Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Keadilan yang bisa dibeli
Arga berjalan dengan langkah santai, menyeberang di koridor menuju toilet, sambil memikirkan tumpukan tugas yang belum selesai. Tapi, tiba-tiba ada sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Di balik sedikit celah pintu ruang rapat, dia bisa mendengar suara dua orang sedang mengobrol dengan penuh semangat. Arga yang ingin cepat-cepat melanjutkan langkahnya, tiba-tiba merasa tertarik. Ada apa sih di dalam? Pikirnya, merasa penasaran.
Dengan gerakan hati-hati dan sedikit meliuk, Arga melangkah lebih dekat ke pintu rapat dan tanpa sengaja, telinganya menangkap percakapan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Di dalam ruangan itu, terlihat dua sosok pejabat berpakaian rapi, tengah duduk santai di kursi, tertawa lepas layaknya teman lama yang sedang berbincang. Salah satunya adalah Ivan, sang pelaku penganiayaan, dan satu lagi adalah seorang pejabat yang dikenal dekat dengan banyak orang di pemerintahan.
“Bantu saya ya, biar si Ivan ini bisa bebas. Dia ini anak saya, kamu harus lindungi dia,” kata salah satu pejabat itu sambil tersenyum lebar, seperti sedang berbicara tentang rencana liburan, bukan kejahatan.
Arga yang mendengarnya merasa seolah ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Apa? Arga berpikir, menahan napas. Maksudnya bebas? Kasus ini bukan main-main lho. Kenapa mereka tertawa begitu? Ini serius!
Tanpa sadar, wajahnya mengernyit, penuh tanda tanya. Mengapa mereka bisa begitu santai membicarakan seseorang yang seharusnya dihukum? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik layar? Tapi baru saja Arga hendak melangkah maju untuk mendengarkan lebih jelas, tubuhnya tiba-tiba ditarik ke belakang dengan keras.
Arga hampir terjatuh, namun beruntung bisa menahan keseimbangan. Dia menoleh dengan panik, dan di depannya sudah berdiri sosok yang membuatnya serasa terperangkap: Komandan Gunawan.
Arga yang terkejut, langsung membuka mulut untuk protes. “Pak Gunawan, saya—”
Tapi Gunawan sudah cepat-cepat mengangkat tangan, meminta Arga untuk diam dengan ekspresi wajah yang serius, bahkan lebih serius dari biasanya. "Kamu nggak perlu bilang apapun," kata Gunawan pelan namun tegas, "Kamu baru saja mendengar sesuatu yang tidak seharusnya kamu dengar."
Arga yang merasa jantungnya masih berdebar hebat, mencoba mengumpulkan keberanian, “Tapi, Pak, itu... itu kan—”
Gunawan menatap Arga dengan tatapan yang bisa membuat siapapun merasa terkunci dalam kebingungannya. “Kamu tidak mengerti. Yang kamu dengar tadi adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kamu bayangkan,” Gunawan berkata dengan nada yang lebih berat, "Untuk sekarang, kamu diam saja dulu dan jangan bilang apa-apa pada siapapun. Ini bukan urusan yang bisa diselesaikan dengan cara biasa. Pahami itu."
Arga terdiam. Tubuhnya terasa kaku, lidahnya mendadak kering. "Tapi Pak, ini kan... melibatkan keadilan," Arga coba bertahan, meskipun rasanya seperti melawan arus.
Gunawan menarik napas panjang dan mendekatkan wajahnya. “Arga, kamu baru belajar satu hal penting hari ini. Keberanian itu baik, tapi kebijaksanaan lebih penting. Dan jika kamu terlalu cepat melangkah, kamu bisa saja jatuh tanpa tahu kenapa.” Komandan Gunawan menatap Arga dengan penuh arti.
Dengan perasaan campur aduk, Arga hanya bisa mengangguk. Perasaan bingung, marah, dan kecewa bercampur jadi satu. Seolah-olah hari-harinya sebagai polisi sudah mengajarkan sesuatu yang lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan: dunia ini penuh dengan permainan yang rumit, dan terkadang, keadilan itu hanya sebuah ilusi yang harus dipertanyakan.
Gunawan memberi isyarat agar Arga kembali ke meja. "Jangan libatkan emosi kamu terlalu jauh, kamu masih baru. Jangan sampai karir kamu tamat bahkan sebelum kamu mulai."
Dengan langkah lesu, Arga pun kembali ke tempatnya, merasa seolah-olah baru saja dihantam badai besar. Sebuah perasaan berat yang tak terucapkan terus menggelayuti pikirannya. Dia ingin melakukan hal yang benar, tapi sekarang dia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis—satu langkah salah, dan semua bisa berakhir.
