Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Shana mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, memegang kepalanya yang terasa pusing sambil melihat seseorang di sampingnya. Sedang tersenyum sembari mengusap punggung tangannya. Lelaki itu tampaknya bahagia sekali, dia bahkan mencium pipi, kening, dan bibir Shana sembari mengucapkan, “Terima kasih, Sayang.”
Shana berusaha bangkit, namun Kaivan melarangnya. “Kamu mau apa? Biar aku saja.” Kening Shana mengernyit, dia sadar ada yang tidak beres dengan kelakuan Kaivan.
“Mas, aku cuma pengen minum. A—”
“Sebentar, aku ambilkan.” Kaivan berjalan tergopoh-gopoh keluar kamar. Membuat Shana bertanya-tanya dalam hati. Sayup-sayup terdengar Kaivan berbicara dengan seseorang di luar sana. Perbincangan singkat, sampai akhirnya terdengar deru mobil di depan rumah, berjalan menjauh.
Kaivan masuk dengan senyum manisnya. Di tangan kanannya ada segelas air putih, dan di tangan kirinya ada semangkuk bubur ayam hangat. Setelah meletakkannya di atas meja samping ranjang, Kaivan menghampiri Shana. “Kamu makan dulu, Sayang …”
Shana menggeleng cepat, “Aku nggak lapar kok. Cuma haus aja.” Tangannya segera meraih segelas air dan meneguknya sampai tersisa setengah.
“Kamu harus makan. Nggak boleh kecapekan. Nggak boleh banyak pikiran. Pokoknya kamu harus happy, bahagia, dan laku—”
“Bentar. Kok kamu aneh banget, sih? Kamu lagi ngalihin obrolan kita yang tadi? Iya, kan? Biar aku nggak nuduh-nuduh kamu soal perempuan tadi—siapa namanya? Raisa, kan?”
Kaivan mengusap wajahnya gusar. “Astaga, Shanaaaa! Aku ‘kan udah bilang. Dia itu anak magang. Atasan aku yang nyuruh buat anterin dia. Tadi itu kamu salah lihat. Aku nggak nyentuh wajahnya. Aku ngusir lalat yang hinggap di wajahnya dia! Itu saja! Kamu jangan pikir yang aneh-aneh dong…”
“Terus yang barusan pulang itu siapa? Dia juga?” Shana menatap tajam ke arah Kaivan sambil melipat tangan di dada.
“Astaga, Shana! Itu dokter! DOKTER!” Kaivan gemas sekali dengan Shana sampai tidak sadar bahwa wajahnya sudah condong ke telinga Shana.
Shana mendorong tubuh Kaivan, “Biasa aja dong. Oh … Dokter? Kirain dia.”
Kaivan mengurut dadanya sembari beristighfar. Dia harus bisa mengendalikan emosinya. Apa lagi kali ini kondisi Shana harus dijaga baik-baik. Kaivan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Kamu kalau bikin aku gemas lagi, nanti aku cium. Nggak aku biarin sampe satu minggu. Kamu full di ranjang. Mau?”
Astaga. Ancaman macam apa itu? Ancaman yang membuat Shana tertawa terbahak-bahak. “Itu mah bukan ngancam, Mas. Kamu emang doyan.”
Kali ini Kaivan yang tertawa. Dia tertawa sampai air matanya keluar di sudut mata. Setelah puas tertawa, dia berdehem sebentar. Tangannya meraih tangan Shana. Matanya menatap lekat mata indah yang terus membuatnya jatuh cinta. “Aku mau ngasih tau kamu sesuatu—eh? Atau jangan-jangan … kamu sebenarnya sudah tau?” Kaivan menatap penuh selidik.
Kening Shana mengenyit. “Apa? Soal Raisa?”
Kaivan melengos. Itu lagi yang dibahas. Kepalanya menggeleng. “Bukan. Ini soal kamu. Kata dokter, kamu …”
Kening Shana tambah mengernyit, sampai kedua alisnya menyatu. Kaivan tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Shana tambah penasaran. “Apa kata dokter, Mas?”
“Kamu terlalu cemburu.”
“Aaah! Kalau gitu mending nggak usah panggil dokter!”
Kaivan tertawa melihat Shana yang memutar bola matanya. Kaivan senang sekali mengusili Shana. Membuat wajah Shana tambah cemberut, dia sangat suka.
“Kita harus menyiapkan segalanya dari sekarang. Mulai dari nama anak, baju dan perlengkapannya, alat pumping—”
“Ma-maksud kamu?” Shana belum mengerti maksud ucapan Kaivan. Dia tidak mendapatkan jawaban. Dia mencoba merenungi setiap kata dari Kaivan.
Mata Shana melebar. “Mas? Kamu nggak bohong, kan?”
