Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Bella dan Arnold duduk di meja mereka, tampaknya tidak menyadari kehadiran Mario dan Renaya di sudut restoran itu. Mereka tampak asyik berbincang, mungkin merencanakan hal-hal tentang pekerjaan atau kehidupan pribadi mereka. Sementara itu, Mario tetap duduk dengan diam, matanya sesekali melirik ke arah mereka.
Mario menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Sayang... kamu tahu kita punya hubungan yang istimewa. Tapi kamu harus tahu, dunia luar tidak selalu mengerti apa yang kita jalani. Aku tidak ingin ada orang yang salah paham, terutama tentang hubungan kita," jawab Mario pelan, berusaha menjelaskan dengan lembut.
Renaya tersenyum tipis, merasakan adanya kekhawatiran dalam suara Mario. "Aku ngerti, Dad. Tapi aku nggak mau terus-terusan sembunyi-sembunyi. Aku nggak mau ada yang menghalangi kita. Aku nggak peduli kalau mereka tahu, terutama Papi. Papi harus tahu kalau kamu adalah orang yang paling aku sayang."
Arnold menatap sekilas ke arah Mario dan Renaya yang sedang duduk berdua di meja pinggir restoran. Hatinya sedikit terkejut melihat Mario, seorang tokoh besar di dunia bisnis yang selama ini dikenal sebagai pria dingin dan tidak banyak bergaul. Tapi melihatnya duduk santai bersama putrinya, Arnold merasakan ada yang tidak beres. Terlebih lagi, kedekatan mereka terlihat sangat intim—Renaya tersenyum manis pada Mario, dan keduanya tampak berbicara dengan begitu akrab.
"Sayang, kamu kenal Mario?" tanya Arnold lagi, suaranya kali ini lebih datar, berusaha menahan perasaan aneh yang mulai menggelayuti dirinya.
Bella menoleh ke arah Arnold dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Aku nggak gitu kenal, mungkin memang Renaya ada urusan bisnis dengan Mario," jawab Bella, berusaha terdengar santai meski dalam hati dia sudah mulai merasa tidak nyaman dengan situasi itu.
Bella merasa tak enak, tapi dia berusaha menjaga ketenangan. "Jangan khawatirkan itu, mungkin cuma kebetulan saja." Bella memberi senyuman tipis, berusaha mengalihkan perhatian Arnold.
Namun, Arnold tidak bisa menahan rasa penasaran. Ia berdiri dan melangkah ke arah meja di mana Renaya dan Mario sedang duduk. Tanpa menunggu lama, Arnold tiba di meja mereka dengan langkah tegas. Mario yang sedang menatap menu, sepertinya sudah tahu siapa yang datang, menoleh dengan senyum dingin yang khas, sementara Renaya menatap ayahnya dengan ekspresi yang sedikit cemas.
"Renaya," Arnold menyapa, berusaha terdengar tenang meski ada sedikit kekecewaan di matanya. "Apa yang terjadi di sini? Kenapa kamu bersama Mario?"
Renaya menatap ayahnya, menahan perasaan yang mulai menggelegak di dada. Ia tahu ini pasti akan datang, pertanyaan ini. Namun, ia tidak ingin memberikan jawaban yang ambigu. Dengan santai, Renaya mengangkat bahu dan menjawab, "Seperti yang Papi lihat, kami sedang makan siang bareng."
Mario menatap Arnold dengan tatapan penuh kewaspadaan, meski ada sedikit rasa simpatik yang muncul dalam pandangannya. "Pak Arnold, kami memang sering makan bersama, atau anda mau bergabung bersama kami? Supaya anda tidak perlu khawatir akan putri anda," tanya Mario, nada suaranya sudah menunjukkan rasa tidak bersahabat.
Arnold menatap Mario dengan tatapan tajam. "Tentu saja, tidak ada yang perlu saya khawatirkan, bukan? Hanya saja, saya merasa sedikit aneh melihat kalian berdua bersama. Renaya, kamu tahu kan, aku tidak suka kalau kamu terlibat dalam urusan orang yang tidak jelas."
Renaya menahan napas, merasa sedikit terkekeh mendengar kata-kata ayahnya. "Papi, kamu berlebihan deh. Daddy Mario nggak gitu kok. Kami hanya makan bersama. Nggak ada yang aneh," ujarnya dengan sedikit nada kesal, tapi tetap berusaha bersikap santai.
