Gubee, Pangeran Lebah yang ingin merubah takdirnya. Namun semua tidaklah mudah, kepolosannya tentang alam membuatnya sering terjebak, dan sampai akhirnya menghancurkan koloninya sendiri dalam pertualangan ini.
Sang pangeran kembali bangkit, mencoba membangun kembali koloninya, dengan menculik telur calon Ratu lebah koloni lain. Namun, Ratu itu terlahir cacat. Apa yang terjadi pada Gubee dan Ratu selanjutnya?
Terus ikuti ceritanya hingga Gubee terlahir kembali di dunia peri, dan peperangan besar yang akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak Di Hutan Kegelapan
“Mengapa kau tidak pulang kesarangmu?” tanya Gubee.
“Manisnya nektar bunga Edelweis membuatku lupa segalanya. Aku lupa tujuanku datang ke tempat ini. Aku lupa sarangku, aku lupa koloniku, dan aku juga lupa pada Ratuku. Keabadian yang diciptakan bunga ini, membuatku ingin hidup di sini selamanya.
“Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan di puncak gunung ini mulai terasa membosankan. Tak ada yang bisa ku lakukan disini selain menghisap nektar bunga Edelweis sepanjang hidupku.
“Aku mulai merindukan rutinitasku sebagai semut pekerja. Aku rindu pada teman-teman di koloniku. Dan aku juga rindu merasakan lezatnya makanan di sarangku. Tapi, apa yang bisa ku lakukan dengan tubuhku yang sudah sebesar ini? aku tidak akan bisa lagi memasuki sarangku.”
Raut wajah Semut merah raksasa penuh penyesalan saat memandangi tubuhnya sendiri. Ia juga memandangi Semut merah raksasa lain yang ada di sekelilingnya. Satu persatu dari mereka tampak mulai tertidur setelah menghisap nektar bunga Edelweis.
“Dulu, aku dan teman-temanku pernah mencoba meninggalkan tempat ini.” Semut merah raksasa melanjutkan ceritanya.
“Namun tubuh kami yang sangat besar, menarik perhatian burung-burung pemangsa di bawah sana, sehingga banyak di antara kami yang menjadi makanan burung-burung pemburu serangga itu. Dan akhirnya kami terpaksa kembali ke sini, di mana burung-burung itu tak sanggup bernapas di tempat ini,” pungkas Semut merah raksasa menyudahi ceritanya.
Pandangannya tertuju pada tabung tanah merah kecil yang terikat di pinggang Gubee.
“Mengapa Ratuku memberimu minyak cahaya itu?" tanyanya kemudian kepada Gubee.
“Aku berjanji pada Ratumu untuk membawakannya nektar bunga Edelweis, dan dia memberiku minyak ini untuk mempermudah perjalananku di malam hari,” ungkap Gubee.
“Ratumu belum melahirkan calon penerusnya, sedangkan umurnya sudah semakin pendek. Ia berharap nektar bunga Edelweis dapat menambah umurnya, sehingga ia dapat bertelur kembali, dan semoga saja ia bisa mengeluarkan telur yang akan menjadi Ratu baru nantinya,” papar Gubee lagi.
“Aku tahu itu. Seharusnya aku yang membawakan nektar bunga ini untuknya. Tetapi, aku lupa pada tugasku setelah sampai di tempat ini,” keluh Semut merah raksasa, menampakkan raut iba dan kecewa.
“Jangan bersedih. Biarkan aku yang menggantikan tugasmu!” ujar Gubee tersenyum.
“Kau sungguh baik lebah. Kau pantas mendapatkan hadiah yang istimewa itu dari Ratuku. Turunlah! Ambil nektar bunga ini sebanyak yang kau butuh,” ucap Semut merah raksasa membalas senyuman Gubee.
Gubee tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan cepat, iapun hinggap di mahkota bunga Edelweis. Ia segera menghisap nektar bunga itu. Namun seketika ia tersadar, saat perutnya mulai terasa penuh oleh nektar bunga itu.
Ia memandangi Semut merah raksasa yang dari tadi sibuk memperhatikannya.
"Sepertinya aku butuh tempat untuk membawa nektar. Aku bukan lebah pekerja yang memiliki kantung madu di tubuhku. Apakah kau punya sesuatu yang bisa digunakan untuk membawa nektar bunga ini?" tanya Gubee pada Semut merah raksasa.
"Jadi kau bukan lebah pekerja?
Gubee menggeleng sambil tersenyum hambar.
"Tidak ada sesuatu apapun di sini yang bisa digunakan untuk membawa nektar," imbuh Semut merah raksasa.
"Sebaiknya aku mengosongkan wadah ini dan mengganti isinya dengan nektar bunga Edelweis," pikir Gubee melirik tempat minyak pemberian Ratu semut merah di pinggangnya.
"Apa kau membutuhkan minyak ini? sepertinya aku harus mengosongkan wadah ini dan mengisinya dengan nektar." Gubee menawarkan minyak pemberian Ratu semut merah kepada Semut merah raksasa.
"Apa kau tidak membutuhkannya lagi?" tanya Semut merah raksasa tampak senang dengan tawaran Gubee.
"Sebenarnya aku masih sangat membutuhkan minyak ini. Tapi aku tidak punya cara lain lagi untuk membawa nektar bunga Edelweis selain membawanya menggunakan tabung ini. Nektar ini lebih penting saat ini!
"Kalau begitu, taburkan saja minyak itu keseluruh tubuhku, agar aku bisa merasakan kehadiran Ratu dan koloniku di dalam tidurku," ujar Semut merah raksasa bahagia.
