John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Membalikkan Keadaan
Tatapan mata Nadira langsung berubah saat mengenali gadis yang menghadangnya. Sasha, saudara tirinya, memandangnya dengan tatapan merendahkan yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih dingin. Nadira memilih mengabaikan Sasha dan melanjutkan langkahnya, tetapi suara Sasha yang keras dan penuh sindiran menghentikannya.
“Pembantu pun pengen kuliah? Apa nggak salah? Wajar aja sih, anak yang nggak punya ayah cuma jadi pembantu. Lumayan ya, kerja di kafe buat bayar uang kuliah,” ejek Sasha dengan nada yang sengaja diperkeras, membuat beberapa orang di sekitar mereka mulai melirik dengan rasa ingin tahu.
Nadira berhenti, menoleh perlahan dengan tatapan dingin. Ia tertawa kecil, suara tawa yang terdengar lebih sebagai ejekan. "Siapa aja bisa kuliah asal otaknya pintar. Nggak seperti seseorang yang harus masuk lewat jalur belakang karena nggak cukup cerdas buat diterima di jalur biasa," balas Nadira tajam, menyindir Sasha tanpa ragu.
Wajah Sasha memerah karena amarah. “Dasar anak sial! Bahkan ayah kandungmu aja nggak sudi namanya ditulis di akte kelahiranmu. Anak haram!” ucap Sasha lantang, berusaha mempermalukan Nadira di depan semua orang.
Nadira tersenyum dingin. Ia melangkah mendekati Sasha, lalu berkata dengan nada yang terdengar tenang namun penuh sindiran, “Nggak pantas nama seorang pria tukang selingkuh, nggak tahu malu, dan nggak bertanggung jawab, yang udah bikin ibuku menderita, ditulis di akte kelahiran aku. Kalau aku bisa, aku akan buang semua darah dan daging pria brengsek itu dari tubuhku.”
Nadira menatap Sasha dengan tajam, intensitas di matanya membuat gadis itu tanpa sadar bergidik. "Dan... anak haram, katamu?" Nadira memiringkan kepala, senyum dingin menghiasi wajahnya. "Pria tak tahu malu itu menjalin hubungan dengan ibumu di belakang istri sahnya, ibuku. Jadi, pikir baik-baik, siapa sebenarnya yang anak haram di sini?" Nadira menekankan kata-katanya dengan jelas, lalu menunjuk Sasha tanpa ragu. "Kau!"
Sasha terbelalak, wajahnya memerah karena emosi yang tertahan. Namun Nadira belum selesai. Dengan suara yang tajam dan tenang, ia menambahkan, "Anak haram dari seorang pelakor seperti kamu mana mungkin tahu apa itu kehormatan." Nadira menyeringai tipis, senyum mengejeknya cukup untuk membuat Sasha gemetar karena amarah.
Darah Sasha terasa mendidih. “Kurang ajar! Beraninya, kau!” serunya, melangkah maju dengan niat menyerang Nadira. Namun Nadira dengan cepat berkata, “Coba aja sentuh aku, Sasha. Kalau kamu berani, aku akan menuntut hak waris ibuku dari pria tukang selingkuh nggak bertanggung jawab itu. Kalau aku melakukannya, siapa tahu keluargamu semua jadi miskin.”
Ucapan itu menghentikan Sasha di tempat. Wajahnya memerah karena amarah bercampur malu. Sementara itu, Nadira melangkah pergi dengan wajah dingin tanpa menoleh lagi. Sasha hanya bisa berdiri di tempat, menggenggam tangannya dengan geram, merasa direndahkan oleh gadis yang tadi ia coba permalukan.
Suasana sekitar yang tadinya hanya dipenuhi langkah-langkah mahasiswa yang berlalu-lalang, kini dipenuhi bisik-bisik yang beragam setelah pertengkaran Nadira dan Sasha berlangsung.
“Anak haram? Gila, Sasha tadi bilang itu terang-terangan!” bisik seorang gadis pada temannya, tampak terkejut.
“Tapi Nadira balasnya nggak kalah pedas, loh. Dia nyebut ibunya Sasha pelakor!” ujar temannya, menutup mulutnya untuk menahan suara agar Sasha tidak mendengar.
“Bener juga sih, Sasha itu keterlaluan. Kalau emang Nadira anak haram, kenapa dia bisa lebih pintar daripada Sasha? Katanya dia masuk kampus ini lewat jalur undangan, 'kan?”
