Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan Baru
Dina tiba di Surabaya dengan perasaan campur aduk. Kereta yang membawanya ke kota besar itu meninggalkan kenyamanan Jatiroto yang sederhana dan tenang. Kini, ia harus menghadapi dunia yang lebih besar, dengan harapan dan ketakutan yang bersaing dalam hatinya.
Hari pertama di kota, ia disambut oleh Pak Bimo yang sudah menunggu di lobi hotel. Dosen itu tersenyum lebar, seolah tidak sabar untuk mengantarnya ke tempat presentasi. "Kamu sudah siap, Dina? Ini langkah besar untukmu."
Dina mengangguk, meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Aku belum tahu apakah aku benar-benar siap, Pak. Semua ini terasa… besar.”
Pak Bimo menepuk bahunya dengan penuh keyakinan. "Kamu sudah jauh lebih siap daripada yang kamu kira. Ingat, ini bukan hanya tentang teknologi. Ini tentang bagaimana kamu bisa meyakinkan mereka tentang perubahan yang akan kamu bawa."
Dina menghela napas dan mengikutinya ke ruang pertemuan. Ruangan itu besar, dengan meja panjang dan deretan kursi yang dipenuhi oleh para donatur dan pengusaha yang tampaknya sudah berpengalaman. Dina merasa seperti anak kecil di antara orang-orang yang sudah makan asam garam dunia.
Namun, saat ia mulai mempresentasikan proyek kincir angin yang ia buat di Jatiroto, perlahan rasa gugup itu mulai menghilang. Ia bercerita tentang bagaimana listrik dari kincir angin pertama memberi perubahan bagi desa mereka, tentang bagaimana Pak Karim bisa mengairi sawahnya lebih efisien, dan bagaimana Bu Nur membuka warung kecil dengan lemari es yang membantu mendatangkan lebih banyak pelanggan.
“Ini bukan hanya tentang energi, ini tentang memberikan kesempatan,” kata Dina, matanya bersinar. “Energi yang kami hasilkan akan memberi peluang baru untuk semua orang, dan saya ingin lebih banyak desa merasakannya.”
Setelah presentasi selesai, suasana hening sejenak. Kemudian, salah satu donatur, seorang wanita dengan jas formal yang tampak tegas, mengangkat tangan. "Apa rencanamu untuk skala yang lebih besar? Bagaimana kamu mengatasi masalah distribusi yang mungkin timbul di masa depan?"
Dina tersenyum, menunggu pertanyaan itu. "Kami sudah merancang sistem pemantauan yang akan memastikan distribusi listrik tetap efisien dan adil. Kami juga mengusulkan pembentukan koperasi desa yang bisa mengelola semua ini, dengan peran serta dari setiap warga."
Pak Bimo memberi isyarat kecil, memberi tahu Dina untuk tetap tenang. Dina merespons dengan percaya diri, menjelaskan rencana jangka panjangnya untuk membangun lebih banyak kincir angin, dengan melibatkan komunitas dan membangun kemitraan dengan lembaga swasta yang peduli pada pengembangan energi terbarukan.
Beberapa jam berlalu dan akhirnya, setelah beberapa pertanyaan yang menggugah, presentasi Dina berakhir. Para donatur terlihat berdiskusi dengan serius, dan meskipun belum ada keputusan yang langsung diambil, Dina merasa ada harapan. Ia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan, tetapi titik awal dari sesuatu yang lebih besar.
~
Kembali di Jatiroto, Mira merindukan kehadiran Dina. Setiap hari, ia menunggu kabar, berharap sahabatnya baik-baik saja di kota besar. Tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam diri Mira belakangan ini. Rasa iri yang ia rasakan terhadap Dina mulai tumbuh menjadi perasaan yang lebih rumit. Dia ingin ikut berada di sana, di tengah keramaian dan tantangan yang dihadapi Dina. Namun, rasa takut akan kegagalannya sendiri menahannya.
