Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan
Perjalanan menuju rumah Karina terasa canggung. Revan berkonsentrasi penuh pada jalanan yang basah, sementara Karina hanya diam, memandangi hujan yang mengalir di kaca jendela mobil. Tak ada yang memulai percakapan. Hanya suara wiper dan gemuruh hujan yang mengisi kesunyian di antara mereka.
Namun, sesekali Revan melirik Karina dari sudut matanya. Wajah wanita itu tampak sedikit tegang, tapi ada sesuatu yang ia rasakan, mungkin rasa syukur, atau mungkin perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan.
“Alamat rumahmu di mana, Karina?” tanya Revan, memecah keheningan.
Karina tersentak kecil, seperti baru tersadar. “Oh, lurus aja dulu. Nanti gue kasih tahu belokannya,” jawabnya singkat tanpa menoleh.
Revan mengangguk. Ia kembali fokus pada kemudi, sementara Karina mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan mulai mereda, meskipun langit tetap gelap.
Setelah beberapa menit, Karina menunjuk ke kanan. “Belok sini, terus lurus sampai ada minimarket, terus belok kiri.”
Revan mengikuti arahannya. Jalanan yang mereka lewati semakin kecil, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang cukup besar.
“Ini rumah gue," katanya pelan.
Revan memarkir mobil di depan pagar rumah Karina. Ia mematikan mesin, lalu menatap Karina yang tampak ragu-ragu untuk turun.
“Udah sampai, tuh. Kenapa bengong?” tanya Revan sambil tersenyum tipis.
Karina menggigit bibir bawahnya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya, ia membuka pintu mobil dengan enggan. Namun, sebelum keluar, ia menoleh ke Revan.
“Rev...” ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan yang masih rintik-rintik.
“Hm?”
“Thanks ya... udah nganterin gue,” katanya sambil mengalihkan pandangan. Wajahnya terlihat sedikit memerah.
Revan mengangguk. “Ya, sama-sama. Kalau lo butuh sesuatu lagi, kabarin aja.”
Karina hanya mengangguk kecil. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu rumahnya. Namun, langkahnya terhenti sejenak. Ia menoleh lagi, menatap Revan yang masih duduk di dalam mobil.
“Rev, lo hati-hati, ya. Gue... nggak mau denger lo bikin masalah lagi,” ucapnya dengan nada serius.
Revan tersenyum kecil. “Iya, gue ngerti.”
Karina akhirnya masuk ke dalam rumahnya, sementara Revan masih duduk di mobilnya selama beberapa saat, menatap rumah Karina yang kini tertutup rapat.
Ia menarik napas panjang, merasa beban yang tadi menggelayuti pikirannya sedikit berkurang. Namun, di balik rasa lega itu, ia juga merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Karina, sesuatu yang membuatnya penasaran, tapi belum bisa ia pahami.
Dengan hati yang lebih tenang. Revan menyalakan mesin mobilnya dan mulai melanjutkan perjalanan, meninggalkan rumah Karina yang perlahan tertelan bayang-bayang hujan, dan jalan yang semakin gelap. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tetapi satu hal yang jelas, ia butuh waktu untuk menenangkan diri.
Pulang ke rumah keluarganya bukan pilihan yang tepat malam ini. Ia tidak ingin membawa segala kekacauan ini ke hadapan mereka dalam kondisi pikirannya yang kacau. Apartemen kecilnya di pusat kota sepertinya menjadi tempat yang paling aman saat ini.
Setelah beberapa waktu mengemudi dalam diam, Revan tiba di gedung apartemen tempat ia tinggal selama beberapa tahun terakhir. Apartemen itu sederhana, jauh dari kemewahan rumah keluarganya. Ia memilih tempat ini sebagai pelariannya, tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa bayang-bayang tuntutan keluarga.
Revan memarkir mobil di basement, lalu berjalan menuju lift dengan langkah berat. Sesekali ia merapikan rambutnya yang sedikit basah karena hujan. Ketika lift membawanya ke lantai tempat unitnya berada, Revan menghela napas panjang, seolah-olah mencoba melepaskan beban yang menggelayuti pikirannya.