“Iya. Tapi, apa benar kalau Nadira tuntut hak waris kayak yang dia bilang tadi, keluarganya Sasha bisa kena masalah besar?” tambah seorang mahasiswa lain, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Nggak tahu. Tapi tadi Nadira kelihatan sangat yakin dan dingin banget, ya. Aku sampai merinding waktu dia bilang mau buang darah dan daging ayahnya sendiri,” kata seorang gadis yang berdiri agak jauh, suaranya setengah kagum, setengah heran.
“Kasihan juga, sih. Tapi Sasha itu memang suka cari masalah. Kali ini dia kena batunya,” ucap salah seorang pria yang menyaksikan pertengkaran itu dari awal.
Orang-orang terus berbicara pelan, menyebarkan opini dan cerita masing-masing sambil memandang Sasha yang masih berdiri dengan wajah merah penuh amarah. Di sisi lain, Nadira berjalan menjauh tanpa sedikit pun memedulikan keributan kecil yang ditinggalkan di belakangnya.
Sasha menggeram, mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan rasa malu yang membara di dadanya. Bisik-bisik di sekitarnya makin terdengar jelas meski ia berusaha mengabaikannya.
“Dasar Nadira sialan!” umpatnya dengan suara pelan namun penuh emosi. Ia menendang kerikil kecil di depannya, seolah-olah itu bisa melampiaskan kekesalannya.
Sudah lama Sasha mencari kesempatan untuk bertemu Nadira. Meskipun mereka satu kampus, menemukan gadis itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nadira terlalu sibuk dengan jadwal kuliah yang padat, pekerjaan sebagai asisten dosen dan pekerjaan paruh waktunya, hingga jarang terlihat berkeliaran di sekitar kampus seperti mahasiswa lain.
“Apa dia sengaja menghindar?” Sasha bergumam pada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan untuk menjelaskan betapa sulitnya menemukan Nadira. Tapi hari ini, akhirnya ia berhasil. Dan sialnya, hasilnya tidak seperti yang ia rencanakan.
Ia menggigit bibirnya kesal, memutar ulang kejadian tadi dalam benaknya. Nadira, dengan wajah tenang namun penuh sindiran, membalas semua hinaannya tanpa ragu sedikit pun. Malah, Sasha merasa justru dirinya yang terlihat bodoh dan tak berdaya di mata semua orang.
Sasha melirik kerumunan yang mulai bubar, sebagian masih meliriknya dengan tatapan mengejek. Rasa malu itu semakin menyengat.
“Dia pikir siapa dia?” desis Sasha pelan. “Aku nggak akan membiarkan ini begitu saja.”
Dengan langkah berat, Sasha akhirnya pergi, menahan dendam yang kian membesar dalam hatinya.
Sasha melangkah dengan gontai, wajahnya masih merah padam menahan rasa malu dan amarah. Ia terus memikirkan kejadian tadi, mengulang setiap kata yang diucapkan Nadira. Tidak seperti biasanya. Nadira yang dulu ia kenal tidak pernah membalas, tidak pernah melawan. Gadis itu hanya diam, menerima semua hinaan tanpa perlawanan. Tapi sekarang? Nadira bahkan bisa mempermalukannya di depan banyak orang.
"Kenapa dia berubah?" gumam Sasha, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk kampus. "Sejak kapan dia jadi berani begitu?"
Pikirannya kembali ke masa-masa saat mereka masih tinggal serumah. Nadira yang dulu, gadis pendiam dan lemah, hanya menunduk setiap kali Sasha melayangkan ejekan. Selalu pasrah, selalu terpojok tanpa melawan. Tapi sejak keluar dari rumah, Nadira tampak seperti orang yang berbeda.
“Apa yang membuat dia berubah?” Sasha bergumam lagi, menggigit bibirnya kesal. "Apakah ini karena dia merasa bebas? Bebas dari tekanan rumah, bebas dari aturan keluarga yang selalu membatasi geraknya?"
Sasha meremas tasnya kuat-kuat, amarahnya semakin membuncah. “Dasar gadis sialan,” desisnya pelan. “Keluar rumah bikin dia lupa diri.”
Tapi di balik kekesalannya, ada perasaan lain yang sulit diabaikan. Perasaan tak nyaman, seolah-olah Nadira yang baru ini lebih kuat, lebih percaya diri, dan lebih sulit dijatuhkan. Hal itu membuat Sasha tidak hanya marah, tapi juga… takut.
"Aku akan mengadu pada papa agar papa memberinya pelajaran," geramnya emosi.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