Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keseharian Asisten CEO
Zanya mengerutkan dahinya, untuk apa Marlon pergi ke lantai 18 selarut ini? Mengapa ia pergi sendiri ke sana? Zanya memutuskan untuk mengikuti Marlon.
Zanya membuka pintu lift dengan kartu aksesnya, lalu masuk lift. Setelah menutup pintu, Zanya menekan angka 18, namun lift tak kunjung bergerak turun. Zanya mencoba menekan angka 17, lalu lift bergerak turun, dan terbuka di lantai 17. Zanya kembali menutup pintu lift, dan mencoba menekan angka 18 lagi, namun lift tak kunjung bergerak, Zanya menarik kesimpulan bahwa untuk ke lantai 18 harus menggunakan kartu akses yang berbeda.
Zanya kembali ke kediamannya, ia mencoba menerka-nerka, ada apa di lantai 18 dan 19 yang seolah dirahasiakan. Semakin Zanya menerka, semakin ia penasaran.
***
Lima hari kemudian, di hari sabtu.
"Jam 9 nanti Anda ada meeting dengan tim produksi, Pak." Radit membacakan agenda Marlon.
"Oke! Sekarang tolong siapkan materi yang sudah ku buat kemarin, untuk dibawa meeting." Titah Marlon.
"Siap, Pak!" Radit kemudian keluar dari ruangan Marlon.
Zanya masuk ke ruangan sambil membawakan kopi dan biskuit almond untuk Marlon.
"Zanya, hari ini aku ada agenda di luar gak?" tanya Marlon.
"Ada, Pak. Anda ada janji temu dengan Pak Deddy dari Red Dragon, jam 3 sore." jawab Zanya.
"Oke! minta bahan presentasi dari Dwi, untuk berjaga-jaga kalau Pak Deddy minta penjelasan secara rinci." Titah Marlon.
"Siap, Pak!" Zanya keluar dari ruangan Marlon.
Di meja depan ruangan Marlon, Zanya dan Radit fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing.
"Marlon nya ada di dalam kan?" Sebuah suara mengejutkan mereka berdua.
Zanya mendongak, dan melihat Ayra berada di depan mereka.
"Maaf, apa Anda sudah buat janji?" tanya Radit.
Ayra mengibaskan rambutnya dengan tangan, lalu menatap Zanya. "Kamu tau kan siapa aku? Aku gak perlu buat janji untuk ketemu Marlon." Ujar Ayra dengan angkuhnya.
"Maaf Nona Ayra, walau Anda calon istri Pak Marlon, kami tetap harus bertanya kepada beliau, apakah beliau bersedia menerima tamu atau tidak." Zanya berusaha menjaga intonasinya agar tetap terdengar sopan. Karena dalam hatinya ia sangat benci dengan gadis di hadapannya itu, entah ia benci karena Ayra adalah anak Gilang, atau merasa cemburu karena Ayra tumbuh bersama ayahnya sedangkan ia tidak.
"Maaf Nona Ayra, karena Pak Marlon akan meeting, beliau tidak bisa menemui Anda." Ujar Radit setelah menelepon Marlon.
"Apa?! Gue sengaja datang kesini untuk nemuin dia karena dia susah dihubungi! Bilang sama dia, gue gak akan pergi dari sini sebelum dia temui gue!" Bentak Ayra.
Zanya mengulum senyum. Nah, gitu dong, ngegas! ujar Zanya dalam hati. Ia tidak terkejut dengan sikap Ayra, karena ia sudah tau sejak saat pertama kali mereka bertemu, yaitu saat Ayra menabrak dirinya.
Mendengar ribut-ribut di luar, Marlon pun keluar.
"Ayra, maaf ya, aku ada meeting pagi ini, jadi gak bisa ngobrol dulu." Ujar Marlon.
Seketika wajah Ayra berubah ceria lagi.
"Sampai jam berapa meetingnya? Biar aku tunggu di ruangan Kak Marlon sampai selesai meeting." Ujar Ayra dengan nada manja dan penuh harap.
"Aku belum tau selesainya jam berapa, lagipula selesai meeting dengan tim produksi nanti aku masih ada meeting di luar, kemungkinan gak akan ke ruangan lagi." Jawab Marlon.
"Ayo kita ke tim produksi!" Ajak Marlon kepada Zanya dan Radit yang terbengong karena saat ini masih jam 08:30 sedangkan janji meeting dengan tim produksi masih setengah jam lagi.
"Tapi Pak, materinya belum selesai saya copy." Ujar Radit.
"Oke! Lanjutkan aja, nanti kamu menyusul ke sana, ya!" ujar Marlon. Radit pun mengangguk.