Revan berdiri terpaku di depan pintu apartemennya yang sedikit terbuka. Alisnya berkerut, firasat aneh menyelusup ke pikirannya. Ia yakin benar telah mengunci pintu sebelum pergi tadi pagi. Dengan perlahan, ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu terang, semua lampu menyala, dan pemandangan di depannya membuat langkahnya terhenti.
Di sofa ruang tamu, duduk dua orang yang sangat ia kenal.
Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi, wajahnya tegas, penuh wibawa, namun juga memancarkan aura dingin yang selalu membuat Revan merasa kecil di hadapannya, itu ayahnya. Di sebelahnya, seorang wanita muda dengan kemeja formal yang rapi, wajahnya tenang tapi terlihat penuh ketegangan. Itu Della, asisten pribadinya, Revan.
Revan menutup pintu di belakangnya perlahan, matanya menatap keduanya bergantian. Ruangan itu terasa berat, seolah-olah udara mendadak menjadi sulit dihirup.
“Revan,” suara ayahnya terdengar pelan namun penuh wibawa, seperti biasanya.
“Kamu sangat keterlaluan, Revan,” lanjutnya, kali ini dengan nada yang lebih tinggi, tajam menusuk.
“Ayah sudah tidak tahu lagi bagaimana memahami sikapmu. Tiga hari tidak pulang, dua hari absen dari kantor. Sebenarnya kamu ke mana saja, hah?”
Revan tetap diam, tak langsung menanggapi. Ia berjalan perlahan ke arah meja ruang tamu, meletakkan kunci mobilnya dengan sedikit keras, seperti ingin menyalurkan kekesalan yang sejak tadi ia tahan. Setelah itu, ia berdiri di hadapan mereka. Matanya menatap ayahnya lekat, penuh ketegangan.
“Jawab, Revan!” desak ayahnya, kini benar-benar kehilangan kesabaran.
Revan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosi yang sudah berada di ujung batas. “Kenapa Ayah harus ke sini? Kalau cuma mau marah-marah, kenapa nggak lewat telepon aja?”
Wajah ayahnya berubah lebih serius. “Karena ini masalah besar, Revan. Kamu bukan anak kecil lagi yang bisa seenaknya lari dari tanggung jawab. Ayah datang karena sudah terlalu lama kamu mengabaikan semua hal yang seharusnya jadi prioritasmu!”
Revan mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Suara ayahnya terasa seperti pisau yang menekan setiap luka lama dalam dirinya. Ia menelan ludah sebelum akhirnya menjawab, suaranya rendah tapi jelas.
“Aku nggak lari, Yah. Aku cuma... butuh waktu untuk diriku sendiri."
Ayahnya tertawa kecil, tapi tidak ada tanda kehangatan dalam tawanya. “Waktu untuk dirimu sendiri? Dengan menghilang seperti ini? Dengan meninggalkan tanggung jawabmu di kantor? Kamu pikir hidup ini hanya tentang apa yang kamu mau?”
Della yang sejak tadi diam, akhirnya mencoba membuka suara. “Maaf, Pak Revan, saya sebenarnya ingin memberi tahu Anda tentang ini sebelumnya, tapi...”
“Della,” potong Revan cepat, matanya beralih pada asistennya. “Kamu nggak perlu ikut campur.”
Suasana semakin memanas. Ayahnya berdiri, menatap Revan dengan penuh kemarahan. “Kamu tahu, Revan? Kesabaran Ayah sudah habis. Minggu depan, kamu harus hadir di rapat direksi, tidak ada alasan, tidak ada kompromi.”
Revan memejamkan mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosinya. Namun, saat ia membuka mata, pandangannya dingin. “Baik. Aku akan datang ke rapat itu. Tapi jangan harap ayah bisa mengatur hidupku di luar itu.”
Ayahnya mendengus kecil, senyumnya penuh sindiran. “Kita lihat saja nanti, Revan. Kalau kamu pikir kamu bisa terus melawan, ingat ini, kamu tetap anak dari keluarga ini, dan nama baik keluarga kita adalah tanggung jawabmu.”
Tanpa berkata lagi, ayahnya mengambil jas yang ia letakkan di sandaran sofa dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sejenak.
“Jangan sampai Ayah harus datang ke sini lagi, Revan.”
Pintu tertutup dengan keras, meninggalkan Revan dan Della dalam keheningan yang berat. Revan menatap meja di depannya, matanya kosong.
