Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Selama perjalanan, aku tetap bungkam, belum mau menceritakan semuanya. Melina sudah sangat mengenalku, dia juga tidak memaksa untuk bercerita. Memilih untuk membawaku ke apartemennya. Setibanya di apartemen, dia memintaku untuk beristirahat terlebih dulu.
Melina tetap duduk di sampingku, berusaha menenangkanku. Sementara itu, Carlos baru kembali dari dapur, membawakan segelas air.
"Apa yang terjadi ...." Ucapannya terpotong saat Melina menepuk lengannya.
"Tolong beri dia privasi," ucap Melina pada Carlos.
"Oke, saya minta maaf." Carlos pun ke luar kamar.
"Istirahat dulu, Novita." Melina meninggalkanku sendirian di dalam kamarnya.
Aku benar-benar sulit menerima kenyataan. Kurang dari 24 jam lalu, masih bersenda gurau dengan bunda. Namun sekarang ... bunda sudah tiada. Apa bunda meninggal karena menjadi tumbal terakhir? Aku pun tak tau. Ingin sekali bertanya pada Tante Maria, tapi sepertinya dia sama berdukanya denganku.
Kuambil ponsel, lalu melihat banyak notifikasi masuk. Isinya ucapan bela sungkawa dari teman dan kerabat dekat. Namun yang paling menyakitkan saat melihat pesan dari keluarga ayah. Banyak sekali sumpah serapah yang mereka lontarkan. Menilaiku sebagai anak durhaka dan tidak tau diuntung. Sedangkan dari keluarga bunda, jauh lebih keucapan semangat. Mungkin Tante Maria sudah menjelaskan kepada mereka.
Kurang dari setengah jam, aku sudah agak tenang. Lalu berjalan ke luar kamar. Ternyata Carlos masih ada di ruang tengah, sedang menonton TV bersama Melina. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung menghampiriku.
Kami pun duduk bertiga di sofa. Kuambil nafas panjang, agar tetap tenang. Kemudian, mulai bercerita tentang semua yang terjadi selama kurang tiga minggu di Indonesia.
Melina menangis, saat aku baru cerita sebagian. Sementara Carlos wajahnya tampak serius. Dia kurang begitu percaya dengan hantu. Ya, sama sepertiku dulu, sebelum pulang ke Indonesia.
Di akhir cerita, Melina langsung memelukku erat. Kami pun menangis bersama. Dia tak menyangka, selama ini aku yang terlihat baik-baik saja selama di Indonesia. Malah menyimpan banyak rahasia yang mengerikan.
"Apakah kamu serius, Novita?" tanya Carlos, masih dengan wajah tak percaya.
"Ya, aku tidak mungkin berbohong tentang kematian seluruh anggota keluargaku," balasku.
"Oke. Walaupun bagiku ini sangat sulit dipercaya."
Sepanjang hari, Melina dan Carlos menemaniku. Melina juga menawarkanku untuk tinggal di apartemennya, demi menghemat biaya. Aku menerima tawarannya. Kami pun akhirnya tinggal bersama.
*
Seminggu setelah kepulangan ke Jerman, aku masih sering berdiam diri di dalam kamar. Belum bisa melakukan kegiatan seperti sebelumnya.
Butuh waktu sebulan bagiku untuk kembali ke kampus. Bertemu teman-teman. Namun ada perasaan yang beda, aku menjadi lebih pendiam dan tidak percaya pada orang lain, kecuali Melina dan Carlos.
Di kampus, tidak ada yang tau tentang cerita yang sebenarnya. Mereka hanya tau kalau seluruh anggota keluargaku meninggal dunia karena kecelakaan.
Selama masa kuliah, aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Selain memang tempatnya sangat tenang dan cocok untuk menyendiri, aku pun bisa lebih fokus belajar agar mendapatkan beasiswa. Beruntung semua usahaku tak sia-sia. Beasiswa itu dapat kuraih hingga ...