Malam itu, Mira duduk di teras rumah, memandang kincir angin yang terus berputar di kejauhan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah yang basah. Ia ingat saat pertama kali Dina datang dengan ide kincir angin, dan bagaimana mereka bersama-sama membangunnya. Kini, meski segala sesuatunya telah berjalan lancar, Mira merasa terjebak di tempat yang sama, sementara Dina sudah melangkah jauh.
"Apa aku harus terus di sini?" gumamnya pada diri sendiri, matanya menatap kincir yang terus berputar, sama seperti impiannya yang tak tahu harus ke mana.
~
Di Surabaya, Dina menerima kabar baik yang membuat hatinya melompat kegirangan. Salah satu donatur besar, sebuah lembaga nirlaba yang mendukung proyek energi terbarukan, setuju untuk memberikan dana untuk membangun tiga kincir angin tambahan di Jatiroto. Tetapi, kabar ini datang dengan satu permintaan: Dina harus bekerja sama dengan lembaga itu dalam jangka panjang dan siap untuk mengatur pelatihan bagi para warga agar mereka bisa mengelola kincir angin secara mandiri.
Dina merasa bahagia, namun juga cemas. Ini berarti lebih banyak tanggung jawab, lebih banyak tekanan. Namun, ia tahu ini adalah peluang yang tidak bisa disia-siakan. "Ini untuk Jatiroto," pikirnya, “Ini untuk semua orang di desa.”
~
Setelah presentasi, Dina kembali ke hotel dan duduk di jendela, memandang kota besar yang tak pernah tidur. Jatiroto kini hanya tinggal bayangan di pikirannya, namun ia tahu, dalam hatinya, desa itu akan selalu ada. Ia menarik napas panjang dan menulis pesan singkat untuk Mira, berharap sahabatnya bisa merasakan kebahagiaan yang sama.
“Aku dapat kabar baik, Ra! Kincir angin kita akan berkembang, dan ini semua berkat usaha kita bersama. Aku janji, ini baru awal dari banyak hal yang lebih besar.”
Dengan senyum, Dina menekan tombol kirim. Di luar sana, dunia menantinya, tetapi Jatiroto tetap menjadi rumah yang tak tergantikan.
Keesokan harinya, setelah berhari-hari merasa terjaga di antara keramaian Surabaya, Dina merasa sedikit lelah. Namun, semangat baru mengalir dalam dirinya saat memikirkan kabar baik yang baru ia terima. Tiga kincir angin tambahan di Jatiroto bukan hanya akan mengubah desa mereka, tetapi juga membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk ikut serta dalam proyek ini.
Namun, perjalanan Dina di kota besar ini belum berakhir. Setelah beberapa hari penuh dengan pertemuan, diskusi, dan presentasi, ia akhirnya dipertemukan dengan investor besar dari lembaga yang mendanai proyek energi terbarukan. Mereka tertarik dengan ide Dina dan ingin segera memulai pembangunan kincir-kincir angin tersebut. Tapi, seperti yang ia duga, ada tantangan baru yang datang bersamaan.
"Saya rasa proyek ini punya potensi besar, Dina," kata Pak Tio, seorang pengusaha yang memimpin lembaga tersebut. "Namun, sebelum kita lanjutkan, kita perlu memastikan bahwa model pembagian keuntungan untuk masyarakat desa sudah jelas. Kami ingin memastikan bahwa seluruh desa dapat merasakan manfaat yang seimbang dari proyek ini."
Dina mengangguk, meski sedikit cemas. Ia tahu ini bukan hal mudah. Masalah pembagian keuntungan pernah menjadi isu besar di Jatiroto, dan meskipun ia sudah berusaha mencari solusi, ada banyak aspek yang belum bisa ia selesaikan. "Kami sudah memikirkan beberapa opsi, Pak. Kami bisa membuat koperasi yang mengelola keuntungan dari kincir angin ini. Tapi saya juga ingin memastikan bahwa setiap orang bisa merasakan manfaatnya, bukan hanya beberapa orang saja."
Pak Tio mengangguk dengan serius. "Saya setuju. Namun, kita harus membuat sistem yang tidak hanya adil tetapi juga transparan, agar semua pihak merasa puas. Jangan sampai masalah seperti ini malah merusak seluruh proyek."
