalan mendekat, tatapannya tajam.
Elena merasa panik, tetapi mencoba tetap tenang. “Ini hanya... catatan biasa.”
Luca menatap peta di meja, lalu menoleh padanya dengan senyum sinis. “Catatan biasa, ya? Jadi kamu berpikir untuk kabur?”
Elena membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang, menyadari bahwa ia tidak bisa berbohong lagi.
“Aku hanya ingin memastikan Sophia aman,” katanya akhirnya.
Luca menatapnya beberapa detik sebelum menarik kursi dan duduk di depannya. “Kamu tidak perlu kabur untuk melindungi Sophia. Dia aman di sini.”
“Mungkin menurutmu begitu,” jawab Elena tajam. “Tapi dunia ini penuh bahaya, terutama dengan semua musuh yang kamu miliki.”
Luca mengangguk pelan, mengakui kebenaran itu. “Itu sebabnya aku melakukan semua ini, Elena. Pernikahan kita, pengamanan di mansion ini, semuanya untuk memastikan tidak ada yang bisa menyentuh Sophia.”
Elena terdiam, terkejut dengan nada serius dalam suara Luca. Ini adalah pertama kalinya ia merasa pria itu benar-benar peduli, meskipun caranya kasar dan penuh kontrol.
“Aku tahu kamu tidak percaya padaku,” kata Luca lagi. “Tapi aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada Sophia. Dia adalah segalanya bagiku... seperti dia segalanya bagimu.”
Elena menatapnya, bingung dengan perasaan aneh yang muncul di hatinya. Untuk sesaat, ia melihat Luca bukan sebagai mafia yang dingin, tetapi sebagai seorang ayah yang peduli.
“Baiklah,” gumamnya akhirnya, meski hatinya masih ragu. “Aku akan berhenti mencoba kabur. Untuk sekarang.”
Luca tersenyum kecil, lalu berdiri. “Itu sudah cukup.”
Ia berjalan kembali ke kursinya dan duduk, memejamkan mata seolah tidak ada yang terjadi. Elena menghela napas panjang, lalu kembali ke tempat tidur dan berbaring di samping Sophia.
Namun, sebelum ia tertidur, ia melirik ke arah Luca sekali lagi.
“Apa yang dia rencanakan sebenarnya?” pikirnya.
To be Continued...