Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-bayang Kuroten
Malam menjelang di Akademi Altais. Setelah pertarungan sengit yang melibatkan Akira berakhir, para siswa perlahan kembali ke ruang istirahat mereka. Ruangan itu dipenuhi obrolan rendah dan tatapan letih. Di sudut ruangan, Akira duduk terdiam, matanya menatap kosong pada lantai. Kekalahan tadi menghantui pikirannya.
Yusei, yang baru saja masuk, melihat sahabatnya dari kejauhan. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri Akira, berniat untuk memberikan semangat. Namun sebelum Yusei sempat membuka mulut, Akira tiba-tiba berdiri, mengangkat tangannya ke udara dan berteriak, "Yoshaa!! Aku akan menjadi lebih kuat dan menjadi Kesatria Suci!"
Ruangan yang tadinya sunyi mendadak gemuruh oleh sorak-sorai. Murid-murid lainnya tersenyum dan bertepuk tangan, sementara Akira kembali dengan semangat membara. Melihat itu, Yusei tersenyum tipis, membatin, "Aku hampir lupa, Akira memang selalu seperti ini."
Di saat Yusei dan Akira hendak beranjak keluar dari ruang istirahat, mereka berpapasan dengan Kiria, yang berdiri menunggu mereka di dekat pintu. Kiria menatap Yusei dengan tatapan dingin, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang dari biasanya, "Sepertinya kau berhasil menang, anak jelata."
Yusei hanya mengangguk kecil dan menjawab singkat, "Ya."
Tanpa berkata lagi, Kiria melangkah pergi, sementara Yusei dan Akira saling pandang sebelum akhirnya mengikuti langkah mereka masing-masing.
Sementara itu di suatu tempat, di tengah lautan yang bergolak, sebuah kapal nelayan kecil berusaha bertahan dari badai yang mengamuk. Lima orang nelayan di atasnya berpegangan erat, berharap dapat bertahan hingga badai reda. Di antara teriakan angin dan deru ombak, salah satu dari mereka berbicara lantang kepada yang lain, “Minggu depan putriku berulang tahun. Aku ingin memberikan hadiah berupa masakan dari tangkapan langka ini.”
Teman-temannya, yang basah kuyup di bawah hujan deras, mengangguk setuju. “Kita usahakan tiba dalam lima hari, tapi kalau cuaca begini, mungkin kita terlambat. Semoga saja kita sampai sebelum ulang tahun putrimu tiba,” ujar salah satu dari mereka dengan senyum tipis, berusaha menenangkan.
Akhirnya, setelah melihat sebuah pulau kecil di kejauhan, mereka sepakat untuk berteduh di sana sementara badai berlalu. Mereka menepi di pantai, merapatkan kapal, dan turun untuk mencari tempat berlindung.
Mereka baru saja menginjakkan kaki di daratan ketika tiba-tiba, kilat menyambar dan menerangi sosok hitam di kejauhan. Seketika, mereka menyadari siapa yang berdiri di sana—Kuroten, sosok yang namanya sering terdengar dalam bisikan-bisikan ketakutan.
Salah seorang nelayan, gemetar, bergumam, “Itu… Kuroten…” Suaranya penuh ketakutan, begitu pelan, namun jelas terdengar oleh yang lainnya.
Kuroten mendekat dengan langkah tenang. Para nelayan mulai memohon ampun, bahkan merangkak sambil menghiba, namun Kuroten tetap diam, pandangannya dingin tak berperasaan. Saat ia mengangkat pedangnya, hendak mengakhiri nyawa mereka, salah seorang nelayan, yang anaknya berulang tahun, berbisik lemah, “Maafkan ayah, Nak. Sepertinya… ayah tak bisa hadir di hari ulang tahunmu.”
Ucapan itu sejenak menghentikan tangan Kuroten. Ia menatap nelayan tersebut tanpa berkata, seolah tergerak oleh kata-kata terakhir itu. Dengan nada yang hampir lembut, ia berkata, "Kalian ku ampuni."
Para nelayan itu mengucapkan terima kasih dengan penuh rasa syukur, mulai melangkah pergi meninggalkan Kuroten. Namun, baru beberapa langkah, tubuh mereka tiba-tiba hancur berkeping-keping, diselimuti aura gelap yang memancar dari tubuh mereka.
Seminggu kemudian, di sebuah desa nelayan yang tenang, tampak seorang gadis kecil berumur 7 tahun bernama Rika, dengan rambut hitam panjang yang dikepang rapi, berdiri di depan rumahnya sambil menatap ke arah laut. Wajahnya dipenuhi harapan, dan ia memegang sebuah boneka kain lusuh, hadiah dari ayahnya tahun lalu. Hari ini adalah ulang tahunnya, dan ia menunggu kedatangan sang ayah, yang berjanji akan membawa hadiah spesial.
Di dalam rumah, ibunya, Akane, sedang menyiapkan makanan sederhana di meja makan. Ekspresi Akane tampak penuh kecemasan. Sudah satu minggu berlalu sejak suaminya berangkat, dan belum ada kabar darinya. Ia menghela napas berat, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya agar tidak terlihat oleh putrinya.
"Rika, sayang, masuklah dulu. Anginnya dingin," kata Akane dengan lembut dari balik pintu.
Rika menoleh dan tersenyum kecil. "Tapi Ayah akan pulang hari ini, kan? Aku ingin jadi yang pertama melihatnya."
Akane menggigit bibirnya, menahan air mata. "Iya, sayang. Ayah pasti pulang," jawabnya, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.
