Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Lily tidak akan bisa membohongi kalau dirinya mulai merasa cemas. Jantungnya mulai memompa lebih kencang, sedangkan nafasnya mulai sesak. Keberanian yang sudah disusun, kini lenur jadi debu.
Namun, Lily mencoba untuk berkonsentrasi. Dia harus menyelesaikan permasalahannya dengan Tuan Sebastian yang dikatakan memiliki ketampanan bak dewa.
Rasanya, wajah setampan apapun akan luruh malau tidak dibarengi dengan sikap yang baik. Dan Xander sudah merendahkannya dengan kata-kata yang melukai hati.
Lily bertekad bulat untuk tidak mundur dan terus maju. Mencoba mengatur nafas untuk menenangkan gelora seluruh rasa di dalam batinnya.
Lily mendorong pintu besar itu. Dia yakin Xander juga pasti menunggu kedatangannya sedari tadi. Tidak ada gunanya pula mengulur waktu lagi. Mereka harus segera menyelesaikan masalah.
Lily bisa melihat jelas bagaimana sosok pria tegap tinggi itu berdiri di dekat meja kerjanya dengan kedua tangan tersembunyi di balik saku celananya seolah menunggunya.
Dia terlihat sibuk memperhatikan pemandangan sungai Hudson dan gedung-gedung pencakar langit yang ada di seberangnya. Aura yang Xander pancarkan, begitu kuat dan dominan.
"Apa kamu bisu?" tanya pria yang kini sedang berdiri angkuh itu tanpa memutar tubuhnya. "Atau, kamu memang tidak tahu bagaimana etika berkunjung dan masuk ke ruangan seseorang?"
Mendengar suara berat dengan nada ketus itu membuat Lily semakin resah. Dia hanya bisa meremas tangannya sendiri yang mulai basah karena keringat.
Pria itu jelas sudah menorehkan trauma dalam kepadanya, hanya dengan segala ucapan pedas yang terlontar dari bibir tipisnya. Apalagi kini setelah dengan mengejutkan, pria itu berbalik.
Xander menatap tajam sosok Lily dengan mata yang berada sedikit di atas masker yang dikenakan. Lily berusaha menahan kepalanya agar tidak menunduk.
Dia berusaha mati-matian balas menatap mata elang yang kini berbingkai kaca mata bening. Lily meyakinkan diri bahwa dia tidak takut. Dia tidak ingin kalah dalam pertempuran batin.
"Maaf, Tuan. Bukan tidak tahu etika berkunjung. Hanya saja, sepertinya Anda yang terlalu cepat menyadari keberadaan saya, bahkan sebelum saya sempat mengucapkan permisi.'
Mendengar ucapan gadis yang begitu berani itu membuat satu alis Xander naik ke atas dengan senyum miring yang khas. Tidak mengira kalau Lily mampu membaca situasi.
Diam-diam, Xander memang menunggu kedatangan gadis itu. Namun, Xander ragu kalau tindakannya terlalu kentara. Jadi, bagaimana Lily bisa mengetahuinya? Apakah itu sebuah kebetulan?
Tentu saja Xander sama sekali tidak menduga, kalau semua itu adalah ulah Julia.Resepsionis yang menyambut Lily dengan penuh suka cita sebelumnya.
Resepsionis yang secara terang-terangan mengatakan bagaimana Xander mengetahui segala hal tentang dirinya secara terperinci. Bahkan mengungkap bagaimana Xander sudah mengharap kehadirannya dari tadi.
"Jadi, Tuan. Bolehkan saya bertamu? Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda sekarang juga." Lily mencoba tegas.
"Tutup pintu di belakangmu dulu jika ingin berbicara denganku. Apa kamu ingin semua pembicaraan kita didengar oleh orang lain?" tanya Xander menyindir.
Teguran Xander sontak membuatnya berpaling demi melaksanakan perintah. Gadis itu diam-diam menggigit bibir menyadari kecerobohannya sendiri.
Dia memang secara tidak sengaja, membiarkan pintu itu terbuka. Menyisakan sedikit celah baginya untuk kabur. Kalau percakapan mereka nantinya menemui jalan buntu.
Lily menyadari bagaimanapun caranya bicara, pria itu memang dipastikan akan marah besar. Oleh karena itu, Lily reflek saja tidak merapatkan pintu besar itu.
