Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Orang Aneh
Arya masih berdiri mematung beberapa meter dari jalan raya, menyaksikan hiruk-pikuk kendaraan lalu lalang di depannya. Sesuatu di dalam pikirannya terus berkecamuk, memikirkan ucapan Raisha sebelumnya. Di tengah lamunan itu, suara lembut namun penuh kekuatan dari belakang mengejutkannya.
“Kau punya mobil?” tanya Raisha, tiba-tiba menginterupsi laju pikirannya.
Arya menoleh perlahan. “Punya,” jawabnya ragu.
“Lalu, kenapa tidak ke parkiran dulu?” tanya Raisha lagi, matanya menyipit sedikit, seolah berusaha membaca keraguan di wajah Arya.
“Mobilku… mobilku bersama temanku,” jawab Arya dengan nada lebih rendah, hampir terdengar seperti gumaman.
Raisha tersenyum kecil. Gadis itu tidak benar-benar mengerti alasan Arya, tetapi dia tak ingin mempersoalkannya lebih jauh. Dengan santai, Raisha merogoh ponselnya dari dalam saku, mengoperasikan sebuah perintah cepat tanpa berbicara lebih lanjut.
Arya memperhatikan gerak-gerik Raisha, alisnya sedikit terangkat dengan rasa penasaran.
Tak lama kemudian, dari arah area parkir, sebuah mobil hitam elegan meluncur dengan tenang mendekat ke arah mereka. Tanpa ada siapa pun di balik kemudi, pintu mobil itu terbuka otomatis di samping Arya.
Arya melongo, matanya membelalak, mulutnya terbuka lebar. “Apa ini?” Ia tak bisa menahan kekagumannya, tatapan matanya terpaku pada mobil yang tampak bergerak sendiri tanpa supir. Ruangan kemudi kosong, tidak ada yang mengendalikan.
Raisha, menyadari kebingungan Arya, tersenyum tipis dengan penuh kebanggaan. “Autonomous driving,” katanya dengan suara penuh percaya diri. “Mobil ini bisa mengemudi sendiri. Silahkan masuk,” ia menambahkan sambil menunjuk ke arah pintu yang terbuka lebar.
Arya masih tercengang, namun tanpa banyak bicara lagi, ia masuk ke dalam mobil dengan langkah ragu. Begitu juga Raisha, yang segera menyusulnya ke kursi di belakang kemudi. Arya mulai merasa agak canggung di dalam, tapi di sudut hatinya, ia tak bisa menyangkal rasa kagumnya.
“Wow, ini keren,” kata Arya akhirnya, suaranya penuh dengan kekaguman. Wajahnya, yang tadi tegang dan ragu, kini berubah menjadi lebih sumringah.
Raisha melirik Arya dari sudut matanya dan tersenyum, melihat perubahan ekspresi pada wajah pria itu.
“Apa ini berarti kamu bersedia membantuku?” tanya Raisha, suaranya terdengar penuh harap.
Arya mendengus kecil, lalu kembali berusaha memulihkan dirinya. “Aku belum mengatakan setuju,” jawabnya dingin. “Aku masih memikirkannya.”
Raisha hanya tersenyum tipis. Ia menyalakan beberapa instrumen di mobil itu, membuat dasbor di depannya bersinar dengan kilauan teknologi mutakhir. Monitor hologram di depannya menampilkan peta digital, lengkap dengan berbagai indikator yang memancarkan kecanggihan. Raisha menekan beberapa tombol lagi di sebuah panel sentuh, lalu berkata dengan tenang, “Jadi, di mana acara Car Free Day itu?”
Sambil tak bisa menyembunyikan keterkejutan, Arya menyebutkan sebuah wilayah di Jakarta. Raisha dengan cepat mengetikkan alamat tersebut ke komputer mobilnya. Visualisasi peta yang canggih segera muncul di monitor hologram, menunjukkan jalanan Jakarta dengan begitu detail. Garis koordinat terbentuk, dan peta virtual mobil mulai bergerak mengikuti arah yang ditetapkan.
“Kita akan tiba di sana dalam lima menit,” kata Raisha sambil tersenyum percaya diri.
Arya menoleh cepat ke arah Raisha, matanya membulat. “Lima menit?” tanyanya kaget. “Apa tidak terlalu cepat? Apa tidak berbahaya?”
Raisha menoleh dengan tatapan penuh percaya diri, senyum di bibirnya semakin lebar. “Kita lihat apa yang bisa dilakukan mobil ini,” katanya tenang, seolah waktu adalah hal yang tak perlu dikhawatirkan.
