Tara Azhara Putri Mahendra—biasa dipanggil Tara—adalah seorang wanita muda yang menjalani hidupnya di jantung kota metropolitan. Sebagai seorang event planner, Tara adalah sosok yang tidak pernah lepas dari kesibukan dan tantangan, tetapi dia selalu berhasil melewati hari-harinya dengan tawa dan keceriaan. Dikenal sebagai "Cewek Tangguh," Tara memiliki semangat pantang menyerah, kepribadian yang kuat, dan selera humor yang mampu menghidupkan suasana di mana pun dia berada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Setelah ditangkap oleh sekelompok pria berpakaian hitam, Tara dan Adrian dibawa ke sebuah tempat yang tidak mereka kenali. Mereka ditutup matanya dan dimasukkan ke dalam mobil hitam yang melaju kencang, meninggalkan gedung yang penuh dengan rahasia gelap itu. Tara bisa merasakan adrenalin yang terus mengalir dalam tubuhnya, sementara pikiran Adrian berusaha mencari cara untuk melarikan diri.
Begitu mereka tiba, mereka didorong keluar dari mobil dan dipaksa berjalan dengan mata yang masih tertutup. Suara langkah kaki bergema di lantai beton, menandakan bahwa mereka sekarang berada di sebuah tempat tertutup. Akhirnya, kain penutup mata mereka dilepas, dan mereka menemukan diri mereka berada di sebuah ruangan kecil yang suram dengan dinding beton tanpa jendela. Hanya ada satu pintu di ruangan itu, dan di depannya berdiri dua penjaga bertubuh kekar.
"Mereka bawa kita ke mana, Ad?" bisik Tara, suaranya bergetar karena ketakutan.
Adrian mencoba tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. "Gue nggak tahu, Tar. Tapi kita harus tetap tenang dan pikirin cara buat keluar dari sini."
Tara mengangguk, meski sulit baginya untuk tidak panik. Mereka tidak tahu siapa yang menangkap mereka atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Satu-satunya yang mereka tahu adalah mereka terjebak di tempat yang berbahaya, jauh dari teman atau bantuan.
Pintu di depan mereka tiba-tiba terbuka, dan seorang pria paruh baya dengan wajah dingin masuk ke dalam ruangan. Dia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dengan rambut yang disisir rapi ke belakang. Pria itu menatap mereka berdua dengan tatapan tajam yang penuh dengan kekuasaan.
"Selamat datang di tempat kami," kata pria itu dengan suara datar. "Saya adalah Mr. Ravindra Vesperaldi. Saya yakin kalian pasti punya banyak pertanyaan, tapi sayangnya, ini bukan sesi tanya jawab."
Tara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pria ini. "Apa yang lo mau dari kita?" tanyanya dengan nada memberontak.
Mr. Vesperaldi tersenyum tipis. "Bukan apa yang saya mau, tapi apa yang kalian ingin tahu. Kalian berdua telah masuk ke wilayah yang seharusnya tidak kalian masuki. Tempat di mana rahasia besar disimpan, dan saya tidak bisa membiarkan kalian pergi begitu saja."
"Lo nggak bisa nahan kita di sini," sergah Adrian. "Orang-orang pasti akan nyari kita."
Vesperaldi tertawa pelan, seolah-olah apa yang dikatakan Adrian hanyalah lelucon. "Orang-orang yang mungkin mencari kalian tidak akan tahu di mana kalian berada. Kalian telah membuat kesalahan besar dengan masuk ke tempat itu, dan sekarang kalian harus menanggung konsekuensinya."
Tara dan Adrian saling pandang, tahu bahwa mereka berada dalam bahaya besar. Mereka harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini sebelum semuanya terlambat.
"Jadi, apa rencana lo?" tanya Tara, mencoba untuk tetap tenang meski di dalamnya dia mulai ketakutan. "Bunuh kita?"
Vesperaldi menggelengkan kepalanya dengan senyum dingin. "Kami tidak membunuh, Nona. Kami mengubah. Kami akan memastikan kalian menjadi aset yang berharga bagi kami. Tapi sebelum itu, kalian harus memberitahu kami siapa yang mengirim kalian ke sini dan apa yang kalian ketahui tentang proyek kami."
Adrian mengangkat alis. "Proyek? Kita nggak tau apa-apa soal proyek lo."
Vesperaldi menyipitkan matanya, tidak percaya. "Saya tahu kalian lebih pintar dari itu. Jangan anggap remeh kecerdasan saya. Saya tahu kalian telah mengakses data yang sangat rahasia. Sekarang, saya butuh informasi itu."