Lily sadar kalau Xander pasti akan sangat marah. Siapa juga yang tidak akan marah kalau seseorang sudah menggelontorkan uang dengan jumlah yang sangat besar untuk sesuatu.
Ditambah lagi sebagian uangnya pun sudah diterima dan bahkan digunakan. Berbekal surat kontrak yang sudah disepakati bersama sebelumnya.
Namun, kini Lily datang untuk membatalkan semuanya dengan hanya bermodalkan harapan akan belas kasih sang pria. Walau itu hal yang mustahil, mengingat bagaimana pria itu memperlakukannya.
Xander pasti akan merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis asing sepertinya. Jadi, Lily coba memantapkan jiwa untuk menghadapi Xander yang mungkin akan mencoba untuk menganiaya bahkan membunuhnya.
Intinya, Lily takut hanya berada berdua dengan pria itu di dalam ruangan. Dia merasa harus mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lily belum ingin mati karena dia harus merawat sang Ibu. Harus memperjuangkan kesehatan dari wanita yang kini adalah satu-satunya keluarga baginya.
Membayangkan nasib sang Ibu yang akan merana sendiri di dunia yang kejam itu, membuat Lily merasa harus memperjuangkan hidupnya sendiri terlebih dulu dari pria di depannya itu.
Bagi Lily, Xander memang punya aura menyeramkan yang mampu membuat tubuh Lily bergidik ngeri. Namun, entah kenapa Lily mendadak mengingat ucapan Julia.
Gadis itu mengatakan kalau Xander tidak pernah terlihat dekat dengan wanita. Lily mendadak punya ide gila ini bahwa sebenarnya Xander mungkin tidak menyukai wanita.
Mungkin itu juga alasannya harus melakukan nikah kontrak dengan harapan dirinya tidak akan membicarakan apapun mengenai orientasi seksualnya nanti.
Namun, Lily segera membuang jauh segala pikirannya itu. Dia memilih berbalik pelan setelah menutup pintu sesuai perintah pria misterius itu.
"So? Apa yang ingin kamu bicarakan padaku, Lily?" Xander sudah bersandar di meja kerjanya.
Pantat pria itu sudah bertengger di permukaan meja kerjanya sambil bersedekap dengan sebelah alis yang kembali terangkat. Tingkah yang selalu sukses membuat Lily merasa terintimidasi.
Rupanya, masih sulit bagi Lily untuk mengungkap maksud. Terlebih saat pria itu menyebut namanya untuk kedua kalinya. Membuat seluruh bulu kuduknya merinding.
"Kalau tidak ada yang ingin kamu bicarakan, kamu bisa keluar dari ruangan ini karena aku tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat terlebih bahasa batin," sindir Xander yang tidak sabar dengan kebisuan Lily.
"Keluarlah sekarang juga. Dario akan segera membawamu ke mansion ku dan segeralah bersiap-siap di sana. Nanti malam kita akan-"
"Tidak, Tuan!" potong Lily cepat sebelum Xander menyelesaikan kalimatnya.
Dia tahu kalau suami misteriusnya itu pasti akan menyinggung perihal malam pertama yang tidak akan pernah ia penuhi setelah pembicaraan ini.
"Bukankah Anda memang menunggu kedatanganku. Kenapa sekarang mengusirku pergi dari tempat ini? Aku hanya berpikir dari mana aku harus mulai berbicara. Tidak bisakah kamu bersabar sedikit? !" ucap Lily dengan berani ketika Xander kembali menekannya.
Lily yang dengan berani bicara padanya dengan suara tinggi jelas menguji kesabarannya. Dia berusaha bersikap tenang walau penasaran dengan alasan sikap kurang ajar sang gadis.
"Majulah. Jarakmu bicara terlalu jauh dariku."
Lily dengan langkah kaki mantap, melangkah maju mengikuti perintah Xander. Namun, saat dia cukup dekat, pria itu langsung menarik pinggang ramping itu mendekat.
"Harus sedekat ini, Lily. Biar aku bisa mendengar suaramu dengan lebih jelas."
Lily terkesiap kaget saat tangan kokoh pria itu sudah mendekap pinggangnya lekat. Kedua kaki jenjangnya bahkan sudah diapit oleh kedua paha kokoh Xander.
Seluruh niat yang dikumpulkannya sedari tadi, sudah hilang sedari tadi. Sambil menatap mata pria di balik kaca mata itu, Lily berusaha keras menelan ludahnya sendiri.
**