Tak terasa sudah dua tahun. Kini aku hanya tinggal menunggu wisuda. Sebuah hari yang seharusnya menjadi momen membahagiakan bagiku. Namun sekarang terasa menyakitkan.
Di saat teman-teman lain bisa melakukan perayaan bersama dengan keluarganya. Aku ... hanya duduk di atas tempat tidur, menatap layar ponsel. Hanya ada ucapan selamat dari Tante Maria dan Rio saja.
Kriet!
Pintu terbuka. Melina masuk ke dalam kamar. Dia baru pulang dari pesta perpisahan dengan teman-teman kampus. Carlos datang, membawa sebuah kue tart. Tidak hanya sendiri, dia membawa teman-teman kampus lainnya. Sebuah kejutan kecil yang membuat mataku berkaca-kaca.
"Novita, setelah lulus kamu akan ke mana?" tanya Carlos, sambil memberikanku sepotong kue.
"Belum tau," balasku. Jujur aku belum punya rencana setelah wisuda. Yang pasti, tidak mungkin kembali ke Indonesia.
*
Hari ini menjadi hari yang berat bagiku. Satu-satunya sahabatku — Melina harus pulang ke Indonesia.
"Novita, beneran gak mau pulang ke Indonesia?" tanyanya.
"Iya, Mel. Percuma di sana juga udah gak ada siapa-siapa," balasku.
"Bukannya masih ada Tante Maria, sama siapa tuh anaknya yang ganteng."
"Rio? Ih ganteng dari mana coba," balasku.
"Intinya sih, Mel. Gw kagak bisa balik ke sana. Soalnya Tante Maria bilang, kalau gw balik ke sana, si Siluman Ular bakal ngejar gw lagi," jelasku.
"Keris yang awalnya gw kira bisa nangkal tuh setan aja, ternyata malah gagal nyelamatin bunda," lanjutku.
"Iya sih, nov. Gw cuman khawatir aja lu nanti di sini sendirian. Pokoknya walaupun kita dah beda negara, tetep kontekan, Ya! Dan ... gak pake rahasia-rahasian lagi."
"Oke. Ya udah buruan. Itu si Carlos dah nunggu." Kami sampai lupa daritadi Carlos sudah menunggu di dalam mobilnya, untuk mengantar Melina ke bandara.
"Eh iya, ampe lupa gw."
Kami pun turun ke lobi apartemen, lalu berjalan ke luar.
Tut!
Carlos membunyikan klakson sambil memasang wajah cemberut.
"Maaf terlalu lama," ucapku seraya masuk ke dalam mobil.
"Tidak apa-apa," balasnya.
Carlos membantu memasukan barang bawaan Melina ke dalam mobil. Sedangkan aku menunggu di dalam.
"Apa kamu akan pulang ke Indonesia juga?" tanya Carlos saat mobil baru saja melaju ke arah bandara.
"Aku tetap di sini," balasku.
"Hey, Carlos! Kamu harus jaga Novita baik-baik," ucap Melina sambil menepuk pundaknya.
"Jangan khawatir," balasnya melirik ke arahku melalui kaca spion.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, kami pun tiba di bandara. Aku dan Melina turun lebih dulu, sementara Carlos pergi menuju parkiran.
"Masih ada waktu 2 jam lagi nih," ucap Melina.
"Enaknya ngapain ya."
"Starbuck, Yuk!"
"Oke, tapi tunggu Carlos dulu."
"Eh lu tau gak, kalau sebenernya Carlos itu ...." Melina menghentikan ucapannya.
"Gak jadi, orangnya dateng," sambungnya.
"Ih, bikin orang penasaran aja."
"Carlos, kami mau pergi ke Starbuck. Apa kamu mau ikut?" ajak Melina.
"Oke."
Kami pun berjalan menuju Starbuck. Selama satu jam, mengobrol di sana. Menceritakan tentang awal kuliah hingga wisuda.