Della berdiri, wajahnya penuh keraguan. "Pak Revan, saya...”
“Della, aku lagi nggak ingin dengar apa pun sekarang,” ucap Revan cepat, suaranya dingin dan tegas.
Della menunduk, lalu mengambil tasnya. “Baik, kalau begitu saya pamit dulu. Tapi kalau Anda butuh sesuatu, saya selalu siap membantu.”
Tanpa menunggu jawaban, Della melangkah keluar, meninggalkan Revan sendirian di apartemen yang kini terasa begitu sunyi. Revan menghempaskan tubuhnya ke sofa, kedua tangannya menutupi wajahnya. Beban dari percakapan tadi menghantamnya seperti gelombang besar.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi dalam hatinya, ia tahu, pertempuran ini jauh dari selesai.
Setelah beberapa menit, ia akhirnya menjatuhkan tangannya ke sisi tubuh, menatap langit-langit apartemen dengan mata yang penuh beban.
Otaknya sibuk memproses percakapan yang baru saja terjadi. Nama baik keluarga, tanggung jawab, rapat direksi, semuanya terasa seperti rantai yang semakin menjeratnya.
Revan bangkit perlahan, berjalan menuju dapur kecil di pojok ruangan. Ia membuka lemari dan mengambil sebotol air mineral. Tangannya sedikit gemetar saat membuka tutup botol, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia meneguk air itu dengan cepat, seolah-olah berharap kesegaran dari cairan itu bisa menyapu semua kepenatannya.
Namun, pikiran tentang ayahnya tak kunjung hilang. Sosok pria paruh baya itu selalu hadir seperti bayangan besar dalam hidupnya, mengingatkan Revan bahwa apa pun yang ia lakukan, ia tak pernah benar-benar bebas.
Revan menatap botol di tangannya, lalu melemparkannya ke meja dapur dengan frustrasi.
"Kenapa harus selalu seperti ini?" gumamnya pelan, tapi penuh emosi.
Ia berjalan ke arah balkon kecil apartemennya. Udara malam yang dingin menyambutnya saat ia membuka pintu geser kaca. Hujan masih turun rintik-rintik, menambah suasana muram yang sudah menguasai malamnya. Revan menyalakan sebatang rokok, menatap lampu-lampu kota yang berkedip-kedip di kejauhan.
Pikirannya melayang pada berbagai hal. Tanggung jawab yang diungkit ayahnya, pekerjaan yang ia tinggalkan, dan Karina. Nama itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Wajah Karina, dengan tatapan indahnya dan senyuman kecil yang ia sembunyikan saat mengucapkan terima kasih, terlintas jelas dalam ingatannya.
"Karina..." Revan berbisik pelan.
Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya merasa aneh, sesuatu yang mengganggu sekaligus menarik. Mungkin, ia adalah satu-satunya orang yang tak pernah menuntut apa pun darinya.
Revan membuang puntung rokoknya ke asbak di dekat balkon, lalu kembali masuk ke dalam. Ia berjalan menuju kamar, melemparkan tubuhnya ke atas kasur tanpa mengganti pakaian. Matanya menatap kosong pada langit-langit kamar, mencoba mencari jawaban atas semua kekacauan ini.
Sebelum ia menyadarinya, ponselnya bergetar di saku celana. Dengan malas, ia merogoh saku dan melihat layar ponselnya. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Revan, gue nggak tahu apa lo udah tidur, tapi gue cuma mau bilang... thanks lagi buat tadi. Kalau lo perlu sesuatu, jangan ragu buat kabarin gue.
Pesan itu diakhiri dengan tanda nama yang sederhana: Karina.
Revan terdiam sejenak, menatap layar ponsel dengan ekspresi campur aduk. Ia mengetik balasan, tapi jari-jarinya terhenti di tengah jalan. Akhirnya, ia hanya menutup ponselnya tanpa membalas.
“Thanks, Karin,” gumamnya pelan.
"Tapi kayaknya bukan aku yang bakal minta bantuanmu."
Revan menutup matanya, mencoba memaksakan dirinya untuk tidur. Namun, bayangan ayahnya, tuntutan keluarga, dan wajah Karina terus bermain di pikirannya. Malam ini terasa begitu panjang, seolah-olah dunia tak ingin memberinya sedikit pun ruang untuk bernapas.