NovelToon NovelToon
Tanpa Cinta (Istri Kedua)

Tanpa Cinta (Istri Kedua)

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Trilia Igriss

Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9. Aryan cemburu?

"Bu... kenalkan ini Aruna." Seiring penuturan Adnan kepada Ibunya, saat itu juga Aruna menyalami Rahayu dengan santun membuat Ibu satu anak itu tertegun memberikan sebuah senyum kepada Aruna.

"Ini rupanya. Alice cerita tentang kamu terus. Pantas saja Alice suka. Ternyata kamu cantik dan baik." Mendengar pujian Ibu dari dokter tampan di sampingnya ini, Aruna terlihat tersipu dan menunduk seraya tersenyum malu-malu.

"Terima kasih Bu. Saya tidak secantik dan sebaik dugaan Ibu. Saya masih banyak kurangnya." Sanggahnya merendah. Bukan merasa tinggi, namun Aruna memang tak merasa dirinya sesempurna itu untuk dikatakan cantik meski memang tak jarang ada pria yang mengatakan tertarik padanya.

"Tantee..." lirih Alice merentangkan tangan pada Aruna, sehingga wanita berusia 27 tahun itu memeluk Alice yang tak henti-henti menangis dan enggan melepaskan pelukannya. "Jangan pergi ya! Alice mau tante..." imbuhnya kembali merengek.

"Iya. Tante di sini dulu. Tapi kamu harus sembuh ya!" Sahut Aruna dengan penuh kesabaran menghadapi Alice yang mulai manja terhadapnya.

"Aruna.. maaf ya. Alice jadi repotin kamu." Ujar Adnan tiba-tiba. Aruna menggeleng pelan seraya berucap

"Gapapa Dok. Maklum, anak seusia Alice masih butuh perhatian seorang Ibu. Saya tidak merasa direpotkan." Mendengar hal tersebut, Adnan termangu dan merasa tertegun akan kerendahan hati dan kebaikan Aruna kepada putrinya.

Setelahnya, Adnan berlalu untuk kembali bekerja, karena jam ini masih termasuk jam kerjanya. Sementara itu, Aryan yang tak menemukan kejanggalan memilih untuk kembali pulang dan menanyai Aruna di rumah.

 

"Dari mana?" Suara familiar itu terdengar dari sofa kamar yang Aruna fikir tak ada siapapun. Ia menoleh sesaat setelah Ia menginjakkan kaki di dalam ruangan tempatnya beristirahat itu. Benar saja, tatapan mata tajam tengah mengarah padanya saat ini.

"Dari rumah sakit." Jawabnya singkat dan kembali memalingkan wajah. Aruna tak ingin memberitahukan lebih jauh alasan Ia pergi dari rumah. Namun jika diingat, bukankah Ia sudah meminta izin pada Aryan sebelum pergi? Baru saja ingin protes, Aruna terbelalak mendapati Aryan sudah berada di sampingnya. Sejak kapan? Yang semakin membuatnya terkejut, Aryan menarik pinggangnya sampai keduanya begitu dekat.

"Jangan coba-coba main api dibelakang aku, Aruna. Atau kamu tahu akibatnya nanti. Aku gak segan untuk buat kamu menderita di sini." Mendengar ancaman itu, Aruna tak menyanggah atau menanggapi. Ia menatap datar kedua mata Aryan sehingga pria itu berdecak kesal merasa dipermainkan oleh istri keduanya itu.

"Pertahankan saja tatapan kamu ini. Jangan biarkan ada cinta diantara kita berdua. Karena aku tak yakin rumah tangga kita akan bertahan lama. Dan jangan pernah berharap aku akan membuka hati untuk wanita murahan sepertimu." Imbuhnya. Aruna mempertajam pandangannya bak pandangan seorang pembenci.

"Aku gak akan pernah cinta sama kamu, Mas. Aku akan pastikan kamu menceraikan aku tanpa harus menunggu aku hamil. Aku gak sudi mengandung anak pecundang seperti kamu. Jika benci, aku lebih membenci kamu. Lihat saja, permainan siapa yang lebih menarik." Batin Aruna kemudian menarik diri menjauh dari dekapan Aryan. Tentu pria itu tak akan melepaskannya begitu saja. Aryan menarik lengan Aruna dan mendekapnya lebih erat.

"Aku tak suka penolakan." Bisiknya lalu memberikan kecupan di leher Aruna yang berusaha terlepas darinya. Apalah daya, tenaganya kalah oleh Aryan yang lebih mendominasi.

...----------------...

Malam kembali menyapa, Aruna merasa tubuhnya sudah remuk sejak sore tadi. Ia berbaring menunggu rasa kantuk yang belum juga menghampirinya. Baru saja ingin menutup mata, Ia terhenyak dan cepat-cepat membuka laci dan nafasnya berhembus lega mendapati harta karunnya masih aman. Niat hati ingin meraihnya, namun urung karena Aruna mendengar suara pintu dibuka oleh pemilik kamar selain dirinya. Ada rasa penasaran dan curiga menghampiri benar Aryan melihat gelagat Aruna yang seolah menyembunyikan sesuatu.

"Cari apa kamu?" Tanyanya sinis.

"Eng-enggak Mas. A-aku cuma.... cari obat pegal linu saja." Jawabnya ragu dan semakin pelan menjawab pertanyaan Aryan yang langsung berbaring di sampingnya.