Mesin mobil segera berderu, meluncur ke jalan raya dengan kecepatan yang mengejutkan. Mobil itu melesat, mengambil jalan pintas di tengah lalu lintas Jakarta yang padat. Raisha tetap tenang, sementara Arya mulai merasa jantungnya berdegup semakin cepat. Di luar, rambu-rambu, pejalan kaki dan kendaraan lain tampak berkelebat. Bahkan mobil itu meluncur dengan mulus di antara celah-celah sempit, seolah tidak mengenal rintangan.
"Raisha, tolong, bisa sedikit pelan?" Arya mulai berkata dengan suara yang bergetar. "Kau mungkin tidak tahu, tapi aku paling takut dengan kecepatan tinggi!"
Raisha menoleh padanya sekilas, masih dengan senyuman kecil di bibirnya. “Tapi aku suka dengan kecepatan tinggi,” jawabnya dengan nada yang sedikit nakal. “Terutama jika itu bisa membuat jantungku berdetak lebih kencang.” Ia lalu menekan pedal gas lebih dalam, membuat mobil semakin melesat cepat.
“Oh, tidak! Tidak!” Arya berteriak, tangannya mencengkeram sabuk pengaman, tubuhnya terhempas sedikit ke belakang. Raisha hanya tertawa kecil, menikmati setiap momen ketegangan yang tercipta di dalam mobilnya.
Mobil itu terus melaju, mengambil tikungan tajam dengan kecepatan tinggi, melewati jalur-jalur kecil yang tak biasa, seolah jalanan Jakarta tidak pernah tampak begitu lancar. Sistem kecerdasan buatan mobil itu bekerja tanpa cacat, menghindari kendaraan lain dengan presisi sempurna, dan selalu memilih jalur tercepat.
Di dalam mobil, Arya merasa seakan-akan ia sedang terjebak dalam roller coaster yang tidak pernah ia inginkan. Setiap belokan, setiap percepatan membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Suaranya hampir hilang di tengah raungan mesin yang kini semakin kencang.
Raisha memandangi pancaran lembut layar di depannya, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. “Jangan khawatir, Arya,” katanya tanpa ragu. “Mobil ini mungkin cepat, tapi tetap aman. Semuanya di bawah kendali kecerdasan buatan.”
Arya menelan ludah. “Tidak! Aku... aku tidak yakin dengan semua itu,” katanya, suara bergetar.
Dan tiba-tiba, di depan mereka, sebuah jalan terbuka lebar, tanpa ada kendaraan lain. Mobil mempercepat laju dengan kilat, memacu lebih cepat dari yang Arya bayangkan. Ia mencoba mengendalikan ketakutannya, tapi setiap serat dalam tubuhnya berteriak.
"Tolong… Raisha, tolong, sedikit pelan... pelaaan..." Arya mencoba berkata dengan napas terengah-engah, namun suaranya tenggelam di bawah deru mesin.
Raisha hanya tersenyum, matanya fokus pada pancaran layar dan jalan di depannya. Waktu terus berjalan, dan di kejauhan, tujuan mereka mulai terlihat di peta. Raisha membuat perhitungan dalam pikirannya, lalu dia memacu mobilnya semakin cepat, dan dia tahu sebentar lagi mereka sampai.
Satu menit kemudian mereka tiba di acara Car Free Day di salah satu ruas jalan Jakarta, mobil Raisha melambat, akhirnya berhenti dengan sempurna di tepi jalan yang dipenuhi orang.
“Oh tidak, aku terlambat tiga detik,” keluh Raisha
Arya tak peduli, dia segera keluar dengan langkah kelimpungan. Kakinya terasa lemas, dan dia langsung bersandar pada sebuah pohon di pinggir jalan. Wajahnya pucat, nafasnya masih tersengal-sengal.
“Kamu gila!” seru Arya, menatap Raisha dengan sorot mata yang campur aduk antara marah dan kelelahan.
Raisha melangkah keluar dari mobil dengan anggun, tanpa terburu-buru. Senyum tipisnya masih menghiasi wajahnya, seakan dia baru saja selesai melakukan hal yang sangat biasa.
“Tapi kita cepat sampai, kan?” katanya sambil melirik Arya. “Dan dengan begini, kamu akan lebih cepat mendapatkan banyak nasabah.”
Arya menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur detak jantungnya yang masih belum normal. “Aku… aku belum memikirkannya,” jawabnya terengah-engah.
Suasana Car Free Day di sekitar mereka begitu ramai. Jalanan yang biasanya penuh dengan kendaraan kini diisi oleh kerumunan orang yang lalu lalang. Ada yang bercengkrama santai, ada yang bersepeda bersama teman atau keluarga, dan tak sedikit juga yang sekadar berjalan kaki, menikmati pagi.