Gubee menaburkan seluruh isi tabung di pinggangnya ke tubuh Semut merah raksasa. Cahaya memenuhi sekujur tubuh Semut merah raksasa, dan kemudian ia merebahkan tubuhnya di mahkota bunga Edelweis. Dengan bibir yang menyiratkan senyuman, Semut merah raksasa pun tertidur.
Setelah tabung itu benar-benar kosong, Gubee segera mengisinya dengan nektar bunga Edelweis. Tabung yang terbuat dari tanah merah itu, diisinya hingga penuh.
Setelah itu ia pergi meninggalkan puncak gunung Alpen, membiarkan Semut merah raksasa tertidur pulas bersama mimpinya.
Gubee kembali mengudara bersama Kunang-kunang tua yang masih setia menunggunya.
Di tengah perjalanan pulang, langit tiba-tiba saja berubah gelap. Rembulan yang tadinya terlihat jelas, perlahan-lahan tertutup oleh awan hitam.
"Sepertinya akan ada badai Gubee! Kita harus mencari tempat berlindung. " Kunang-kunang tua memperhatikan alam di sekitarnya.
"Ayo! kita harus cepat!" ajaknya, lalu terbang merendah.
Mereka menghampiri satu persatu pepohonan hutan gunung Alpen, berharap ada lubang di salah satu batang pohon itu yang bisa mereka jadikan tempat berlindung. Namun badai datang begitu cepat. Menerpa tubuh mereka yang belum juga menemukan tempat berlindung. Sampai pada akhirnya merekapun terpisah oleh badai dahsyat malam itu.
Gubee terbawa angin tak tentu arah. Sayapnya yang kecil dan rapuh, tak sanggup melawan kekuatan alam. Awan gelap semakin menggulung di langit, sementara petir menyambar-nyambar di kejauhan. Hujan pun turun dengan deras membasahi tubuh Gubee, membuatnya semakin sulit untuk terbang, dan akhirnya ia jatuh ke tanah.
***
Perlahan, Gubee membuka matanya. Sayapnya yang kecil terasa berat, dan tubuhnya terasa lemah setelah terhempas ke tanah oleh badai semalam. Ia berbaring di atas rerumputan hutan, sejenak tidak bergerak, berusaha mengingat apa yang terjadi.
Cahaya matahari yang hangat menerpa tubuhnya, memberikan sedikit energi yang mulai membangkitkan kesadarannya. Perlahan ia menggeliat, mencoba menggerakkan kakinya yang kecil dan bergetar.
Setelah beberapa saat, ia berhasil menggerakkan sayapnya, mencoba untuk terbang, namun gagal. Dengan tekad yang kuat dan terus mencoba berkali-kali, ia akhirnya bisa kembali terbang ke udara.
“Dimana aku saat ini?” bisiknya memperhatikan hutan dan pepohonan di sekitarnya.
“Rasanya, aku belum pernah menempuh hutan ini.
Gubee meraba-raba pinggangnya, mencari peta yang dibuatkan oleh Semut merah penjaga. Namun petunjuk jalan itu sudah tidak ada, hanya tabung yang berisi nektar yang masih terikat di pinggangnya.
"Aku kehilangan peta itu! Mungkin jatuh di sekitar hutan ini?
Ia terbang mengintari rerumputan tempatnya terdampar, berharap peta itu ada di sekitar tempat itu. Namun cukup lama ia bolak-balik terbang di hamparan rerumputan hutan itu, ia tak juga menemukan apa yang dicarinya.
Tubuhnya mulai terasa lelah. Mentari yang bersinar terik di siang itu membuatnya kehausan. Ia terbang memasuki hutan yang di tumbuhi pohon Oak yang telah tua. Ia berteduh di antara dedaunan pohon besar dan rimbun itu, dan menghisap sedikit nektar dari dalam tabung yang terikat di pinggangnya.
Nektar bunga Edelweis dengan cepat menghilangkan dahaganya, dan kembali memulihkan seluruh tenaganya yang berkurang.
“Nektar bunga ini sungguh luar biasa!” gumamnya puas dengan khasiat nektar bunga itu.
Gubee kembali melanjutkan perjalanannya yang tak tentu arah. Dengan hanya mengikuti kata hatinya, ia terus masuk kedalam hutan yang ditumbuhi pohon-pohon Oak yang sangat rimbun. Cuaca yang sangat panas, mengharuskannya terbang rendah di bawah pepohonan hutan itu. Hingga akhirnya senja kembali tiba, ia masih belum keluar dari hutan pohon Oak yang terbentang panjang.
Hari mulai gelap. Pandangan Gubee berangsur mengabur. Ia mulai kesulitan melihat apa yang ada di hadapannya. Ia tak mungkin bisa melanjutkan perjalanan di malam hari tanpa minyak dari ratu semut merah.
Akhirnya Gubee memutuskan untuk bernaung di sebuah lubang bekas patahan ranting lapuk pohon Oak. Pepohonan Oak yang sangat rimbun, tak sedikitpun mengizinkan cahaya rembulan memasuki dasar hutan itu, sehingga suasana tempat Gubee berada sangat gelap dan pekat.
Namun di tengah-tengah kegelapan hutan itu, Gubee merasakan ada puluhan pasang mata yang sedang memperhatikannya.
Dahan-dahan kecil pohon Oak yang rimbun terasa mulai bergoyang perlahan. Ranting-rantingnya yang penuh dedaunan bergetar lembut, menciptakan suara gemerisik di tengah malam. Sesekali, Gubee mendengar suara lompatan yang semakin lama semakin dekat ke arahnya.
Lanjut Bab 10