"Sekarang udah malam. Besok aja beli." Ujarnya benar-benar tak mempedulikan Aruna. Padahal yang membuat seluruh tubuhnya sakit itu bukan orang lain. Karena tak ingin berdebat lagi, Aruna memilih memejamkan mata dan memaksa terlelap meski sebetulnya berlum mengantuk. Lama-kelamaan, Ia terlelap dan tak terasa tidurnya mulai nyaman. Tanpa Aruna sadari, Aryan tersenyum dengan mata terpejam di belakangnya. Meski Aruna membelakanginya, namun Ia begitu puas memberikan pelajaran pada istri yang selalu membuatnya marah.

...----------------...

Pagi menyingsing, Aruna yang baru saja terjaga harus merasakan tubuhnya semakin remuk karena permintaan Aryan yang diluar dugaannya. Belum sembuh karena ulahnya kemarin, Aruna harus menahan tambahan rasa sakitnya pagi ini. Melihat Aryan melenggang ke dalam kamar mandi, Aruna cepat-cepat bangkit dan menutupi tubuhnya dengan kimono agar lebih simple. Ia buru-buru meraih sebuah obat dan meminumnya sebelum Ia terlupa. Melihat kondisi tubuhnya yang terlihat beberapa tanda merah, Aruna hanya bisa menghela nafas gusar lalu memijit pelipisnya yang berdenyut.

"Apa dia mau buat pinggangku patah?" Gumamnya kemudian duduk di depan meja rias dengan sembrono. Alhasil Ia meringis merasakan linu. "Akh. Aku lupa." Rintihnya kemudian.

Ditengah diamnya menunggu giliran untuk membersihkan diri, terdengar suara ponsel berdering di atas nakas. Jelas saja itu adalah ponselnya yang dimana ada seseorang yang memanggilnya. Dihampirinya dengan langkah hati-hati lalu diraihnya benda pipih nan canggih itu.

"Ha-hallo Dok." Sapanya menahan rintihan yang nyaris keluar dari mulutnya.

"Aruna.. bisa kirim alamat rumah kamu?"

"Untuk apa Dok?" Tanyanya sedikit panik. Ia takut jika Adnan akan menemuinya ke rumah.

"Tidak. Saya ingin mengirim sesuatu sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah menemani Alice."

"Apa tidak merepotkan?"

"Sama sekali tidak, Aruna. Saya benar-benar berterima kasih. Jadi saya harap, kamu tidak menolak pemberian saya."

"Baiklah Dok. Kalau itu tidak merepotkan Dokter, nanti saya kirim alamat rumah saya. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa, Aruna?"

"Dokter jangan ke rumah saya ya! Soalnya..... emmm.... nanti saya cerita kalau sudah waktunya." Ujarnya gelisah sendiri.

"Oh... baiklah Aruna. Saya terima syarat kamu." Meski penasaran, namun Adnan tak bisa menolak permintaan Aruna demi kelanjutan hubungan mereka. Ia tak ingin asing dengan wanita yang berhasil mencuri hati anaknya itu. Untuk syarat, Ia hanya berpikir bahwa Aruna mungkin takut pada ayahnya jika mengenalkan lelaki yang sudah memiliki seorang anak. Dengan senang hati Ia akan memaklumi.

...----------------...

"Bu... ada kiriman untuk Ibu." Ujar Bi Ima seraya mengetuk pintu kamar Aruna. Aryan yang tengah fokus pada laptopnya pun mendadak penasaran dengan kiriman apa yang datang untuk istri keduanya. Dan yang paling penting, dari siapa?

Rasa penasarannya semakin tinggi saat Aruna tak menyahuti, bahkan Ia beranjak begitu saja menghampiri Bi Ima dan juga wajahnya itu...

"Senyum? Berseri?" Gumam Aryan menerka. Ia tak ingin terus dihantui rasa penasaran, sehingga memilih diam-diam mengikuti Aruna ke ruang tamu dan melihat kiriman apa yang dimaksud Bi Ima. Matanya membulat sempurna mendapati beberapa kiriman yang membuat Aruna juga melongo.

"I-ini untuk saya semua Bi?" Bi Ima hanya mengangguk santun menanggapi pertanyaan Aruna. Dengan ragu, Aruna meraih sebuah buket bunga berukuran besar dengan kartu ucapan bertuliskan 'terima kasih'. Wajahnya semakin berseri saat mencium aroma mawar yang memanjakan indera penciumannya.

"Ma-mawar merah?" Kembali Aryan bergumam dan kali ini tangannya mengepal menahan kesal. Siapa yang berani mengirim bunga untuk Aruna? Begitu pikirnya. Yang Ia tahu, mawar merah merupakan bunga yang melambangkan rasa cinta terhadap seseorang. Hatinya terasa terbakar saat melihat ekspresi Aruna yang lain dari biasanya. Senyum tipis yang hangat dan menenangkan jiwa.

"Dari siapa itu?" Tanya Aryan mencoba memberanikan diri menghampiri Aruna yang memudarkan senyumnya. Sangat berbeda. Padanya Aruna begitu dingin. Amarahnya semakin memuncak melihat Aruna berlalu begitu saja dari hadapannya dengan memeluk bunga yang tersusun rapi itu.

"Siapapun orangnya, akan aku beri pelajaran dia." Geramnya menghela nafas gusar menyaksikan hal yang membuatnya sesak nafas pagi ini.

...-bersambung...

1
Siti Khoiriah
sakut banget ja aruna😭😭😭😭😭
Jumiah
menjadi istri ke2 bukan menyelesaikan masalah mallh menambah penderitaan .
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!