Saat malam semakin larut, Akane memutuskan untuk mencari informasi dari nelayan lain yang baru pulang melaut. Ia meninggalkan Rika bersama tetangga untuk berjaga-jaga. Akane bertemu dengan sekelompok nelayan yang mengatakan bahwa mereka melihat bayangan gelap yang menyeramkan di sebuah pulau terpencil—tempat terakhir kapal suaminya terlihat.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Akane melaporkan hal ini kepada pihak kerajaan. Laporan itu akhirnya sampai ke telinga para Kesatria Suci.
Di dalam aula besar yang megah di markas Kesatria Suci, laporan Akane disampaikan kepada enam kesatria yang mewakili elemen sihir tertinggi. Hano Takigawa, sang Kesatria Air, langsung berdiri setelah mendengar ciri-ciri yang mengarah pada kehadiran Kuroten.
"Aku akan pergi," katanya dengan suara tegas.
"Jangan gegabah, Hano," kata Leo Akazuchi, Kesatria Petir, dengan nada serius. "Jika benar ini perbuatan Kuroten, maka kau akan membutuhkan dukungan. Dia bukan lawan yang bisa diremehkan."
"Tidak perlu," balas Hano dengan tenang namun penuh keyakinan. "Aku yang paling memahami cara bertarungnya. Jika kita mengirimkan lebih banyak kesatria, kita hanya akan menarik perhatian lebih banyak iblis. Ini adalah misi yang memerlukan kecepatan dan efisiensi."
Shotaro Yuuki, Kesatria Cahaya, menatap Hano dengan cermat. "Kau bersikeras pergi sendiri, Hano. Apa ini karena... masa lalu kalian?"
Hano terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan. "Aku hanya ingin memastikan bahwa misi ini selesai tanpa korban tambahan."
Melihat keteguhannya, para kesatria lain tidak lagi membantah. Ken Homura, Kesatria Api, akhirnya mengangguk. "Baiklah. Kami akan mempercayakan ini padamu. Tapi hati-hati, Hano. Jangan lengah."
Hano mengangguk dan segera berangkat, meninggalkan markas dengan ekspresi penuh determinasi.
Hano menggunakan sihir air tingkat lanjut untuk menciptakan pijakan di udara, membekukan partikel air di sekitarnya menjadi lempengan es yang kuat. Dengan langkah-langkah cepat, ia melintasi samudra luas di bawah langit yang gelap. Kilatan petir dan hembusan angin membuat perjalanan semakin sulit, tetapi Hano tetap melaju tanpa ragu.
Di tengah perjalanan, ia merenung. "Kuroten... sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihatmu?" gumamnya pelan. Kilasan ingatan tentang masa lalu mereka berdua melintas di pikirannya—sebuah hubungan yang pernah ada, namun kini menjadi rahasia yang ia simpan rapat-rapat.
Ketika pulau tujuan mulai terlihat di kejauhan, aura kegelapan yang mencekam terasa semakin kuat. Hano merasakan hawa iblis yang memenuhi pulau itu, seperti kekacauan yang telah direncanakan dengan hati-hati.
Hano mendarat di tepi pantai pulau kecil itu, yang diterangi hanya oleh kilatan petir sesekali. Di sekelilingnya, iblis-iblis buas mulai bermunculan dari kegelapan. Mereka memiliki bentuk yang mengerikan—dengan taring tajam, tubuh besar, dan mata merah yang memancarkan kebencian.
Salah satu iblis terbesar mengaum keras dan menyerang Hano. Dengan tenang, Hano mengangkat tangannya, membentuk sebuah tombak es yang besar, lalu melemparkannya ke arah iblis tersebut. Tombak itu menembus tubuh iblis dan membekukan area di sekitarnya.
"Ini baru permulaan," kata Hano sambil bersiap.
Iblis-iblis lain menyerbu secara bersamaan. Hano memanipulasi air di udara, menciptakan gelombang raksasa yang menghantam mereka semua, diikuti dengan sihir es yang membekukan mereka menjadi patung.
Pertempuran berlangsung selama beberapa jam. Jumlah iblis yang tak terhitung terus berdatangan, namun Hano tetap bertahan. Dengan gerakan cepat, ia memotong, menghantam, dan membekukan semua yang ada di hadapannya. Keringat bercampur darah menetes di wajahnya, tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Akhirnya, pulau itu sunyi. Tidak ada lagi iblis yang tersisa. Hano berdiri di tengah reruntuhan, napasnya terengah-engah.
Setelah pertempuran, Hano mulai menelusuri pulau itu, mencari tanda-tanda kehidupan manusia. Ia menemukan sebuah kapal nelayan yang terparkir di tepi pantai. Di dalam kapal, terdapat barang-barang milik awak kapal—topi, baju, dan sebuah boneka kayu kecil yang tampaknya dipahat dengan tangan.
Hano memegang boneka itu dengan hati-hati, ekspresinya berubah sendu. "Mereka tidak punya kesempatan," gumamnya.
Sebelum meninggalkan pulau, ia berdiri di tepi pantai dan memandang ke arah lautan yang bergelombang. "Kuroten... aku tahu kau di sini. Disaat kita bertemu lagi, apakah kau masih mengingatku?" katanya pelan.
Ia lalu menciptakan pilar es untuk membantunya kembali ke markas, membawa barang-barang yang ia temukan sebagai bukti. Namun, hatinya tetap diliputi kesedihan dan misteri yang mendalam tentang hubungan masa lalunya dengan Kuroten.
Di desa nelayan, Rika masih menunggu di depan rumahnya, memeluk boneka lusuh miliknya. Hari sudah malam, tetapi ia tetap menatap laut, berharap ayahnya akan kembali. Di kejauhan, suara angin membawa gelombang ombak yang tenang, seakan menyampaikan pesan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.