Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Angga."
"Paman?"
"Kalau nanti kamu bertemu dua jalan, jangan ambil yang ke kanan." Begitu serunya.
"Memangnya jalur yang ke kiri itu ada apa? dan yang ke kanan ada apa?" Angga jelas menanyakan alasannya karena pernyataan yang ia dengar memantik penasaran.
"Kanan tidak boleh kamu lewati karena kamu bisa tersesat. Disana begitu gelap. Sedangkan yang kiri kamu akan menemukan tempat yang kamu cari."
"Baiklah kalau begitu. Terimakasih atas informasinya paman." Eh tunggu.
Angga mengeryit. Dia memperhatikan sesuatu, menalaah baik-baik apa yang sedang ia alami. Ketika Angga melihat ke bawah paman memastikan pamannya bisa berdiri tanpa kursi roda, justru yang nampak sosok separuh badan tanpa kaki. Ya, seseorang yang Angga kira paman ternyata entitas penunggu hutan. Sosok itu nyengir lebar sampai hampir menyentuh telinga. Terlihat begitu mengerikan bagi manusia paranoid. Angga terlihat biasa saja, hanya menghela nafas lalu berterimakasih.
"Terimakasih infonya. Permisiii.."
Kenapa aku jadi sering melihat yang begitu si?
Angga melanjutkan langkah memasuki hutan semakin dalam. Waktu sandekala sudah lewat, gantian gelap kini menyergap. Benar apa yang dikatakan entitas tadi, Angga menemukan dua jalan, ke kanan dan ke kiri.
Dalam penglihatan Angga, dua jalan itu tidak menampakkan perbedaan. Sama-sama gelap karena hari sudah malam.
"Masih ragu aja. Nggak percaya? coba tutup mata sebentar lalu buka." Hanya suara yang terdengar tanpa wujud. Angga pun mencoba mempraktikkannya. Ketika matanya terbuka kembali, pemandangan dua jalan yang dia lihat begitu kontras.
Suasana menjadi terang sedikit tetapi yang dikatakan entitas tadi kalau yang kanan gelap benar adanya. Menurut Angga, yang gelap itu auranya. Kebanyakan energi negatif.
Angga kembali menyusuri jalan.
Srrk... srrrk..
Seperti ada yang bergerak di semak-semak. Angga tidak menyia-nyiakan waktu langsung gerak cepat memeriksa. Semoga bukan hewan buas.
Dan ternyata itu adalah manusia yang sedang mengintai. Orang itu menyerang Angga ketika persembunyiannya sudah diketahui.
"Jiaaat... "
Bag.. Bugh.. bugh.. Bag.. Bugh.
Terjadilah perkelahian saling pukul dan tendang. Bela diri Angga cukup mumpuni hingga ia berhasil menjatuhkan lawan. Angga tidak memberikan kesempatan musuh itu bangun dari tersungkurnya. Kemudian Angga menarik tubuh bagian atas lawan hanya untuk menendangi perutnya berkali-kali.
Bugh.. Bugh.. Bugh..
Darah nyembur keluar dari ujung bibir si musuh.
Angga mau menyingkap tabir, dengan diawali membuka penutup kepala yang digunakan musuh berpenampilan rapat seperti ninja. Habis itu dia akan menyandra, menyiksa orang tersebut untuk mengantarkannya ke hadapan Balong.
Baru tangannya terulur mengeksekusi, yang tadinya lawan dikira sudah lemah malah menyemburkan ludah bercampur darah.
"Cuh!"
Mata Angga kelilipan. Kesempatan ini digunakan musuh untuk melarikan diri.
Sial!
...***...
Di tempat lain,
Paman dan bibi menginap di rumah ibu, menemani, serta memberikan dukungan moril kepadanya. Sudah kehilangan anak perempuan kini harus merelakan anak laki-lakinya berkelana ke tempat berbahaya. Ibu mengijinkan tentu banyak pertimbangan. Sebab jika dilarang, Angga malah tidak bisa dikendalikan. Dia si pendiam yang memberontak.
Paman dan bibi sekilas ribut-ribut bicara tentang Aji. Mereka berdua menghubungi lelaki itu agar datang ke rumah. Paman dan bibi ingin mengkonsultasikan situasi terkini.
"Moga aja Aji cepat datang kesini. Meskipun ndak tega karena dia baru saja tiba dari Jakarta, tapi entah kenapa perasaanku tidak enak." Gumam paman. Terdengar ke telinga bibi.
"Iya Mas, aku juga mendadak tidak enak ini."
"Aaaarggh..." Bibi menjerit, paman juga tak kalah terkejut. Bangkai ayam dengan leher tak karuan jatuh ke hadapan mereka. Bagaimana ini?
Bibi menyambungkan telepon ke saudara jauhnya, khawatir jika terjadi sesuatu pada mereka, setidaknya ada orang yang tahu. Kalau saja kaki paman sedang baik-baik saja, maka paman dan bibi tidak akan sepanik ini. Sedangkan ibu selesai mengelap badan bapak langsung menghampiri paman dan bibi, memintanya masuk ke dalam rumah.
"Ada apa sama kalian?" tanya ibu dengan tatapan selidik.
"Nngg.. itu Mbak.. "
Belum selesai kalimat paman, atensi ketiganya tercurah pada seseorang yang berdiri di sana.
"Aji."
Iya, itu Aji sungguhan. Lelaki itu sebenarnya jauh sebelum diminta paman datang ke rumah ibu, ia sudah lebih dulu jalan menuju ke sana.
"Ibu, paman, bibi." Aji mencium tangan ketiganya.
"Ji, untung kamu sudah datang kesini." Ujar paman dengan nafas tak teratur.
"Memangnya ada apa?" ibu kembali menanyakan, mewakili apa yang mau ditanyakan juga oleh Aji.
"Lihatlah," paman menunjuk pada bangkai ayam tadi. Ibu shock, begitu juga Aji yang tak kalah kaget. Aji menghubungi Nuri pakai pesan guna melaporkan penemuan baru berhubungan dengan kasus yang sedang ditangani Nuri. Ia sekaligus meminta saran pada kakak sepupunya sebaiknya bagaimana menangani teror semacam ini biar gak bertindak gegabah.
"Ji, kamu tetap disana dan jangan panik. Amankan saja bangkai itu, kemungkinan kalian sedang di perhatikan. Untuk selanjutnya.. "
"... "
"... "
"... "
"Iya mbak, laksanakan."
.
.
.
Bersambung.
Alan bakal jadi bapak asuh sembara si putra manusia dan Setengahnya jin....
Semangat berkarya akak Ze ayank....🫶🫶🫶🫶🫶