Dina menarik napas panjang, memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk memastikan semua itu berjalan dengan baik. Ia merasa berat, tetapi ia tahu ini adalah tantangan yang harus ia hadapi. Kincir angin ini bukan hanya untuk Jatiroto—ini adalah simbol perubahan yang lebih besar.
~
Di Jatiroto, Mira masih terus menjalani hari-harinya dengan penuh keraguan. Setiap kali ia mendengar kabar dari Dina, rasa bangga selalu datang, tetapi di sisi lain, ada perasaan hampa yang tak bisa ia hindari. Ia merindukan sahabatnya, dan lebih dari itu, ia merindukan sebuah arah yang jelas untuk dirinya sendiri.
Suatu sore, ketika Dina menghubunginya melalui pesan singkat, Mira merasa sedikit lebih lega.
“Ra, aku butuh bantuanmu. Mereka meminta agar kita membuat sistem pembagian keuntungan yang lebih jelas. Kamu punya ide?”
Mira membacanya berulang kali, kemudian membalas dengan cepat. “Tentu, Din. Kita bisa mulai dengan mendengarkan pendapat semua warga. Mungkin kita bisa adakan rapat lagi, seperti dulu. Aku tahu kita bisa cari jalan tengah.”
Dina merasa ada kehangatan dalam pesan itu. "Terima kasih, Ra. Aku sangat membutuhkan bantuanmu sekarang," balas Dina dengan penuh haru.
~
Hari-hari berikutnya, Dina kembali ke Jatiroto, disambut dengan antusiasme yang besar. Meskipun ada kekhawatiran yang terus berkembang tentang pembagian keuntungan, semua orang di desa terlihat berharap bahwa proyek ini akan membawa perubahan yang lebih besar.
Dina, bersama Mira, memulai diskusi di balai desa. Mereka mengundang semua warga untuk berbicara, mendengarkan keluhan dan saran, dan menciptakan sistem yang bisa diterima semua pihak. Warga yang awalnya skeptis mulai merasa lebih dihargai karena mereka dilibatkan dalam keputusan-keputusan penting.
"Kalau kita semua punya saham dalam koperasi ini, maka kita bisa bersama-sama mengelola keuntungan yang didapat," kata Dina saat memimpin rapat. "Bukan cuma untuk kita yang ada di sini sekarang, tapi juga untuk anak cucu kita. Ini investasi untuk masa depan."
"Dan, jangan lupa," lanjut Mira, "kita akan mengadakan pelatihan untuk memastikan semuanya tahu bagaimana mengelola sistem ini dengan baik. Jadi tidak ada yang merasa ditinggalkan."
Beberapa warga tampak ragu, namun akhirnya mereka setuju untuk memberikan kesempatan pada sistem koperasi ini. Dina tahu, ini adalah langkah besar, tetapi juga penuh risiko. Ia hanya bisa berharap, bersama dengan Mira dan semua warga, mereka dapat menjaga proyek ini tetap berjalan dengan baik.
~
Di malam hari, setelah rapat yang panjang, Dina duduk di bawah bintang-bintang, di depan kincir angin yang perlahan-lahan berhenti berputar. Hembusan angin membawa kesegaran, namun juga perasaan yang lebih berat. Di balik semua kemajuan, ia merasa ada beban yang semakin besar—tanggung jawab yang lebih luas.
Mira duduk di sampingnya, terdiam sejenak sebelum berbicara. "Din, aku bangga banget sama kamu. Tapi aku tahu, ini nggak mudah. Aku berharap, kita bisa terus berdiri bersama, meski jalan ke depan pasti penuh tantangan."
Dina menoleh, memberi senyuman kecil. "Aku juga berharap seperti itu, Ra. Tapi kita nggak akan pernah tahu sampai kita mencobanya. Yang penting, kita nggak menyerah."
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, mereka berdua tahu satu hal pasti: mereka sudah melangkah jauh, dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka sekarang.
Bersambung...