Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah pertama
San menarik napas dalam-dalam, lalu segera mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang sudah dikenalinya. Dia tahu ini adalah langkah besar, langkah yang bisa mengubah segalanya untuk Nanda, dan dia tidak akan membiarkan kesempatan ini terlewatkan.
"Saya butuh bantuanmu," ujar San tegas saat panggilan tersambung. "Ada seorang wanita yang sangat membutuhkan pengacara yang bisa menangani kasus keluarga dan perceraian yang rumit. Kasus ini... ini melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak hal yang lebih besar lagi. Saya tahu kamu adalah satu-satunya yang bisa menangani ini."
Di ujung telepon, suara pengacara yang terkenal itu terdengar, penuh perhatian dan serius. "Saya mengerti, San. Kita akan lakukan yang terbaik. Siapa namanya? Apa yang bisa saya bantu?"
"Nanda Alami," jawab San tanpa ragu. "Dia terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan kekerasan dan pemerasan. Dan... dia perlu keluar dari sana, lebih cepat dari yang dia kira. Bisa kamu datang ke sini sesegera mungkin? Dia butuh bantuan hukum untuk keluar dari pernikahan ini."
Setelah mendengar informasi itu, pengacara di ujung telepon langsung memberi konfirmasi. "Tentu, San. Saya akan segera menghubungi Nanda dan mengatur semuanya. Jangan khawatir, kita akan buat perhitungan untuk mengatasi masalah ini, dan Dimas tidak akan bisa lagi mengendalikan hidup Nanda."
San merasa sedikit lega mendengar itu. "Terima kasih. Aku tahu kamu bisa melakukan ini. Tolong pastikan Nanda tidak lagi terjebak dalam cengkraman Dimas dan keluarganya."
Setelah menutup telepon, San menatap Nanda yang duduk dengan wajah penuh kecemasan di sebelahnya. Dia tahu jalan yang mereka hadapi akan penuh rintangan, namun dia juga tahu bahwa ini adalah langkah yang benar untuk memberi Nanda kesempatan hidup yang lebih baik. Dengan pengacara yang tepat, San yakin mereka bisa melawan Dimas dan keluarganya yang telah membuat hidup Nanda menjadi neraka.
"Nanda," kata San lembut, sambil menggenggam tangan Nanda. "Aku sudah menghubungi seorang pengacara yang bisa menangani kasusmu. Kita akan berjuang untuk kebebasanmu. Dimas tidak akan bisa mengendalikanmu lagi."
Nanda menatap San dengan rasa syukur yang mendalam. Di matanya, ada sedikit cahaya harapan yang mulai kembali menyala. "Terima kasih, San. Aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku merasa sedikit lebih tenang sekarang. Aku tidak sendirian."
San tersenyum, meskipun hatinya tahu ini adalah awal dari pertempuran panjang yang penuh tantangan. "Kamu tidak akan pernah sendirian lagi, Nanda. Aku akan selalu ada di sini untukmu."
Nanda duduk termenung di kursi ruangan VIP rumah sakit, matanya menatap kosong ke luar jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai meredup saat senja. Semua yang terjadi begitu cepat, dan dia merasa seperti terseret oleh arus yang tidak pernah dia inginkan. San, lelaki yang selama ini hanya dikenalnya sebagai teman, kini telah begitu peduli dan berani melangkah jauh untuk membantunya. Namun, entah kenapa, Nanda merasa apa yang dilakukan San sudah sangat berlebihan.
Dia menoleh ke arah San yang duduk di sampingnya, mata lelaki itu penuh tekad, seolah tak ada keraguan sedikit pun dalam dirinya. San, yang selalu tahu bagaimana cara menghiburnya, yang selalu ada untuk mendengarkan cerita-cerita kecil yang kadang dia ceritakan saat mereka masih remaja, kini malah bertindak lebih dari sekadar teman. Nanda merasa cemas, takut jika semuanya menjadi lebih rumit dari yang dia duga.
"San," Nanda akhirnya memecah kesunyian di antara mereka, suaranya terdengar lirih. "Apa yang kamu lakukan... itu terlalu berisiko."
San menatapnya dengan tatapan serius, tangannya meraih tangan Nanda yang terletak di atas kasur. "Aku tak peduli," jawabnya dengan tenang, "Jika itu yang bisa membantumu keluar dari jeratan hidup ini, maka aku akan lakukan apapun untukmu, Nanda."
Nanda menghela napas, bingung dengan perasaannya. Bagaimana bisa seseorang yang tidak dia pilih sejak awal, tiba-tiba menjadi orang yang begitu berperan penting dalam hidupnya? Namun, di sisi lain, Nanda juga merasa kesulitan untuk menepis perasaan itu. Sejak kejadian tadi malam, hatinya bagaikan terombang-ambing di antara kebingungannya dan rasa terima kasih yang mendalam.
"Tapi, San... kalau sampai kamu ikut terlibat, semua ini akan semakin rumit," ujar Nanda lagi, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak ingin kamu terjebak dalam dunia yang tidak ada habisnya ini."