Tara menggelengkan kepala. "Kita nggak akan ngasih tahu apapun. Kita nggak takut sama lo."
Vesperaldi tertawa lagi, tapi kali ini tawa itu lebih dingin dan menakutkan. "Keberanian kalian mengagumkan, tapi itu tidak akan menyelamatkan kalian. Saya harap kalian berubah pikiran sebelum waktu habis."
Dengan kata-kata itu, Vesperaldi berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Tara dan Adrian sendirian dengan ketakutan mereka. Pintu itu tertutup dengan keras, dan mereka mendengar suara kunci berderit di luar, mengunci mereka di dalam.
"Ini buruk, Tar," bisik Adrian, wajahnya pucat. "Kita harus keluar dari sini."
Tara mengangguk, mencoba memikirkan cara untuk melarikan diri. Tapi sebelum mereka bisa melakukan apa pun, suara pintu terbuka lagi, kali ini seorang pria muda masuk dengan wajah serius. Pria itu membawa nampan berisi makanan dan air, yang diletakkannya di meja kecil di sudut ruangan.
"Ini buat kalian," katanya singkat, suaranya terdengar datar. "Makanlah."
Tara menatap pria itu dengan curiga. "Siapa lo?"
Pria itu tidak menjawab, hanya menatap mereka dengan tatapan dingin sebelum keluar dari ruangan lagi, meninggalkan mereka dengan makanan dan air yang tidak mereka percayai.
"Ini jelas perangkap," kata Adrian, menatap nampan itu. "Kita nggak bisa makan atau minum apapun dari mereka."
Tara setuju, meski perutnya mulai berbunyi lapar. "Gue juga nggak yakin. Tapi kita nggak punya pilihan lain buat sekarang."
Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak menyentuh makanan itu, takut itu mungkin diracuni atau dijebak. Mereka harus mencari cara lain untuk bertahan hidup dan melarikan diri.
Waktu berlalu dengan lambat. Tara dan Adrian duduk di sudut ruangan, berusaha menyusun rencana pelarian. Mereka mencoba mencari-cari celah atau cara untuk membuka pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Ruangan itu dirancang dengan baik untuk mencegah siapa pun melarikan diri.
"Kita harus mikir lebih keras," gumam Adrian sambil memukul-mukul dinding beton dengan frustrasi. "Pasti ada cara keluar dari sini."
Tara merasakan keputusasaan mulai merayap ke dalam dirinya. "Gue nggak tahu, Ad. Mereka jelas udah siap buat menghadapi kita. Kita harus nyari jalan keluar yang nggak mereka duga."
Saat mereka berdua berpikir keras, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki lagi dari luar. Pintu terbuka, dan kali ini seorang wanita masuk ke dalam ruangan. Wanita itu tampak berbeda dari yang lain, dengan penampilan rapi dan tatapan penuh percaya diri.
"Nama saya Cassandra Delacorte," katanya dengan suara tegas. "Saya salah satu pengawas di sini, dan saya diberi tugas untuk memastikan kalian tidak akan membuat masalah lagi."
Tara dan Adrian menatap wanita itu dengan hati-hati, mencoba membaca niatnya. "Apa yang lo mau dari kita?" tanya Tara, suaranya penuh ketegangan.
Cassandra tersenyum tipis. "Saya di sini bukan untuk menginterogasi kalian. Saya hanya ingin memastikan kalian tahu apa yang akan terjadi jika kalian terus bersikeras menolak kerja sama."
"Apa maksud lo?" tanya Adrian, mencoba tetap tenang.
"Pilihan kalian sederhana," jawab Cassandra sambil melangkah mendekati mereka. "Kalian bisa bekerja sama dengan kami dan mungkin mendapatkan sedikit kebebasan, atau kalian bisa terus melawan dan mengalami konsekuensi yang lebih buruk."
Tara merasakan amarah mulai menguasai dirinya. "Kita nggak bakal kerjasama dengan orang seperti lo."
Cassandra tertawa pelan. "Itu yang sering saya dengar, tapi pada akhirnya, semua orang berubah pikiran. Saya harap kalian tidak perlu dipaksa untuk melakukannya."
Cassandra melangkah keluar ruangan, meninggalkan Tara dan Adrian dengan ketakutan dan kebingungan yang semakin mendalam. Mereka tahu bahwa mereka harus segera menemukan cara untuk melarikan diri sebelum semuanya terlambat. Dengan waktu yang semakin menipis, Tara dan Adrian menyadari bahwa mereka tidak hanya sedang berjuang untuk kebebasan, tapi juga untuk hidup mereka.