...****************...
Komandan Gunawan memberi isyarat dengan tangan, seolah mengajak Arga untuk ikut bersamanya. Arga yang sudah mulai terbiasa dengan segala keanehan dunia kepolisian ini, mengangguk ragu. "Makan siang, Pak?" tanya Arga, mencoba membiasakan diri dengan suasana yang terasa aneh.
Mereka berdua melangkah keluar dari markas, dan menuju ke sebuah warteg di sudut jalan yang terletak beberapa blok dari sana. Warteg ini sepi, hanya ada satu dua pelanggan yang sedang asyik melahap makanan mereka meski sudah lewat jam makan siang. Dinding warteg itu sudah mengelupas, dan bau sayur asem yang khas menyelimuti udara. Arga melihat ke sekeliling, sedikit bingung. Ini makan siang atau pertemuan rahasia? pikirnya.
Setelah duduk di salah satu meja yang agak di pojok, Gunawan mengangkat tangan, memberi tanda kepada ibu warteg untuk mendekat. "Nasi campur, Bu. Dua." Komandan Gunawan memesan dengan suara rendah, seolah tidak ingin menarik perhatian.
Setelah mereka duduk dengan piring penuh nasi di depan, Arga mulai merasa semakin cemas. “Pak, tadi… yang di ruang rapat itu—”
Gunawan mengangkat tangan, menyuruh Arga diam. “Dengar, Arga. Aku tahu kamu baru di sini, dan ini mungkin nggak seperti yang kamu bayangkan. Tapi dunia ini jauh lebih kotor dari yang bisa kamu bayangkan. Kamu harus berhati-hati. Ada hal-hal yang nggak bisa kamu selesaikan hanya dengan keberanian.”
Arga mengernyit, mencoba mencerna perkataan Gunawan yang terasa begitu berat. “Tapi itu— Ivan? Anak pejabat itu? Kenapa harus dibebaskan?” Arga bertanya dengan suara sedikit gemetar, bingung dengan apa yang baru saja ia dengar.
Gunawan menyendok nasi ke mulutnya, mengunyah dengan tenang, seolah tidak ada yang aneh. “Karena begitulah cara dunia ini bekerja, Arga. Suap di mana-mana. Orang yang punya uang dan koneksi bisa mendapatkan kebebasan yang tidak mereka layak dapatkan. Tapi bukan cuma Ivan, ini sistem yang lebih besar, lebih rumit. Kalau kamu ikut campur, kamu akan terseret ke dalamnya. Dan percayalah, itu bukan tempat yang ingin kamu tuju.”
Arga mengangguk perlahan, mencoba mencerna kata-kata Gunawan, meskipun hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kemarahan. “Tapi… kita kan polisi, Pak. Kita seharusnya menegakkan keadilan, kan?”
Gunawan meletakkan sendoknya, menatap Arga dengan tatapan tajam. “Keadilan? Itu tergantung siapa yang kamu tanya, Arga. Di negara kita, keadilan bisa dibeli. Kalau kamu benar-benar ingin bertahan di dunia ini, kamu harus tahu kapan harus diam, kapan harus berbicara, dan kapan harus memilih pertempuran yang bisa kamu menangkan.”
Arga merasa seperti disiram air dingin. Satu sisi hatinya yang ingin berjuang untuk kebenaran bertemu dengan sisi lain yang sadar bahwa ini bukan dunia yang sesederhana yang dia bayangkan.
Gunawan menyentuh bahu Arga dengan lembut, menandakan ini bukan sekadar nasehat, tapi peringatan serius. “Kamu masih muda, Arga. Dunia ini bisa menghancurkanmu jika kamu tidak hati-hati. Jangan sampai kamu jadi korban sistem busuk ini, atau lebih buruk—jadi bagian dari sistem itu.”
Mereka duduk dalam diam, hanya suara sendok yang terdengar sesekali. Arga masih memikirkan semua kata-kata Gunawan. Ketika ibu warteg datang membawa makanan, suasana kembali sedikit lebih ringan, meski beban di hati Arga semakin terasa berat.
Dan di tengah-tengah piring nasi campur yang sederhana, Arga mulai menyadari bahwa hidupnya sebagai polisi mungkin tidak akan sesederhana yang dia harapkan. Sebuah dunia di mana prinsip dan kenyataan sering kali beradu, dan setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati—termasuk langkahnya yang berikutnya.
...****************...