Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dipaksa Melayani
Semalam suntuk, Nanda terjaga, matanya menatap pintu kamar yang tiba-tiba terbuka dengan suara berderak. Dimas masuk, langkahnya oleng, tubuhnya tampak lunglai, masih dipenuhi aroma alkohol yang menyengat. Ia bergumam pelan, suara seraknya melayang di udara, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang ditujukan kepada Nanda. Hanya keheningan yang menyambutnya.
Nanda hanya diam, menahan napas sejenak. Dimas, suami yang seharusnya memberi kasih sayang dan perhatian, malah berubah menjadi seseorang yang bahkan tidak mengenal dirinya lagi. Setelah beberapa bulan pernikahan, situasinya tidak pernah membaik. Dimas selalu pulang dalam keadaan mabuk, membawa pulang kemarahan yang tidak pernah dijelaskan, serta kelelahan yang terwujud dalam amarah yang tiada henti. Nanda sudah terlalu sering melihat Dimas dalam kondisi seperti itu—berjalan dengan langkah goyah, berbicara dengan suara yang kasar dan acak-acakan, dan melemparkan tatapan tajam yang mengiris hatinya.
Ketika Dimas melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, Nanda hanya bisa menahan air mata yang hampir saja jatuh. Perasaan marah dan kecewa mencampuraduk dalam hatinya, namun ia tahu, berteriak atau memprotes hanya akan menambah kebencian di antara mereka. Ia sudah terlalu lelah untuk mencoba berbicara, terlalu lelah untuk berusaha memahami apa yang terjadi dalam pikiran Dimas.
Malam itu, Dimas terbaring dengan nafasnya yang berat, sementara Nanda tetap terjaga, memandang suaminya yang tenggelam dalam tiduran mabuk. Suasana di dalam kamar menjadi semakin sunyi, hanya suara desah napas Dimas yang terdengar jelas. Nanda merasa terkurung dalam rasa yang begitu menyakitkan, seolah ia hidup dalam kebisuan yang menjeratnya.
Ia menarik selimut dengan hati-hati, mencoba tidur meski rasanya mustahil untuk terlelap. Malam yang sebelumnya diharapkannya penuh kedamaian, kini berubah menjadi malam yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan. "Apakah ini yang akan menjadi hidupku selamanya?" pikirnya. Setiap malam terasa sama tanpa perubahan, tanpa perbaikan. Ia hanya menunggu, menunggu Dimas untuk datang kembali ke dirinya, menunggu agar pernikahan mereka bisa kembali seperti dulu, namun harapan itu semakin redup.
Dimas sudah terlalu jauh, dan Nanda merasa semakin kesepian. Ia tahu, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menahan luka yang semakin dalam.
Pagi itu, Nanda berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang pelan, seolah tak ingin mengganggu ketenangan sejenak yang ia rasakan. Ia menyalakan shower, membiarkan air hangat mengalir deras membasahi tubuhnya. Di bawah guyuran air, ia menutup matanya dan berusaha mengabaikan segala kekacauan yang terjadi dalam hidupnya. Mandi adalah satu-satunya saat di mana ia merasa sedikit lega, meski hanya untuk beberapa menit.
Air yang mengalir di kulitnya terasa menenangkan, menyapu segala kepenatan yang sudah menggerogoti dirinya. Seperti biasa, di dalam kamar mandi yang sempit ini, Nanda bisa merasa sedikit lebih bebas, bisa sejenak melupakan kenyataan pahit yang menimpanya. Di sini, di bawah guyuran shower, ia merasa seolah dirinya terpisah dari dunia luar—dari Dimas yang semakin menjauh, dari hidup yang terasa semakin sulit untuk dijalani.
Ia memejamkan mata lebih lama, membiarkan air hangat itu meresap ke dalam tubuhnya, berusaha mencari ketenangan dalam keheningan. Tapi, saat air terus mengalir, rasa lelah dan kesepian kembali merayap masuk ke dalam pikirannya. Ia mengingat Dimas yang semalam pulang mabuk, marah tanpa alasan yang jelas, meninggalkannya dalam keheningan yang mematikan. Nanda tahu, meskipun ia mencoba untuk tenang, perasaan itu tetap ada—berat dan terus membebani.
Tak lama kemudian, Nanda menyelesaikan mandi, meskipun tidak sepenuhnya bisa menghilangkan perasaan yang menyelimutinya. Ia keluar dari kamar mandi, mengenakan pakaian dengan gerakan yang sedikit lebih lambat dari biasanya, merasakan setiap detik berlalu begitu hampa. Hidupnya di luar kamar mandi seolah kembali menjadi rutinitas yang penuh dengan kepura-puraan—semua berjalan normal, tetapi hatinya merasa terkunci dalam kesedihan yang tak terungkapkan.
Namun, meskipun begitu, ia tetap melangkah keluar menuju dapur untuk sarapan, mencoba untuk menjalani hari seperti biasa, walaupun dalam hatinya ia tahu semuanya telah berubah. Apa yang bisa ia lakukan selain mencoba bertahan, meski kehidupan yang ia jalani tidak memberikan apa yang seharusnya ia harapkan dari sebuah pernikahan?