"Ayo!" Marlon melotot kepada Zanya. Zanya mengangguk lalu dengan terburu-buru ia memasukkan laptop ke dalam tas, lalu menentengnya, dan mengejar Marlon. Sementara Ayra masih berdiri di depan Radit yang melanjutkan pekerjaannya, Ayra terlihat sangat kesal.
"Brakk!!" Ayra menggebrak meja, membuat Radit tersentak, Ayra lalu pergi sambil menghentakkan kaki.
"Busyet...! Gitu amat calon istri CEO... Untung aja jantung gue gak copot." Radit menggelengkan kepala sambil memegang dadanya.
***
"Untuk apa kamu bawa laptop? Kan materi meeting ada di Radit?" Tanya Marlon ketika mereka sedang di lift menuju kantor tim produksi.
"Untuk ketemu Pak Deddy nanti. Kan Anda minta saya bawa bahan presentasi? tadi Anda bilang gak akan kembali ke ruangan, mau langsung ke luar setelah meeting dengan tim produksi." Jawab Zanya dengan polosnya.
Marlon tersenyum. "Good! Kamu makin pinter sekarang." Ujarnya sambil menahan tawa.
Lift berhenti, dan pintu lift terbuka di lantai 6, Marlon melangkah duluan, diikuti Zanya di belakangnya. Beberapa pegawai wanita yang bertemu mereka terlihat salah tingkah, ada juga beberapa di antara mereka yang terpukau menatap Marlon.
Zanya merasa sedikit bangga bisa berada di dekat pria yang menjadi idaman para wanita di kantor ini. Para wanita itu pasti iri dengannya seperti dirinya yang iri dengan para staf wanita yang sering berada di dekat idol K-pop, pikir Zanya.
Marlon dan Zanya terus berjalan melewati ruangan staf tim produksi yang berdinding kaca. Sambil berjalan, Zanya menoleh ke ruangan itu ingin melihat suasana ruang kerja mereka. Sekilas Zanya seperti melihat seseorang yang dikenalnya, tapi ia tidak begitu yakin karena ia berjalan cepat untuk mengimbangi langkah Marlon.
Marlon memasuki ruang meeting, beberapa staf yang sedang mempersiapkan ruangan terlihat kikuk.
"Santai aja, meeting tetap dimulai jam 9, saya yang datang terlalu cepat." Ujar Marlon.
Para staf melanjutkan pekerjaan mereka dengan cepat.
Marlon mengambil tempat duduknya di ujung meja yang menghadap monitor. Kemudian Zanya duduk di kursi yang ada di dekat Marlon, dan memperhatikan sekeliling ruang meeting itu.
"Coba tanya, Radit masih lama gak?" titah Marlon. Zanya mengangguk dan mengirim pesan kepada Radit.
"Udah selesai katanya, Pak. Dia udah mau turun kemari." Ujar Zanya setelah mendapat jawaban dari Radit.
Zanya mengeluarkan pulpen dan buku catatan, karena Marlon menyuruhnya menulis materi dari setiap pertemuan yang dilakukan Marlon, termasuk meeting. Walau nanti notulen akan memberikan salinan dari hasil meeting, tapi marlon tetap menginginkan catatan versinya sendiri.
Zanya menyimpan buku dan pulpennya di meja, namun pulpen miliknya malah menggelinding. Zanya menangkap pulpen yang hampir jatuh dari meja, bersamaan dengan itu, Marlon juga berniat menangkap pulpen itu, namun tangannya malah menangkap tangan Zanya.
Zanya segera menarik tangannya, ia merasa sesaat tadi Marlon seperti meremas pelan tangannya, namun Zanya segera menghapus pikiran itu. Ingat, ini bukan drama, ujar Zanya dalam hati.
Tak lama, Radit masuk ruangan dan mengambil tempat di seberang Zanya. Beberapa orang dari tim produksi pun berdatangan dan mengambil tempat duduk mereka masing-masing.
Zanya minta izin kepada Marlon untuk ke toilet sebelum meeting dimulai, dan Marlon menganggukkan kepala. Zanya pun keluar dari ruang meeting, lalu ia celingukan mencari di mana letak toilet di lantai itu. Zanya melihat seorang pegawai pria, ia pun berniat bertanya kepada pegawai itu.
"Permisi..." Sapa Zanya.
Pria itu menoleh kepadanya, seketika Zanya terhenyak melihat wajah pria itu, tubuh Zanya pun menegang, emosi dalam dirinya bercampur aduk. Apa yang dilakukan orang ini di sini? Tanya Zanya dalam hati.