Di sepanjang jalan, pedagang kaki lima sibuk melayani pembeli, menjual beragam makanan dan minuman. Suara canda tawa anak-anak yang bermain di pinggir jalan berpadu dengan suara riuh para pesepeda.
Raisha menatap ke sekeliling mereka, merasa puas dengan suasana yang ada. "Sesuai janji, aku akan membantumu," katanya sambil melipat kedua tangannya di dada.
Arya mengangguk, mencoba untuk tersenyum meskipun masih terasa lelah. “Oke, terima kasih… Kita akan segera mulai. Tapi beri aku sedikit ruang untuk bernafas dulu,” katanya, memohon waktu sejenak untuk memulihkan diri.
Raisha hanya mengangkat bahu dan tersenyum geli. "Baiklah. Aku akan menikmati suasana dulu," ujarnya.
Sebelum beranjak menikmati suasana Car Free Day, Raisha kembali ke dalam mobil, mengambil benda yang seharusnya dia bawa. Raisha menyimpan pisau lipat kecil di saku belakang jeans-nya dan menyelipkan pistol kecil di balik jaket hoodie pink-nya. Sebuah langkah keamanan yang selalu ia ambil tanpa diketahui Arya.
Setelah itu Raisha berjalan ke arah pedagang es krim. Ia membeli satu dan menikmati setiap suapan sambil memperhatikan keramaian di sekitarnya. Matahari mulai naik, cahayanya memancar di sela-sela gedung tinggi di sepanjang jalan, menciptakan suasana yang cerah dan hangat.
“Mau es krim?” tawar Raisha sambil mendekati Arya.
Arya menolak dengan menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih,” katanya.
Setelah beberapa menit memenuhi paru-parunya dengan oksigen, Arya akhirnya mendekati Raisha yang masih asyik dengan es krimnya.
“Kamu lihat orang-orang itu?” tanyanya sambil menunjuk kerumunan besar di tengah jalan. “Juga orang-orang di sana!” Arya menunjuk kumpulan orang-prang yang sepertinya komunitas kecil di beberapa tempat.
Raisha menoleh ke arah yang ditunjukkan Arya, matanya menyipit sedikit. “Ya, aku melihatnya. Lalu?” tanyanya sambil menyelesaikan es krimnya.
“Kumpulan orang-orang itu bisa jadi target marketing kita. Kita akan lakukan prospek di depan mereka. Mendekati mereka dengan brosur kita, bicara langsung kepada mereka tentang layanan yang bisa kita tawarkan,” jelas Arya, suaranya mulai terdengar lebih mantap.
Raisha menatap Arya dengan minat. “Dan apa yang bisa aku bantu?” tanyanya.
Arya terdiam sejenak, memandangi Raisha dari atas ke bawah. Ia tampak sedikit ragu, terutama dengan pakaian Raisha yang terlihat lebih santai dengan hoodie pink, celana jeans longgar dan sepatu kets.
Sebagian dari dirinya bertanya-tanya apakah penampilan Raisha akan cocok untuk tugas yang membutuhkan kesan profesional.
Merasa diperhatikan terlalu lama, Raisha mengangkat alisnya dan mendekat ke Arya. “Berhenti memperhatikanku seperti itu,” katanya dengan nada tegas. “Aku bisa diandalkan. Oke?”
Arya menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Baiklah… Kamu bisa bantu aku membagikan brosur sementara aku bicara di depan mereka.”
Raisha mengangguk cepat, matanya bersinar antusias. “Baik, aku mengerti.”
Mereka berdua mulai bergerak menuju kerumunan, dengan Arya masih berusaha menenangkan pikirannya dan Raisha yang penuh semangat. Brosur di tangan mereka tampak siap dibagikan. Arya berhenti sebentar, menghirup napas dalam-dalam sebelum mempersiapkan dirinya untuk berbicara di depan orang banyak.
Namun, sebelum mereka benar-benar memulai aksi mereka, Raisha tiba-tiba menarik perhatian Arya. “Tunggu sebentar,” katanya sambil menatap seorang laki-laki bertopi biru di salah satu sudut kerumunan. Di sana, orang itu tampak mengalami perubahan aneh yang perlahan-lahan disadari Raisha.
“Ada apa?” Arya bertanya, penasaran.
Raisha memiringkan kepalanya, tatapannya serius, seakan menduga ada sesuatu yang tidak biasa. "Tidak, mungkin ini hanya perasaanku," jawab Raisha, berusaha berpikir positif.
Arya menatap Raisha dengan bingung, perasaannya campur aduk antara kekhawatiran dan penasaran. Raisha melangkah menuju kumpulan orang yang ditargetkan Arya diikuti Arya yang terlihat masih bingung.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!