Kaivan menggeleng cepat.
“Apa aku … hamil?”
***
Keesokan harinya, Kaivan mengawali paginya di kantor dengan penuh perasaan bahagia. Dia tidak sabar ingin segera pulang ke rumah dan memeluk Shana lagi. Hanya karena alasan yang jelas, yaitu pekerjaan, maka Kaivan mau tidak mau harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang manajer.
Kaki nya melangkah di sepanjang koridor seraya membalas sapaan karyawan lain. Dia tidak segan untuk melepaskan senyum manisnya. Yang dibalas dengan tatapan heran oleh mereka. Ya, karena Kaivan terkenal dengan sifat dinginnya, apalagi untuk tersenyum seperti sekarang. Big no.
Pak Reyhan yang sedang menghirup aroma kopinya di selasar nampak heran dengan Kaivan. Dengan lambaian tangan, “Kaivan!”panggilnya. Kaivan segera berjalan menghampiri beliau. “Wah! Kayaknya ada kabar bahagia nih?”
Kaivan terkekeh kecil mengingat kelakuannya yang tiba-tiba ajaib sekali tersenyum pada semua orang. Bahkan, tadi Kaivan sempat tersenyum dan menyapa seorang OB. Sungguh keajaiban!
“Iya nih, Pak. Alhamdulillah …”jawab Kaivan, membuat Pak Reyhan mengerutkan kening. Dia berusaha menebak apakah yang menjadi sumber kebahagiaan Kaivan, dan nampaknya beliau tahu.
Pak Reyhan menjentikkan jarinya, “Apa istri kamu sedang hamil?”
Kaivan mengangkat kedua alisnya dengan mata berbinar. “Wah! Bapak cepat sekali mengetahuinya. Apa kelihatan jelas di dahi saya, Pak?”
Sontak Pak Reyhan tertawa-tawa. Kemudian beliau menyesap sedikit kopi, lalu memandangi Kaivan. “Saya juga dulu seperti kamu. Pas tau istri hamil tuh kayak saya doang yang punya dunia ini, yang lain ngontrak.”jawab Pak Reyhan mengundang tawa Kaivan.
“Serius loh. Jadi, sudah berapa bulan?”lanjutnya.
Kaivan berdeham sebentar sebelum menjawab, “Belum USG. Dokter hanya mengira sekitar satu atau dua bulan.”
Pak Reyhan tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Kaivan. “Selamat ya, Kai. Semoga kamu makin semangat nyari rezeki karena bebanmu bertambah banyak.” Lagi-lagi ucapannya menyambut tawa Kaivan. “Ya sudah, saya mau ke ruangan dulu. Kalau ngobrol sama kamu, yang ada pekerjaan saya nggak jadi-jadi.”lanjutnya mulai berbalik meninggalkan Kaivan.
Begitu pun Kaivan, kini dia sudah duduk di ruangannya. Memeriksa beberapa berkas yang diantarkan oleh kantor Pos pagi tadi. Di saat lagi sibuk-sibuknya menata berkas, ketukan di pintu kaca itu terdengar. Tanpa menoleh, Kaivan menginterupsi, “Masuk.”
Seorang karyawan cantik nan seksi memasuki ruangan Kaivan. Dia menenteng beberapa berkas yang dipeluknya tepat di dadanya. “Mas Kai, ini berkas yang tadi kemarin aku lupa ngasih,”ucapnya dengan nada manja nan menggoda. Apalagi bibirnya yang sudah dihiasi warna merah, sudah pasti ingin menggoda pria berusia 38 tahun itu.
Pandangan Kaivan beralih pada perempuan itu. Rambut yang dikuncir satu membuat leher jenjangnya tampak mempesona, dengan balutan dress merah selutut yang nyaris memperlihatkan lekuk dadanya di hadapan Kaivan. “Maya, saya ‘kan sudah bilang, kalau nggak sempat ngasih ke saya, kamu bisa letakkan saja di ruangan ini,”jelas Kaivan, sambil membaca berkas yang dibawa Maya.
Maya tersenyum melihat wajah memerah lelaki itu. Dia memang sengaja agar bisa bertemu Kaivan, dan akan selalu menggodanya. “Mas Kai, saya minta maaf, ya? Kalau nggak, gimana kita dinner aja sehabis ngantor? Mungkin Mas perlu waktu buat istirahat …” Jarinya bergerak manja di atas meja. Membuat pandangan Kaivan tertuju ke sana.
“Saya sudah terima berkasnya. Kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu,”terang Kaivan tanpa memandangi rahang yang mengeras di hadapannya. Peduli apa Kaivan, persetan dengan mereka semua, yang ada di pikirannya hanya lekukan tubuh Shana. Ah … mengingatnya saja Kaivan sudah kegerahan.