Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 30 — Menantu Kebanggaan
Usai melaksanakan salat Subuh, Davira langsung pergi ke dapur sementara Kavindra dan Zein kembali tidur. Niatnya, hari ini ia akan membuat sarapan untuk keluarga barunya.
Melangkahkan kaki ke dapur, Davira menyalakan lampu dan mulai menyiapkan bahan masakan yang tersedia di kulkas. Dengan senang hati, ia mulai memotong sayuran dan menyiapkan sarapan.
Tanpa Davira sadari, seseorang tengah menatapnya dari meja makan. Karina tak bisa melepaskan pandangannya pada menantu perempuannya yang sangat rajin.
"Pagi-pagi begini Davira sudah bangun dan memasak. Aku benar-benar tidak salah memilih menantu," gumam Karina. Niatnya untuk mengambil air minum terlupakan sepenuhnya.
Aroma masakan Davira menguar, menggoda indra penciumannya yang tajam. "Punya menantu yang pandai memasak begini, aku harus segera memperkenalkannya pada geng sosialita, mereka pasti iri maksimal nih!"
Karina beranjak mendekati Davira yang tengah asyik memasak itu. Membuat perempuan itu sedikit terlonjak kaget dengan kehadirannya.
"Mama kok sudah bangun? Mama ada perlu sesuatu? Biar Davira siapkan," katanya cepat sambil mematikan kompornya.
Karina menggeleng pelan. "Enggak, tadi Mama mau ambil minum, eh malah lihat kamu di sini. Sedang masak apa? Padahal kamu gak perlu repot-repot, Nak. Sarapan biasanya dimasak sama chef pribadi," terang Karina.
Perempuan berhijab itu tersenyum lembut. "Gak apa-apa, Bu. Davira suka aja kalau memasak sendiri. Gak masalah, kan, Bu? Kalau Davira yang memasak sarapan pagi?"
"Tentu, tentu, kamu bebas menggunakan dapur ini, Sayang. Tapi lain kali tidak perlu, ya. Apalagi setelah kejadian kemarin, kamu seharusnya banyak istirahat saja."
Karina meraih botol minum yang dibawanya dari kamar dan mulai mengisinya dengan air putih. Ia tak sadar bahwa ucapannya berhasil membuat Davira tertegun dan terdiam selama beberapa saat.
"Ma … soal kejadian kemarin itu … " ucap Davira tertahan, matanya yang menyiratkan kesedihan menatap Karina dengan sendu.
Tersenyum singkat, Karina kembali mendekati menantunya dan mengusap bahu Davira pelan. "Mama sudah dengar semuanya dari Kavindra. Maafkan papa mertuamu, ya, Nak? Sifat beliau memang agak keras dan cenderung tidak bisa dibantah," kata Karina setengah berbisik.
"Tapi, meskipun begitu, sebenarnya Kailash hanya menginginkan yang terbaik untuk cucunya dan keluarga ini. Jangan terlalu didengar, ya, Nak. Beliau hanya bersikap impulsif waktu itu, Davira tetap boleh bekerja, Sayang. Mama pasti akan dukung Davira."
Kini, Davira semakin yakin dengan kebaikan keluarganya. Betapa beruntungnya ia mendapatkan mertua yang sebaik dan sepengertian seperti Karina.
Davira memegang kedua tangan Karina lembut, mengulas senyum sebelum berkata. "Terima kasih, ya, Ma. Tolong do'akan Davira semoga bisa menjadi menantu, istri dan ibu yang baik. Soal keputusan itu, Davira juga sudah memutuskan, Ma."
Davira mengambil napas panjang, ia sudah memikirkannya semalaman dan ia harap keputusannya tepat untuk dibicarakan sekarang bersama Karina.
"Davira putuskan untuk berhenti saja bekerja di Kinder School," katanya kemudian membuat Karina sedikit terkejut. "Davira pikir sepertinya yang dikatakan papa itu benar, sudah seharusnya Davira fokus pada Kavindra dan Zein. Davira tidak mau hal yang sama terulang lagi, Ma."
Karina tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Davira. "Ya ampun, Davira sayang. Terima kasih, ya. Jika itu keputusanmu, Mama akan dukung."
"Sekali lagi terima kasih, ya, Ma. Davira janji akan berusaha menjadi yang terbaik," kata Davira seraya mengusap bulir bening yang tak sengaja jatuh dari matanya.
