**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Rosalin merasa lega akhirnya keluar dari situasi canggung sebelumnya, tetapi kali ini nasibnya sepertinya tidak lebih baik. Di depannya, Elena, Kilian, Wiliam, dan beberapa teman mereka tampak berbincang santai. Sialnya, saat Rosalin berusaha melewati mereka dengan cepat, Elena memanggilnya.
“Rosalin, kau terlihat sangat cantik mengenakan pakaian itu,” ucap Elena dengan senyum manis yang menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.
Rosalin tertegun sejenak, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata Elena. Apakah dia sungguh-sungguh memuji, atau malah merendahkannya?
“Benarkah? Kalau begitu, apa Anda ingin mencobanya juga, Putri Elena?” balas Rosalin, tersenyum sambil mencoba menanggapi dengan nada bercanda.
Namun, Kilian segera memotong, “Jangan melewati batas, Rosalin.” Tatapan tajamnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tertarik pada lelucon itu.
Rosalin menahan tawa, tapi tetap mencoba meredakan suasana. “Hahaha, saya hanya bercanda, Pangeran Kilian. Tidak usah terlalu serius. Lagipula, mana mungkin Putri Elena mengenakan pakaian seperti ini, bukan?” ucapnya, berusaha tampak santai.
Di dalam hatinya, Rosalin berbisik dengan nada cemooh, ‘Pria ini memang tak bisa diajak bercanda. Hidupnya pasti sangat sepi. Lihat saja wajahnya, begitu datar seperti tidak ada kehidupan.’
Tiba-tiba, Wiliam ikut menimpali, “Tapi kau memang terlihat cantik, Rosalin.”
Rosalin tersenyum dan memanfaatkan momen itu. “Terima kasih, Pangeran Wiliam. Saya tersanjung mendengar itu. Anda juga sangat tampan.”
Ia sengaja mengucapkan pujian itu sambil melirik Kilian, menanti reaksi darinya. Kilian hanya diam, tapi sorot matanya menunjukkan rasa tidak suka yang jelas. Elena menyadari ketegangan itu dan tersenyum tipis, seolah menikmati situasinya.
“Ah, Rosalin,” kata Elena dengan suara lembut, “kau tampak sangat pandai menarik perhatian pria, bahkan di tengah hukumanmu.” Kalimat itu terdengar seperti candaan, tapi ada nada sinis yang sulit disembunyikan.
Rosalin menanggapi dengan senyum polos. “Oh, terima kasih, Putri Elena. Terkadang hukuman justru mengajarkan hal-hal yang tak terduga.” Dengan nada seolah tak tersinggung, ia berhasil menjaga sikapnya.
Kilian memandang Rosalin dengan tatapan tajam, merasa terganggu dengan kedekatan antara Rosalin dan Wiliam. Sementara itu, Elena terus memperhatikan Rosalin, sorot matanya tampak semakin tidak bersahabat. Di balik senyum manisnya, jelas Elena mulai merasa terancam dengan keberadaan Rosalin di tengah mereka.
Merasa puas telah berhasil membuat elena kesal, Rosalin akhirnya berpamitan dan kembali ke tugasnya, meninggalkan mereka dengan intrik yang masih menggantung di udara.
...***...
Hukuman Rosalin akhirnya berakhir. Hari ini, dia tidak lagi ditugaskan menjadi pelayan. Ada perasaan aneh yang menghampirinya; mungkin karena dia terbiasa merasakan kebahagiaan sederhana saat bersama para pelayan lain. Namun, ada rasa syukur yang tak bisa ia abaikan karena kini dia bisa hidup dengan lebih mewah dan nyaman.
Sekarang, Maria ditunjuk menjadi pelayan pribadinya. Sifat Maria yang baik dan ceria membuat Rosalin merasa nyaman berada di dekatnya, hingga perlahan ia menyukai kehadiran Maria dalam kesehariannya. Dan Emma? Tentu saja, dia tetap menjadi kesayangan Rosalin, sosok yang selalu ia andalkan.
Malam ini, Rosalin dan Kilian akan menghadiri pesta penyambutan untuk Pangeran William. Pesta tersebut diadakan untuk merayakan keberhasilan William dalam menyelesaikan pendidikannya. Rosalin merasa sedikit gugup; ini akan menjadi salah satu pertemuan penting antara dirinya dan para bangsawan lainnya, terutama di hadapan Kilian dan William, yang selama ini penuh dengan aura misteri dan ketegangan.
"Putri, Anda ingin mengenakan pakaian seperti apa untuk acara malam ini?" tanya Maria dengan suara lembut.
Rosalin menatapnya, berpikir sejenak. "Aku tidak tahu. Menurutmu warna apa yang cocok untukku?"
Maria tersenyum, wajahnya berseri. "Sepertinya warna merah muda akan sangat pas dengan kulit putih Anda, Putri."
"Benarkah?" Rosalin mengangguk pelan. "Kalau begitu, tolong siapkan. Tapi ingat, jangan pilih yang berat, ya."
"Baik, laksanakan!" jawab Maria dengan nada penuh semangat.
Rosalin kembali pada aktivitasnya, merajut dengan tenang. Namun, suara langkah halus di belakangnya membuatnya menoleh. Suara yang familiar menyapanya.
"Rosalin, kau akan mengenakan gaun berwarna merah muda? Itu pasti akan sangat cocok denganmu."
Rosalin menahan helaan napasnya. **Elena**. Kenapa wanita ini datang setiap hari ke sini? Apa dia tak punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan?
"Putri Elena," sapa Rosalin sopan sambil tersenyum tipis. "Anda ingin bertemu dengan Pangeran Kilian, ya? Benar, saya akan mengenakan gaun merah muda. Bagaimana dengan Anda?"
Elena terlihat berpikir sejenak, senyumnya mengembang. "Hmm, aku belum tahu. Belum kupikirkan."
Ada keheningan sesaat. Rosalin hanya membalas dengan senyum kecil sambil menahan perasaannya. Ada sesuatu tentang kehadiran Elena yang selalu membuatnya merasa waspada.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Rosalin. Saya ada janji dengan Kilian. Semoga harimu menyenangkan," ujar Elena dengan senyum anggun sebelum berbalik pergi.
"Tentu, Putri. Silakan," jawab Rosalin sambil mencoba mempertahankan senyum sopan.
Namun, saat Elena keluar dari ruangan, pikiran Rosalin berkecamuk. *Kenapa setiap hari dia bertemu dengan suamiku? Sedangkan aku, bahkan bertemu barang sekejap pun tidak.* Sebuah pertanyaan terbersit dalam benaknya. *Sebenarnya, siapa di sini yang istrinya? Aku atau dia?*
Rosalin mengepalkan tangannya, tekadnya bulat. *Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus lebih maju, lebih dekat dengan Kilian dibandingkan dia.*
Dengan langkah tegas, Rosalin bangkit dari tempat duduknya. Tanpa ragu, dia memutuskan untuk menyusul Elena, mengambil alih kesempatan yang seharusnya menjadi miliknya.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN
SEMAKIN BANYAK YANG KOMEN SEMAKIN SEMANAGT UNTUK UPDATE
semoga ceritanya sering update