“Daddy Mario?!” tanya Arnold tidak percaya sedikit tegang.
“Iya, kenapa! Aku nyaman memanggilnya Daddy Mario,” jawab Renaya dengan wajah tetap santai.
Arnold tampaknya tidak puas dengan penjelasan tersebut. Tatapannya yang tajam semakin dalam, seolah berusaha menggali lebih jauh kebenaran di balik pernyataan Renaya. "Jadi, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua? Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa harus ada yang aneh-aneh? Kenapa kamu tiba-tiba jadi begitu dekat sama dia?"
Renaya menghela napas, menyandarkan tubuhnya sedikit ke kursi, mencoba menenangkan dirinya. "Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Papi. Cuma, aku harap kamu bisa percaya kalau semuanya baik-baik aja. Aku bukan anak kecil yang nggak tahu apa yang aku lakukan."
“Kami sepasang kekasih.” Akhirnya Mario angkat bicara, tidak mau terlalu larut dalam ketegangan antara ayah dan anak itu, “Bagaimana?”
Arnold langsung terdiam, mulutnya terkatup rapat, seakan kata-kata Mario baru saja menghantam dinding pemahamannya. Ia menatap Mario dengan pandangan tajam, seolah mencoba mencerna pernyataan itu. Tak hanya Arnold yang terkejut, Renaya juga tercengang, meski dalam hati ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi pada akhirnya.
Mario melanjutkan, suaranya tetap tenang namun penuh keyakinan. "Ya, kami sepasang kekasih, Arnold. Renaya dan aku. Ini bukan sesuatu yang bisa diputar balik lagi."
Arnold menatap Mario dengan pandangan tidak percaya. "Kekasih?" ulangnya, seakan kata itu masih belum bisa diterima oleh akalnya. "Tapi... Renaya adalah putriku, Mario. Kamu lebih tua darinya, dan aku tidak pernah membayangkan kamu akan... bersama anakku!"
Renaya menarik napas panjang, mencoba menenangkan suasana yang semakin memanas. "Papi, jangan seperti ini," katanya lembut, meskipun dalam hatinya ia tahu ayahnya tidak akan bisa langsung menerima kenyataan ini. "Kami hanya ingin menjalani hubungan ini dengan cara kami sendiri. Tolong jangan berpikir buruk."
Arnold menggelengkan kepala, jelas kebingungannya semakin mendalam. "Tapi ini... ini bukan sesuatu yang mudah diterima, Renaya. Kamu sudah cukup dewasa, tapi dia... dia orang yang berbeda. Dan aku tidak bisa membiarkan dia membawa pengaruh buruk ke hidupmu."
“Pengaruh buruk apa yang anda maksud Pak Arnold? Apakah termasuk Renaya harus menerima perlakuan buruk dari ibu tirinya?” tanya Mario.
Arnold terdiam sejenak mendengar pertanyaan Mario. Kata-kata itu seolah menusuk ke dalam hatinya, membuatnya merasa terpojok. Ia menatap Mario dengan tatapan tajam, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang sulit untuk diungkapkan.
"Apa maksud kamu dengan itu?" tanya Arnold dengan nada yang lebih rendah, namun tetap penuh penekanan. "Apa kamu berani mengajukan pertanyaan seperti itu, tentang Bella?"
Mario tak bergeming, tetap tenang meski perasaan di dalam dirinya sedikit terguncang. "Saya hanya bertanya, Pak Arnold. Apakah menurut Anda, Renaya harus terus menerima perlakuan buruk dari ibu tirinya? Kalau Anda tidak menyadari, saya yang melihatnya. Saya yang mendengar langsung bagaimana Bella memperlakukan Renaya. Dan itu bukan sesuatu yang bisa saya biarkan," jawab Mario dengan serius, suaranya sedikit lebih keras, meskipun tetap terkendali.
“Silahkan anda berusaha mengambil Renaya dari saya, tapi anda akan tahu apa akibatnya bukan?” lanjut Mario sambil tersenyum simpul, sementara Arnold tampak menggeram kesal.
jadi wajib baca dan masuk rak.