"Kamu sudah jadi menantu terbaik buat Mama. Oh, ya, nanti siang kamu ada acara?"
Davira menggeleng pelan, "Pagi ini rencananya Davira mau mengantarkan surat permohonan pengunduran diri, Ma. Selebihnya tidak ada, kenapa memangnya, Ma?"
"Ah, tidak. Kalau tidak ada rencana, Mama tadinya mau memperkenalkan Davira ke teman-teman mama siang ini, bisa ya?"
Davira tampak berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk setuju. "Bisa, Ma."
"Oke, kalau begitu nanti kita siap-siap, ya."
•••
Siang hari seperti yang dikatakan Karina, ia sungguh-sungguh mengundang semua teman sosialita-nya ke rumah dengan tujuan memperkenalkan menantu barunya— Davira kepada mereka semua.
Tujuh orang perempuan dengan pakaian mewah dengan aksesoris berlian memasuki rumah mewah itu dengan rasa penasaran sekaligus antusias tinggi. Kesemuanya adalah istri dari pengusaha kaya, seperti Karina.
Davira sendiri sudah siap, bahkan ikut menyambut kedatangan para ibu-ibu itu. Meski rasanya agak sungkan karena tujuh orang perempuan yang sebaya dengan ibu mertuanya itu terlihat seperti perempuan kaya yang ucapannya tak akan bisa dibantah.
"Oh ini menantunya Jeng Karina, ya?" tanya salah seorang perempuan, menanyakan kebenaran itu pada Karina.
"Betul, Jeng. Gimana? Cantik, kan?" Karina dengan bangga memperkenalkan Davira yang sudah ia rias sedemikian rupa agar terlihat menawan dipandang mata.
Davira tersenyum, menyapa semua ibu-ibu sosialita yang sudah duduk dengan anggun di sofa. Sedikit berbisik-bisik sambil memandang Davira dengan tatapan yang tak bisa Davira artikan sebagai apa.
"Cantik sekali, Jeng." Salah seorang yang lainnya memuji. "Tapi, kok, gak ada kabar pesta pernikahannya, sih?"
Karina tersenyum manis, sudah menduga pasti akan ada yang bertanya demikian. "Tadinya kami mau mengadakan resepsi mewah, Jeng. Tapi menantu saya ini orang yang sangat sederhana. Lagipula, hakikat pernikahan bukan hanya dilihat dari resepsi dan pesta pernikahan, iya kan?"
"I-iya, sih, tapi masa sekelas keluarga Danishwara tidak mau mengadakan pesta, Jeng? Apa kata rekan-rekan bisnismu, ya, kan?" Yang lainnya lagi menimpali.
"Ah! Kami tidak terlalu mementingkan apa kata orang-orang, yang terpenting bagi kami adalah keluarga kami bahagia saja sudah cukup."
Davira hanya sesekali tersenyum, tak berminat untuk ikut menanggapi pertanyaan dan ucapan para ibu-ibu sosialita itu. Selain takut salah bicara, ia juga takut mempermalukan ibu mertuanya di hadapan teman-teman Karina.
"Siapa namamu, Nak? Cantiknya, andai belum dinikahi Kavindra, ibu pasti akan menjodohkanmu dengan putra ibu," celetuk Mia. Teman Karina yang paling dekat.
"Mia, jangan berani-berani menggoda menantuku, ya!" kelakar Karina yang langsung disambut gelak tawa dari beberapa temannya yang lain.
"Tapi aku benar-benar kagum dengan menantu barumu ini, Karina. Pertama kali melihatnya saja aku sudah jatuh hati, bersyukur Kavindra langsung meminangnya."
"Benar, aku beruntung sekali karena putraku mendapatkan perempuan sebaik menantuku ini," puji Karina tulus. Puas sudah hatinya untuk membanggakan Davira kepada teman-temannya.
Pujian itu berhasil membuat hati Davira berbunga-bunga, apalagi saat Karina dengan bangga mengatakan bahwa Davira adalah kebanggaan dirinya.
"Maaf, ya, aku telat, tadi jalanannya macet banget," kata salah seorang perempuan yang terlambat datang. Para ibu-ibu itu langsung menyambut kedatangannya dengan hangat.
Davira juga turut menoleh ke arah datangnya tamu itu, dan berapa terkejutnya ia saat tahu siapa yang datang ke rumahnya.
"Kamu? Kamu kok ada di sini?!"