Melina sudah beranjak dari tempat duduknya. Bersiap-siap untuk pergi ke boarding area. Aku dan Carlos mengantarnya sampai di dekat pintu masuk boarding area.
"Kabarin gw ya kalau dah sampai," bisikku sambil memeluknya.
"Jaga diri ya, Novita,"
"Siap!"
Carlos pun ikut memberi salam perpisahan. Melina mulai menarik kopernya, masuk ke dalam boarding area. Sementara itu aku masih berdiri di tempat yang sama, sambil menangis.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Carlos heran.
"Tidak," balasku sambil menyeka air mata.
"Oh, oke. Sudah bisa pulang sekarang?"
"Bisa."
Kami pun berjalan menuju parkiran. Lalu, menaiki mobil. Carlos mengantarku ke apartemen. Tidak banyak percakapan selama perjalan pulang. Entah kenapa situasi saat itu terasa sangat canggung.
*
Sebuah kabar gembira datang. Aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah S2 di Jerman. Tidak sampai di sana saja, pengajuanku untuk menjadi research assistant disetujui. Sekarang tinggal mengatur jadwal kuliah dan kerja, agar tidak bentrok.
Dua tahun, aku sudah mendapatkan gelar master. Selama itu pula, aku menjadi jarang mengobrol dengan Melina dan Carlos. Karena terlalu sibuk dengan jadwal kuliah dan kerja yang padat. Carlos pun sudah pindah ke Inggris, meneruskan kuliah di sana.
Keberuntungan terus berlanjut, aku mendapatkan sebuah pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan besar. Kini giliranku yang membantu keluarga besar bunda di Indonesia. Soalnya, mereka lah yang selama ini terus memberi dukungan, baik materil maupun imateril.
Aku selalu ingat dengan uang yang Tante Maria kirimkan tiap bulan, hasil dari patungan keluarga besar bunda. Padahal aku bukan anak kandung bunda, tapi entah kenapa mereka lebih sayang padaku. Sedangkan keluarga besar ayah, sampai detik ini, tidak ada satupun dari mereka yang peduli padaku. Sempat beberapa kali Om Pras mencoba menghubungiku, tapi langsung kutolak. Jujur aku masih sakit hati mendengar sumpah serapahnya saat dia tau aku sudah kembali ke Jerman.
Waktu terus berlalu, tak terasa kini aku sudah tinggal di Jerman selama 5 tahun. Selama satu tahun bekerja, aku banyak mendapatkan teman-teman baru. Walaupun rasa tidak percaya itu masih tetap ada. Namun sedikit demi sedikit sudah berkurang.
*
Waktu terus berjalan, saat sedang bekerja kulihat ada sebuah email masuk. Isinya adalah surat undangan untuk acara perayaan ulang tahun ke-200 Unversity of Bonn. Ternyata sudah tiga tahun aku tidak pernah datang ke kampusku itu. Kampus yang penuh kenangan.
Awalnya ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk hadir ke acara itu. Siapa tau bisa bertemu teman-teman lama di sana.
Di hari perayaan, aku datang menggunakan taksi. Jalan di dekat kampus sudah sangat ramai. Aku berjalan masuk ke dalam kampus. Banyak orang sedang duduk-duduk santai sambil mengobrol di halaman belakang kampus. Suatu kegiatan yang sering kulakukan saat musim panas. Lalu, lanjut berjalan menyusuri tenda-tenda makanan yang berjejer rapih.
"Novita!" Samar-samar kudengar seseorang memanggilku. Namun tak tau arahnya dari mana.
"Novita!" Suaranya semakin dekat. Kuedarkan pandangan, tapi pandanganku terhalang oleh banyaknya orang.
"Hey, Novita!" Seorang pria tinggi besar dan bermata biru sudah berdiri di hadapanku. Senyumnya mengembang.
"Carlos?" tanyaku.
"Ya, ini aku. Carlos."