San hanya menggelengkan kepala, senyumnya sedikit mengembang. "Nanda, kamu tidak perlu khawatirkan aku. Aku sudah siap dengan semua konsekuensinya."
Nanda menatap wajah San, hatinya semakin terhimpit. Sebuah keputusan besar menanti di depan mereka, dan entah mengapa, ia merasa takut untuk melangkah ke arah yang baru itu.
San duduk di sisi ranjang Nanda, tatapannya penuh kekhawatiran. Melihat kondisi Nanda yang semakin lemah, baik fisik maupun emosional, membuat hatinya terasa hancur. Dia ingin sekali membelai rambut Nanda, memberikan kenyamanan yang selama ini mungkin tidak pernah didapatkan oleh perempuan itu. Namun, rasa takut menghalangi niat baiknya. San tahu, perlakuan kasar yang diterima Nanda dari Dimas bukan hanya meninggalkan bekas fisik, tetapi juga bekas luka yang mendalam di dalam hati Nanda.
San menghela napas pelan. Dia tahu bahwa sentuhan lembut yang ia inginkan bisa saja membuat Nanda teringat kembali pada kekerasan yang pernah dialaminya. Takut jika Nanda merasa terancam atau bahkan trauma lagi. Karena itu, meskipun dia sangat ingin melindunginya, San menahan diri. Dia lebih memilih duduk di sampingnya, menjaga jarak yang seharusnya ada, memberikan ruang bagi Nanda untuk merasakan kenyamanan dalam caranya sendiri.
"Nanda..." San memanggil dengan suara pelan, seolah-olah takut mengganggu ketenangannya. "Kamu tidak perlu merasa takut lagi. Aku ada di sini. Kamu tidak sendiri."
Nanda mengangkat pandangannya perlahan, mata yang sudah lelah karena banyaknya air mata itu menatap San dengan tatapan kosong. Di satu sisi, dia ingin percaya pada San, ingin merasa aman, tapi hatinya masih diliputi kebingungannya. Semua perasaan campur aduk, antara terjebak dalam pernikahan yang mengerikan dengan Dimas dan rasa terima kasih yang semakin tumbuh untuk San yang selalu ada di sisinya.
San menatap Nanda dengan penuh kasih, berusaha memberikan senyuman yang menenangkan. "Kamu tidak harus menjalani semua ini sendirian. Aku akan membantumu, apapun yang terjadi."
Nanda menundukkan kepala, menahan tangis yang hampir pecah. Di dalam hatinya, dia merasakan dua hal yang saling bertentangan. Keinginan untuk melarikan diri dari semua penderitaan dan ketakutan akan rasa sakit lebih dalam yang mungkin harus ia alami jika ia melangkah lebih jauh dengan San. Namun, di saat yang sama, dia juga merasa bahwa San adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya.
Nanda menatap kosong ke depan, air mata yang sebelumnya menetes kini terus mengalir tanpa henti. Rasa sakit itu seperti tak ada habisnya, menyesakkan dadanya dengan kenangan pahit yang tak pernah berhenti menghantui. Dia merasa seperti sebuah kapal yang tenggelam perlahan, terjebak dalam badai hidup yang tidak pernah dia pilih. Semua yang terjadi, semua yang harus dia hadapi, semuanya karena keputusan orang tuanya—keputusan ibunya yang telah menjualnya pada Dimas, hanya untuk uang dan kekuasaan.
Namun, meskipun begitu, Nanda tidak pernah sekalipun menyalahkan takdirnya. Dia tahu, hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita. Ada kalanya kita dipaksa menghadapi hal-hal yang berat dan tidak adil. Nanda menyadari bahwa meskipun dia merasa hancur, perasaannya tetap ada, hidupnya tetap berjalan, dan dia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam masa lalu yang menyakitkan.
"Aku tidak bisa menyalahkan takdir," gumam Nanda pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin ini jalan yang harus aku jalani."
San mendengar kata-kata itu, dan dalam hatinya ada rasa sakit mendalam. Dia tahu betapa berat beban yang dipikul oleh Nanda, dan melihat Nanda merelakan nasibnya begitu saja membuatnya semakin merasa tidak adil. Namun, San juga tahu bahwa hanya dengan mendampingi Nanda, memberikan kekuatan padanya, mereka bisa melewati segala rintangan.
"Nanda, kamu tidak sendiri," San berkata dengan lembut, tangannya terulur, meskipun dia tahu bahwa Nanda mungkin masih merasa ragu untuk menerima bantuannya. "Takdirmu tidak harus mengendalikan hidupmu. Kamu masih punya banyak pilihan. Aku di sini untuk membantumu, untuk memberi kekuatan agar kamu bisa melawan."
Nanda menatap San, untuk pertama kalinya ada sedikit cahaya yang menyinari matanya yang kelam. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan di balik semua kegelapan yang menyelimutinya. Namun, dia tahu satu hal untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa ada yang peduli padanya, dan itu sudah cukup untuk memberinya kekuatan untuk melangkah.