Nanda berdiri di samping tempat tidur, memandang Dimas yang masih terbaring dengan posisi tubuhnya yang tak rapi. Matanya yang masih setengah terpejam menunjukkan betapa ia masih terperangkap dalam lelapnya. Wajahnya yang biasanya tampak rapi dan penuh percaya diri kini terlihat kusut, seolah segala kegelisahan dan kebingungannya tersirat jelas di wajahnya yang terbalut kantuk.
Nanda menarik napas panjang, sedikit ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan suaminya. "Dimas, kamu tidak segera bangun? Hari ini ada pertemuan dengan orang tuamu," ucapnya lembut, berusaha tidak mengganggu tidur Dimas yang nyenyak.
Namun, Dimas hanya bergumam tanpa membuka matanya. Suasana dalam kamar terasa sunyi, kecuali suara napas Dimas yang dalam. Nanda menunggu, berharap Dimas akan merespons, setidaknya memberi tanda bahwa ia mendengarnya. Tetapi tak ada perubahan. Dimas malah tetap terbaring diam, seolah tak peduli dengan pertemuan penting yang sudah dijadwalkan.
"Nanda, biarkan aku tidur," suara Dimas terdengar serak dan datar, tanpa semangat sama sekali. Suaranya bahkan tidak cukup untuk membuat Nanda merasa dihargai, dan kata-katanya tampak seperti abaikan saja permintaan itu.
Nanda terdiam sesaat, hatinya terasa semakin berat. Sementara ia berusaha menjadi istri yang baik, Dimas justru tidak menunjukkan kepedulian yang seharusnya. Kekecewaan mulai merayap, meskipun ia sudah terbiasa dengan ketidakpedulian Dimas dalam beberapa waktu terakhir. Ia tahu, seiring waktu, ia mulai merasa terpinggirkan dalam kehidupan suaminya. Ia mencoba mengingatkan diri untuk bersabar, namun hal itu semakin terasa berat.
Nanda akhirnya menarik selimut yang menutupi tubuh Dimas dengan lembut, berusaha tak mengganggunya lebih jauh. "Aku akan menunggu di luar, Dimas. Jangan sampai terlambat," katanya, meskipun hatinya terasa hampa.
Nanda terhenti di ambang pintu, merasa tangan Dimas meraih pergelangan tangannya dengan keras. Sebelum ia sempat menghindar atau berbicara, Dimas menariknya ke arah ranjang dengan kasar. Tubuh Nanda terseret sedikit, membuatnya terjatuh ke atas ranjang, terpaksa berbaring di samping suaminya yang masih setengah terbangun.
Nanda merasa hatinya terkejut. Tubuhnya membeku, berusaha menarik napas panjang. Dimas, yang biasanya tampil tenang dan percaya diri, sekarang seperti sosok yang tak terkendali, memainkan kekuasaan atas dirinya dengan cara yang kasar. Nanda tahu, Dimas tidak akan pernah membiarkannya pergi begitu saja terutama jika ia tidak mengikuti keinginan atau perintahnya. Begitu banyak hal yang telah berubah sejak pernikahan mereka, dan ini hanya satu dari serangkaian kejadian yang semakin menambah luka di hati Nanda.
"Kenapa buru-buru? Kita bisa menyelesaikan hal ini dulu," kata Dimas dengan suara yang serak, namun tajam, tatapannya masih berat penuh dominasi. Nanda merasa dirinya seperti terperangkap, diliputi perasaan yang tak terungkapkan.
Nanda berusaha bangkit, tetapi Dimas menahannya dengan kekuatan yang jauh lebih besar. "Dimas, berhenti!" Suaranya mencoba terdengar tegas, meskipun hatinya takut dan cemas. Tangan Dimas masih menggenggam erat pergelangan tangannya, seolah ia tidak memberi kesempatan pada Nanda untuk berbicara lebih banyak.
Namun, Dimas hanya tersenyum sinis. "Apa kamu pikir aku peduli dengan pertemuan itu? Atau dengan apa pun yang kamu ingin lakukan? Aku lebih peduli dengan diri kita berdua sekarang."
Suasana menjadi semakin mencekam. Nanda merasa terkurung dalam cengkeraman emosi yang tidak bisa dia kendalikan, dan Dimas hanya semakin tampak tidak mengerti perasaannya. Hari-hari yang sebelumnya penuh dengan harapan dan impian, kini berganti dengan rasa sesak yang menghimpit dada Nanda, membuatnya merasa kehilangan arah.
"Dimas, aku tidak ingin ini," kata Nanda, suaranya bergetar, tetapi ia tahu bahwa kata-kata itu mungkin sia-sia. Dimas tidak pernah mendengarkan, tidak pernah peduli.
"Sudah cukup, Nanda. Cobalah untuk tidak melawan," jawab Dimas, lalu melepaskan genggamannya hanya setelah beberapa detik yang terasa sangat lama bagi Nanda. Ia terdiam, merasa direndahkan, meskipun Dimas akhirnya melepaskan tangannya, Nanda tahu perasaan itu tidak akan hilang begitu saja.
Ketegangan yang tersisa dalam ruangan itu membuat Nanda merasa semakin kecil. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi bibirnya terasa terkatup rapat. Ia ingin pergi, tapi ia tahu itu tidak akan mudah. Rasanya, setiap langkah yang diambil dalam pernikahannya membawa lebih banyak luka, dan setiap kali ia mencoba menuntut lebih banyak, Dimas hanya semakin menunjukkan kekerasan yang lebih besar, baik fisik maupun emosional.